Rabu, 27 Juni 2012

sosiologi hukum


a.       Definisi Sosiologi
Secara etimologi, sosiologi berasal dari dua kata yaitu socius, dalam bahasa Latin berarti teman, kawan, berkembang menjadi kata social, artinya berteman, bersama, berserikat. Dan kata logos yang berarti kata atau ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang berteman (berkawan). Sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa sosiologi merupakan ilmu yang tergolong baru atau muda. August Comte, sosiologi Perancis, dalam bukunya Positive Philosophy yang diterbitkan tahun1838 memperkenalkan kata sociology. Ia mendeskripsikan bahwa ilmu sosiologi adalah ilmu yang didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang bersifat sistematis dan empirik (Said Gatara dan Dzulkiah Said, 2007:18-19).
Pitrim Sorokin (Soekanto, 2003 : 19), mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
1)   Hubungan dan timbal balik antara berbagai macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, gerak masyarakat dan politik, dan sebagainya).
2)   gejala nonsosial (misalnya gejala geografis, biologis, ekologis, dan sebagainya).
3)   Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
Menurut Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. Sedangkan, William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial (Soekanto, 2003:19-20).
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan segi kehidupan ekonomi dan sebagainya (Soekanto, 2003: 20).
Brinkerhoft dan White dalam Damsar (2009:1) berpendapat bahwa sosiologi merupakan studi sistematik tentang interaksi sosial manusia.
Horton dan Hunt dalam Damsar (2009:5) berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat. Masyarakat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah mandiri, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut.
Dalam Kamus Sosiologi Antropologi, Dahlan Yacub Al-Barry (2001:315), sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari perkembangan dan prinsip-prinsip organisasi sosial, dan umumnya tingkah laku kelompok sebagai perbedaan dari tingkah laku individual atau individu-individu dalam kelompok atau ilmu yang mempelajari sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat.
Menurut Kamus Praktis Serba Guna, Surjountoro (1978:173), sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki terbentuknya masyarakat, bagian-bagian dari anggota masyarakat, misalnya menurut penggolongan ideologi, penggolongan daerah yang masing-masing mempunyai differensiasinya sendiri-sendiri.
Dalam bukunya Sociology: An Introduction (1977), Reece McGee merumuskan tiga pengertian sosiologi. Pertama, sosiologi dijelaskan sebagai studi tentang kelompok-kelompok manusia dan pengaruh mereka terhadap perilaku individual. Kedua, sosiologi dijelaskan sebagai studi tentang tatanan sosial dan perubahan sosial. Ketiga, sosiologi dijelaskan sebagai pencarian sebab-sebab sosial dari hal-hal, cara-cara di mana fenomena sosial mempengaruhi perilaku manusia (2001:14-15).

b.      Definisi Hukum
Istilah “hukum” berasal dari bahasa Arab “huk’mun” yang artinya “menetapkan”. Arti semacam ini terbilang mirip dengan pengertian hukum yang dikembangkan oleh kajian dalam teori hukum; ilmu hukum dan sebagian studi-studi sosial mengenai hukum. Misalnya hukum diartikan sebagai norma yang menetapkan petunjuk tingkah laku. Hukum menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang, atau disuruh untuk dilakukan (YLBHI&PSHK, 2006: 2).
Bagi aliran positivisme hukum, hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau badan-badan Negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dapat dipaksakan. Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis, dan dapat berlaku seragam (YLBHI&PSHK, 2006: 3).
Dalam Kamus Sosiologi Antropologi, Dahlan Yacub Al-Barry (2001:109), hukum adalah:
1)  peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau lembaga yang berwenang;
2)  undang-undang, peraturan-peraturan, atau norma-norma yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat yang harus ditaati bersama;
3)  pertimbangan atau keputusan yang dikeluarkan oleh hakim (di dalam pengadilan).
Menurut Kamus Praktis Serba Guna, Surjountoro (1978:68), hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, untuk mengatur tata tertib masyarakat, mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan negara dan sebagainya.
Menurut Kamus Hukum dan Glosarium Otonomi Daerah (2005), hukum:
1)   Peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat;
2)   Undang-undang, peraturan dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3)   Patokan (kaidah; ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4)   Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.
Dalam Wikipedia hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.
Kansil dan Kansil (2004:3), pada pokoknya hukum itu adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan  tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yakni peraturan-peraturan yang peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.

c.       Definisi Sosiologi Hukum
Dalam bukunya Refleksi Sosiologi Hukum Saifullah (2007:3), mengemukakan sosiologi hukum (Rechtsociologie/rechtssoziologie) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan secara analitis empiris tentang persoalan hukum dihadapkan dengan fenomena-fenomena lain di masyarakat.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam Al-hudaz (2010), mengemukakan bahwa sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum bukan dalam bentuk pasal undang-undang, melainkan hukum yang dijalankan sehari-harinya atau tampak kenyataannya.
Dalam Kamus Sosiologi Antropologi, Dahlan Yacub Al-Barry (2001:315), sosiologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari, secara analitis dan empiris, pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala dan perilaku-perilaku dalam masyarakat.
Soejono Soekanto dalam Abimanyu (2008) mengemukakan bahwa sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.
R. Otje Salaman dalam Abimanyu (2008) mengemukakan bahwa sosiologi hukum merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analistis.
Definisi sosiologi hukum menurut S. Johnson (2006:64) bahwa sosiologi hukum adalah bagian dari sosiologi jiwa manusia yang menelaah sepenuhnya realitas sosial hukum, dimulai dari hal-hal yang nyata dan observasi perwujudan lahiriah, di dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif (organisasi-organisasi yang baku, adat-istiadat sehari-hari dan tradisi-tradisi atau kebiasaan-kebiasaan inovatif) dan juga dalam materi dasarnya (struktur keruangan dan kepadatan lembaga-lembaga hukumnya secara demografis).
Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas sosial manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum. Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analistis.

1.      Tokoh-tokoh Sosiologi yang Berbicara Tentang Hukum
a.    Durkheim
Durkheim dalam karyanya yang berjudul Division du Travail Social (1893) dalam S. Johnson (2006:103-104): masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum. “Lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk kemasyarakatan) adalah hukum.” Dan sebaliknya, suatu klasifikasi objektif dari jenis-jenis hukum, suatu klasifikasi yang berlaku bagi penyelidikan sosiologis, hanya dapat dilaksanakan melalui suatu klasifikasi dari bentuk-bentuk kesetiakawanan.
Durkheim dalam S. Johnson (2006:105) membedakan dua tipe utama dari peraturan-peraturan hukum dan bentuk-bentuk kesetiakawanan, di dalam hukum restitutif, Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusional, dan lainnya). Selanjutnya ia menyatakan bahwa dalam kontrak itu tak semuanya bersifat kontrak dan bahwa sering kerja sama kita yang bersifat sukarela menciptakan kewajiban-kewajiban yang tak diinginkan, yakni ada timbul di bawah bentuk kontrak hukum yang diundang-undangkan dari berbagai kelompok-kelompok yang tidak dapat dikembalikan kepada jumlah anggota-anggota atau apa yang semenjak Durkheim dinamakan actes-regles (undang-undang yang mengatur) atau “contracts of adhesion”.
Durkheim berpendapat bahwa makin archis suatu masyarakat makin represif atau mengekang sifat sanksi-sanksinya yang sangat keras dan dahsyat, semakin tinggi tingkat perkembangan suatu masyarakat semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan. Sebaliknya, Hukum Luh Dua Belas (The Law of the Twelve Tables) berkenaan dengan masyarakat yang jauh lebih tinggi taraf perkembangannya dan karena itu berdasarkan sanksi-sanksi yang jauh lebih lunak, apabila di situ terdapat pembatasan-pembatasan hukuman dengan adanya sanksi-sanksi yang bersifat pemulihan (restitutif) (S. Johnson, 2006:106).
Durkheim dalam S. Johnson (2006:109) membedakan tipe masyarakat sebagai berikut:
1)        Tipe masyarakat bersahajanya yang berbidang-bidang yang terbentuk dari clan-clan (horde yang diintegrasikan dengan satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat di antara bangsa Australia dan Inroquoi,
2)        Tipe masyarakat berbidang-bidang yang tersusun secara sederhana, yang dalamnya terlebur banyak suku, misalnya konfederasi Iroquoi atau Kabyle,
3)        Tipe masyarakat berbidang-bidang yang tersusun rangkap seperti kota-kota, uni dari konfederasi-konfederasi, suku-suku.
Selanjutnya Durkheim melakukan pembentulan atas ketidakpuasannya terhadap pengklasifikasiannya sendiri tentang tipe-tipe masyarakat yang disebutkan di atas. Menurut Durkheim klasifikasi tipe masyarakat yang diungkap sebelumnya dianggap terlalu bersifat kuantitatif dan genetis. Hasil pembetulan klasifikasi tipe masyarakat Durkheim mengutarakan segi kualitatif namun tetap ada genesis yang lestari. Pembedaan tipe masyarakat tersebut terdapat dalam karyanya I’Annee Seciologique (S. Johnson, 2006:111) sebagai berikut:
1)        Masyarakat yang tersusun dari klan-klan totem (tipe Australia),
2)        Masyarakat-masyarakat yang didiferensiasikan berdasarkan klan-klan totem yang untuk sebagian berpengaruh (bangsa Indian Amerika Utara; di sini diferensiasinya berupa sistem kelas-kelas yang sedikit banyaknya bercorak agama, orde-orde militer, golongan-golongan paderi, berbagai alat kekuasaan sosial),
3)        Masyarakat-masyarakat kesukuan dari turunan laki-laki yang dalamnya ada suatu perkembangan kelompok-kelompok sosial (masyarakat-masyarakat desa) dan pemerintah pusat yang tetap (Negrito, Sudan, Bantu, dan lainnya),
4)        Masyarakat-masyarakat nasional (bangsa-bangsa, yang dalamnya terdapat berbagai tipe).
Durkheim berpendapat bahwa hukum, sebagaimana dengan agama, moral, estetika dan segala fenomena sosial yang asasi merupakan sistem-sistem nilai-nilai yang timbul dari cita-cita kolektif. Durkheim dalam perkembangan hukum hanya berpandangan pada satu tipe masyarakat saja yakni tipe yang tersusun atas klan-klan totem. Dalam penyelidikannya terhadap faktor agama dan magi dalam masyarakat primitive, Durkheim mengklasifikasikan dua jenis hukum yakni hukum kolektif dan hukum individual.
Dalam sosiologi hukum Durkheim terdapat kesukaran dimana terlalu diutamakannya masalah genetis, terpusatnya perhatian kepada paksaan-paksaan yang terorganisasi dan tendensi terselubung kearah monism sosial dan hukum tentulah terletak dalam keragu-raguannya mengenai isi kerohanian pengalaman hukum. Idealisme keadilan terkadang dianggapnya sebagai proyeksi-proyeksi sederhana dan hasil-hasil dari subyektivitas kolektif, terkadang sebagai isi kandungan sui genetis. Dua konsepsi yang digabungnya dengan menaikkan kesadaran kolektif ke tingkat roh metafisika. Durkheim dengan jelas melihat keharusan dalam sosiologi hukum adanya sintesa antara idealisme dan realisme atau lebih tepat adanya suatu dasar “idealitas realitas”. Sementara itu ia tidak pernah melepaskan cita atau gagasan untuk menggantikan bahasan sistematis normatif pola-pola hukum, ia tidak mencapai sintesa yang diinginkan. Dalam bahasan-bahasannya yang konkret mengenai sosiologi hukum realismenya mengenyahkan idealismenya yang hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subjektif: itulah sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis. Dalam konsepsi-konsepsi umumnya, sebaliknya “hyperspiritualismenya: yang terpendam membawanya kepada juridiksi dan moralisasi segala kenyataan sosial (S. Johnson, 2006:118).
Pemikiran Durkheim menggunakan teori solidaritas dalam memahami masyarakat yakni bahwa masyarakat terbentuk dari individu-individu sehingga terbentuklah sebuah masyarakat karena adanya rasa saling membutuhkan dan rasa solidaritas. Solidaritas dibagi menjadi dua yaitu:
1)   Solidaritas mekanik. Terjadi dimasyarakat kecil, yang masyarakatnya masih homogen.Misalnya bila ada salah satu masyarakat yang pergi maka tidak mempengaruhi masyarakat tersebut.
2)   Solidaritas organik. Terjadi di masyarakat besar dan modern, yakni jika ada yang pergi maka sangat mempengaruhi masyarakat tersebut.

b.    Max Weber
Menurut Max Weber melihat perkembangan hukum dari masyarakat klasik sampai masyarakat modern sekarang ini atau bisa dikatakan hukum berdasarkan fatwa sampai hukum berdasarkan musyawarah seperti sekarang. Max Weber membuat tiga sistem peradilan, yaitu:
1)        Peradilan Kudi yaitu menyelesaikan setiap perkara atau masalah dengan cara kekeluargaan atau perdamaian.
2)        Peradilan Empiris yaitu hakim memutuskan perkara dengan putusan-putusan terdahulu (yurisprudensi).
3)        Peradilan Rasional yaitu peradilan yang bekerja atas asas-asas organisasi yang sesuai dengan peradilan sekarang.
Kecenderungan Weber untuk membawa sosiologi hukum kepada sistematisasi ilmu hukum yang dogmatis konstruktif. Semua sosiologi hukum menurut Weber direduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan atau “kesempatan-kesempatan” dari kelakuan sosial, menurut suatu sistem yang koheren dari aturan-aturan yang diselenggarakan oleh ahli huku m bagi suatu tipe masyarakat tertentu. Sumbangan Weber kepada tipologi hukum masyarakat-masyarakat yang menyeluruh yang diselenggarakan di bawah bimbingan asas-asas ini, hendak kita pakai dalam pengutaraan kita secara sistematis dari masalah-masalah sosiologi hukum diferensial. Pendekatan Weber terhadap penggunaan metode pemahaman secara interpretatif dalam arti-arti bathin perbuatan-perbuatan untuk sosiologi, suatu metode yang bermanfaat bagi perdamaian dan kerja sama antara sosiologi hukum dan filsafat hukum (S. Johnson, 2006:142).
  
c.    Karl Marx
Hukum adalah suatu percerminan dari hubungan umum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu. Setiap masyarakat dalam perkembangannya secara historis didasarkan pada suatu fondasi ekonomis. Al-Hudaz (2010) bahwa menurut Marx hukum akan dipengaruhi oleh ekonomi. Misalnya dimasyarakat industri terjadi benturan stratifikasi sosial antara kelas borjuis (kaum yang mempunyai modal) dengan kaum proletar (kaum yang tidak mempunyai modal), maka kaum borjuislah yang akan selalu menang sedangkan kaum proletar akan selalu mengalami kekalahan. Pengusaha akan mempertahankan asset kemudian mereka masuk ke wilayah legislator dan terbentuklah Undang-Undang yang tidak menyesuaikan dengan kondisi masyarakat, bahkan cenderung merugikan masyarakat kecil.

d.   Henry S. Maine
Menurut Henry S. Maine penghargaan individu bersifat warisan/ turun menurun, dan status sangat berpengaruh tapi dilihat kenyataan sekarang tidak berlaku karena sekarang menggunakan penilaian dari kualitas individu jadi terjadilah pergeseran masyarakat dalam hukum.

2.      Dasar Penulisan
Menjadi dasar dalam penulisan ini adalah membahas tentang keterkaitan antara konsep sosial dengan ilmu sosiologi dengan penerapan ilmu-ilmu hukum kepada masyarakat. Penerapan konsep hukum haruslah mempunyai landasan yang kuat supaya dapat menghasilkan sebuah aturan yang efektif atau cocok dengan kehidupan sosial masyarakat. Dalam masyarakat banyak terdapat peraturan-peraturan yang penting yang mengatur tingkah laku dan pengawasan sosial. Setiap tindakan masyarakat haruslah dibarengi dengan pengawasan sosial baik itu dari masyarakat maupun dari lembaga-lembaga yudikatif.
  Ketertiban undang-undang, ketertiban dari masyarakat politik, menghimpun pengaturan-pengaturan lainnya, menyesuaikan yang satu dengan lainnya, dalam memberi dukungan. Inilah ketertiban yang dibahas oleh ahli-ahli hukum. Sosiologi hukum melihat bagaimana setiap kegiatan harus tunduk kepada pengaturan, apakah pengadilan maupun administratif, dan ketertiban undang-undang menggantikan inti ketertiban dari begitu banyak hubungan sosial dari begitu banyak kelompok.
Penerapan konsep hukum yang tidak dilandasi oleh konsep-konsep sosial yang membahas tentang norma-norma sosial itu akan menjadi hal yang kontroversi dalam masyarakat karena tidak semua orang akan menerima hal tersebut. Penggunaan konsep sosial dalam ilmu hukum semakin mempertajam atau mengefektifkan fungsi-fungsi dari hukum tersebut atau dengan kata lain penerapan ilmu hukum tersebut menjadi tepat sasaran. Kesimpulan-kesimpulan umum normatif dalam pergaulan yakni pola-pola hak dari berbagai tingkat kepastian dan keumuman, adalah bersifat fungsional yakni bekerja menuju pengawasan sosial, yang sebenarnya berlaku di dalam semua kelompok masyarakat.

1 komentar: