a.
Definisi
Sosiologi
Secara etimologi,
sosiologi berasal dari dua kata yaitu socius,
dalam bahasa Latin berarti teman, kawan, berkembang menjadi kata social, artinya berteman, bersama,
berserikat. Dan kata logos yang
berarti kata atau ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
berteman (berkawan). Sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa sosiologi
merupakan ilmu yang tergolong baru atau muda. August Comte, sosiologi Perancis,
dalam bukunya Positive Philosophy yang
diterbitkan tahun1838 memperkenalkan kata sociology.
Ia mendeskripsikan bahwa ilmu sosiologi adalah ilmu yang didasarkan pada
observasi dan klasifikasi yang bersifat sistematis dan empirik (Said Gatara dan
Dzulkiah Said, 2007:18-19).
Pitrim Sorokin (Soekanto,
2003 : 19), mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
1)
Hubungan dan
timbal balik antara berbagai macam gejala sosial (misalnya antara gejala
ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, gerak masyarakat dan
politik, dan sebagainya).
2)
gejala nonsosial
(misalnya gejala geografis, biologis, ekologis, dan sebagainya).
3)
Ciri-ciri umum
semua jenis gejala-gejala sosial.
Menurut
Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. Sedangkan, William F. Ogburn
dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara
ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial (Soekanto,
2003:19-20).
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu
masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan
jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial
(norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta
lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai
segi kehidupan bersama, umpanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan
ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi
kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan segi kehidupan ekonomi dan
sebagainya (Soekanto, 2003: 20).
Brinkerhoft dan White dalam Damsar
(2009:1) berpendapat bahwa sosiologi merupakan studi sistematik tentang
interaksi sosial manusia.
Horton dan Hunt dalam Damsar (2009:5)
berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat. Masyarakat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang secara
relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu
wilayah mandiri, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar
kegiatannya dalam kelompok tersebut.
Dalam Kamus Sosiologi Antropologi, Dahlan
Yacub Al-Barry (2001:315), sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari
perkembangan dan prinsip-prinsip organisasi sosial, dan umumnya tingkah laku
kelompok sebagai perbedaan dari tingkah laku individual atau individu-individu
dalam kelompok atau ilmu yang mempelajari sifat, perilaku dan perkembangan
masyarakat.
Menurut Kamus Praktis Serba Guna,
Surjountoro (1978:173), sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki terbentuknya
masyarakat, bagian-bagian dari anggota masyarakat, misalnya menurut
penggolongan ideologi, penggolongan daerah yang masing-masing mempunyai
differensiasinya sendiri-sendiri.
Dalam bukunya Sociology: An Introduction (1977), Reece McGee merumuskan tiga
pengertian sosiologi. Pertama, sosiologi dijelaskan sebagai studi tentang kelompok-kelompok
manusia dan pengaruh mereka terhadap perilaku individual. Kedua, sosiologi
dijelaskan sebagai studi tentang tatanan sosial dan perubahan sosial. Ketiga,
sosiologi dijelaskan sebagai pencarian sebab-sebab sosial dari hal-hal,
cara-cara di mana fenomena sosial mempengaruhi perilaku manusia (2001:14-15).
b.
Definisi
Hukum
Istilah “hukum”
berasal dari bahasa Arab “huk’mun” yang artinya “menetapkan”. Arti semacam ini
terbilang mirip dengan pengertian hukum yang dikembangkan oleh kajian dalam
teori hukum; ilmu hukum dan sebagian studi-studi sosial mengenai hukum.
Misalnya hukum diartikan sebagai norma yang menetapkan petunjuk tingkah laku.
Hukum menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang, atau disuruh
untuk dilakukan (YLBHI&PSHK, 2006: 2).
Bagi aliran
positivisme hukum, hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat
oleh lembaga-lembaga atau badan-badan Negara dan pemerintah yang
pemberlakuannya dapat dipaksakan. Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang
memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis, dan dapat berlaku seragam
(YLBHI&PSHK, 2006: 3).
Dalam Kamus
Sosiologi Antropologi, Dahlan Yacub Al-Barry (2001:109), hukum adalah:
1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau lembaga yang
berwenang;
2) undang-undang, peraturan-peraturan, atau
norma-norma yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat yang harus ditaati
bersama;
3) pertimbangan atau keputusan yang dikeluarkan
oleh hakim (di dalam pengadilan).
Menurut Kamus
Praktis Serba Guna, Surjountoro (1978:68), hukum ialah peraturan yang bersifat
memaksa, untuk mengatur tata tertib masyarakat, mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia, manusia dengan negara dan sebagainya.
Menurut Kamus Hukum dan Glosarium Otonomi
Daerah (2005), hukum:
1)
Peraturan
yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang
di suatu masyarakat;
2)
Undang-undang,
peraturan dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3) Patokan (kaidah;
ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4) Keputusan
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.
Dalam Wikipedia hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.
Kansil dan Kansil (2004:3), pada pokoknya
hukum itu adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, yakni peraturan-peraturan yang peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.
c.
Definisi
Sosiologi Hukum
Dalam bukunya
Refleksi Sosiologi Hukum Saifullah (2007:3), mengemukakan sosiologi hukum (Rechtsociologie/rechtssoziologie)
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan
secara analitis empiris tentang persoalan hukum dihadapkan dengan
fenomena-fenomena lain di masyarakat.
Menurut
Satjipto Rahardjo dalam Al-hudaz (2010), mengemukakan bahwa sosiologi hukum
adalah ilmu yang mempelajari hukum bukan dalam bentuk pasal undang-undang,
melainkan hukum yang dijalankan sehari-harinya atau tampak kenyataannya.
Dalam Kamus
Sosiologi Antropologi, Dahlan Yacub Al-Barry (2001:315), sosiologi hukum adalah
cabang ilmu yang mempelajari, secara analitis dan empiris, pengaruh timbal
balik antara hukum dengan gejala-gejala dan perilaku-perilaku dalam masyarakat.
Soejono Soekanto
dalam Abimanyu (2008) mengemukakan bahwa sosiologi hukum adalah suatu cabang
ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya.
R. Otje Salaman
dalam Abimanyu (2008) mengemukakan bahwa sosiologi hukum merupakan ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya secara empiris analistis.
Definisi
sosiologi hukum menurut S. Johnson (2006:64) bahwa sosiologi hukum adalah
bagian dari sosiologi jiwa manusia yang menelaah sepenuhnya realitas sosial
hukum, dimulai dari hal-hal yang nyata dan observasi perwujudan lahiriah, di
dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif (organisasi-organisasi yang
baku, adat-istiadat sehari-hari dan tradisi-tradisi atau kebiasaan-kebiasaan
inovatif) dan juga dalam materi dasarnya (struktur keruangan dan kepadatan
lembaga-lembaga hukumnya secara demografis).
Jelas terlihat
berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas
sosial manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum. Sosiologi
hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analistis.
1.
Tokoh-tokoh
Sosiologi yang Berbicara Tentang Hukum
a.
Durkheim
Durkheim dalam
karyanya yang berjudul Division du
Travail Social (1893) dalam S. Johnson (2006:103-104): masalah hubungan
antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum. “Lambang
kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai suatu kesetiakawanan yang
sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk kemasyarakatan) adalah hukum.” Dan
sebaliknya, suatu klasifikasi objektif dari jenis-jenis hukum, suatu klasifikasi
yang berlaku bagi penyelidikan sosiologis, hanya dapat dilaksanakan melalui
suatu klasifikasi dari bentuk-bentuk kesetiakawanan.
Durkheim dalam
S. Johnson (2006:105) membedakan dua tipe utama dari peraturan-peraturan hukum
dan bentuk-bentuk kesetiakawanan, di dalam hukum restitutif, Durkheim
membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah
tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusional, dan lainnya). Selanjutnya ia
menyatakan bahwa dalam kontrak itu tak semuanya bersifat kontrak dan bahwa
sering kerja sama kita yang bersifat sukarela menciptakan kewajiban-kewajiban
yang tak diinginkan, yakni ada timbul di bawah bentuk kontrak hukum yang
diundang-undangkan dari berbagai kelompok-kelompok yang tidak dapat
dikembalikan kepada jumlah anggota-anggota atau apa yang semenjak Durkheim
dinamakan actes-regles (undang-undang
yang mengatur) atau “contracts of
adhesion”.
Durkheim
berpendapat bahwa makin archis suatu masyarakat makin represif atau mengekang
sifat sanksi-sanksinya yang sangat keras dan dahsyat, semakin tinggi tingkat
perkembangan suatu masyarakat semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga
pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan. Sebaliknya,
Hukum Luh Dua Belas (The Law of the
Twelve Tables) berkenaan dengan masyarakat yang jauh lebih tinggi taraf
perkembangannya dan karena itu berdasarkan sanksi-sanksi yang jauh lebih lunak,
apabila di situ terdapat pembatasan-pembatasan hukuman dengan adanya
sanksi-sanksi yang bersifat pemulihan (restitutif) (S. Johnson, 2006:106).
Durkheim dalam S.
Johnson (2006:109) membedakan tipe masyarakat sebagai berikut:
1)
Tipe
masyarakat bersahajanya yang berbidang-bidang yang terbentuk dari clan-clan
(horde yang diintegrasikan dengan satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat
di antara bangsa Australia dan Inroquoi,
2)
Tipe
masyarakat berbidang-bidang yang tersusun secara sederhana, yang dalamnya
terlebur banyak suku, misalnya konfederasi Iroquoi atau Kabyle,
3)
Tipe
masyarakat berbidang-bidang yang tersusun rangkap seperti kota-kota, uni dari
konfederasi-konfederasi, suku-suku.
Selanjutnya
Durkheim melakukan pembentulan atas ketidakpuasannya terhadap
pengklasifikasiannya sendiri tentang tipe-tipe masyarakat yang disebutkan di
atas. Menurut Durkheim klasifikasi tipe masyarakat yang diungkap sebelumnya
dianggap terlalu bersifat kuantitatif dan genetis. Hasil pembetulan klasifikasi
tipe masyarakat Durkheim mengutarakan segi kualitatif namun tetap ada genesis
yang lestari. Pembedaan tipe masyarakat tersebut terdapat dalam karyanya I’Annee Seciologique (S. Johnson,
2006:111) sebagai berikut:
1)
Masyarakat
yang tersusun dari klan-klan totem (tipe Australia),
2)
Masyarakat-masyarakat
yang didiferensiasikan berdasarkan klan-klan totem yang untuk sebagian
berpengaruh (bangsa Indian Amerika Utara; di sini diferensiasinya berupa sistem
kelas-kelas yang sedikit banyaknya bercorak agama, orde-orde militer,
golongan-golongan paderi, berbagai alat kekuasaan sosial),
3)
Masyarakat-masyarakat
kesukuan dari turunan laki-laki yang dalamnya ada suatu perkembangan
kelompok-kelompok sosial (masyarakat-masyarakat desa) dan pemerintah pusat yang
tetap (Negrito, Sudan, Bantu, dan lainnya),
4)
Masyarakat-masyarakat
nasional (bangsa-bangsa, yang dalamnya terdapat berbagai tipe).
Durkheim berpendapat bahwa hukum, sebagaimana
dengan agama, moral, estetika dan segala fenomena sosial yang asasi merupakan
sistem-sistem nilai-nilai yang timbul dari cita-cita kolektif. Durkheim dalam
perkembangan hukum hanya berpandangan pada satu tipe masyarakat saja yakni tipe
yang tersusun atas klan-klan totem. Dalam penyelidikannya terhadap faktor agama
dan magi dalam masyarakat primitive, Durkheim mengklasifikasikan dua jenis
hukum yakni hukum kolektif dan hukum individual.
Dalam sosiologi hukum Durkheim terdapat
kesukaran dimana terlalu diutamakannya masalah genetis, terpusatnya perhatian
kepada paksaan-paksaan yang terorganisasi dan tendensi terselubung kearah
monism sosial dan hukum tentulah terletak dalam keragu-raguannya mengenai isi
kerohanian pengalaman hukum. Idealisme keadilan terkadang dianggapnya sebagai
proyeksi-proyeksi sederhana dan hasil-hasil dari subyektivitas kolektif,
terkadang sebagai isi kandungan sui
genetis. Dua konsepsi yang digabungnya dengan menaikkan kesadaran kolektif
ke tingkat roh metafisika. Durkheim dengan jelas melihat keharusan dalam
sosiologi hukum adanya sintesa antara idealisme dan realisme atau lebih tepat
adanya suatu dasar “idealitas realitas”. Sementara itu ia tidak pernah
melepaskan cita atau gagasan untuk menggantikan bahasan sistematis normatif
pola-pola hukum, ia tidak mencapai sintesa yang diinginkan. Dalam
bahasan-bahasannya yang konkret mengenai sosiologi hukum realismenya
mengenyahkan idealismenya yang hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi
hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subjektif: itulah
sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis. Dalam konsepsi-konsepsi
umumnya, sebaliknya “hyperspiritualismenya: yang terpendam membawanya kepada
juridiksi dan moralisasi segala kenyataan sosial (S. Johnson, 2006:118).
Pemikiran Durkheim menggunakan teori
solidaritas dalam memahami masyarakat yakni bahwa masyarakat terbentuk dari
individu-individu sehingga terbentuklah sebuah masyarakat karena adanya rasa
saling membutuhkan dan rasa solidaritas. Solidaritas dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Solidaritas mekanik. Terjadi
dimasyarakat kecil, yang masyarakatnya masih homogen.Misalnya bila ada salah
satu masyarakat yang pergi maka tidak mempengaruhi masyarakat tersebut.
2)
Solidaritas organik. Terjadi di
masyarakat besar dan modern, yakni jika ada yang pergi maka sangat mempengaruhi
masyarakat tersebut.
b.
Max
Weber
Menurut Max Weber melihat
perkembangan hukum dari masyarakat klasik sampai masyarakat modern sekarang ini
atau bisa dikatakan hukum berdasarkan fatwa sampai hukum berdasarkan musyawarah
seperti sekarang. Max Weber membuat tiga sistem peradilan, yaitu:
1)
Peradilan Kudi yaitu menyelesaikan
setiap perkara atau masalah dengan cara kekeluargaan atau perdamaian.
2)
Peradilan Empiris yaitu hakim
memutuskan perkara dengan putusan-putusan terdahulu (yurisprudensi).
3)
Peradilan Rasional yaitu peradilan
yang bekerja atas asas-asas organisasi yang sesuai dengan peradilan sekarang.
Kecenderungan
Weber untuk membawa sosiologi hukum kepada sistematisasi ilmu hukum yang
dogmatis konstruktif. Semua sosiologi hukum menurut Weber direduksikan menjadi
kemungkinan-kemungkinan atau “kesempatan-kesempatan” dari kelakuan sosial,
menurut suatu sistem yang koheren dari aturan-aturan yang diselenggarakan oleh
ahli huku m bagi suatu tipe masyarakat tertentu. Sumbangan Weber kepada
tipologi hukum masyarakat-masyarakat yang menyeluruh yang diselenggarakan di
bawah bimbingan asas-asas ini, hendak kita pakai dalam pengutaraan kita secara
sistematis dari masalah-masalah sosiologi hukum diferensial. Pendekatan Weber terhadap
penggunaan metode pemahaman secara interpretatif dalam arti-arti bathin
perbuatan-perbuatan untuk sosiologi, suatu metode yang bermanfaat bagi
perdamaian dan kerja sama antara sosiologi hukum dan filsafat hukum (S.
Johnson, 2006:142).
c.
Karl
Marx
Hukum adalah suatu percerminan dari hubungan umum
ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu. Setiap
masyarakat dalam perkembangannya secara historis didasarkan pada suatu fondasi
ekonomis. Al-Hudaz (2010) bahwa menurut Marx hukum akan dipengaruhi oleh
ekonomi. Misalnya dimasyarakat industri terjadi benturan stratifikasi sosial
antara kelas borjuis (kaum yang mempunyai modal) dengan kaum proletar (kaum
yang tidak mempunyai modal), maka kaum borjuislah yang akan selalu menang
sedangkan kaum proletar akan selalu mengalami kekalahan. Pengusaha akan
mempertahankan asset kemudian mereka masuk ke wilayah legislator dan
terbentuklah Undang-Undang yang tidak menyesuaikan dengan kondisi masyarakat,
bahkan cenderung merugikan masyarakat kecil.
d.
Henry
S. Maine
Menurut Henry S. Maine penghargaan individu bersifat
warisan/ turun menurun, dan status sangat berpengaruh tapi dilihat kenyataan
sekarang tidak berlaku karena sekarang menggunakan penilaian dari kualitas
individu jadi terjadilah pergeseran masyarakat dalam hukum.
2.
Dasar
Penulisan
Menjadi dasar dalam
penulisan ini adalah membahas tentang keterkaitan antara konsep sosial dengan
ilmu sosiologi dengan penerapan ilmu-ilmu hukum kepada masyarakat. Penerapan
konsep hukum haruslah mempunyai landasan yang kuat supaya dapat menghasilkan
sebuah aturan yang efektif atau cocok dengan kehidupan sosial masyarakat. Dalam
masyarakat banyak terdapat peraturan-peraturan yang penting yang mengatur
tingkah laku dan pengawasan sosial. Setiap tindakan masyarakat haruslah
dibarengi dengan pengawasan sosial baik itu dari masyarakat maupun dari
lembaga-lembaga yudikatif.
Ketertiban
undang-undang, ketertiban dari masyarakat politik, menghimpun
pengaturan-pengaturan lainnya, menyesuaikan yang satu dengan lainnya, dalam
memberi dukungan. Inilah ketertiban yang dibahas oleh ahli-ahli hukum.
Sosiologi hukum melihat bagaimana setiap kegiatan harus tunduk kepada
pengaturan, apakah pengadilan maupun administratif, dan ketertiban
undang-undang menggantikan inti ketertiban dari begitu banyak hubungan sosial
dari begitu banyak kelompok.
Penerapan konsep
hukum yang tidak dilandasi oleh konsep-konsep sosial yang membahas tentang
norma-norma sosial itu akan menjadi hal yang kontroversi dalam masyarakat
karena tidak semua orang akan menerima hal tersebut. Penggunaan konsep sosial
dalam ilmu hukum semakin mempertajam atau mengefektifkan fungsi-fungsi dari
hukum tersebut atau dengan kata lain penerapan ilmu hukum tersebut menjadi
tepat sasaran. Kesimpulan-kesimpulan umum normatif dalam pergaulan yakni
pola-pola hak dari berbagai tingkat kepastian dan keumuman, adalah bersifat
fungsional yakni bekerja menuju pengawasan sosial, yang sebenarnya berlaku di
dalam semua kelompok masyarakat.
tanks artikelnya
BalasHapus