PENDEKATAN TEORI
SOSIOLOGI
DALAM
PRANATA KELUARGA
Pendahuluan
Keluarga
merupakan lembaga sosial pertama dan dasar dari semua lembaga-lembaga sosial
lainnya yang berkembangan dalam masyarakat luas. Di masyarakat manapun di
dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat
terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu. Keluarga dapat digolongkan
ke dalam kelompok penting, selain karena para anggotanya saling mengadakan
kontak langsung juga karena adanya keintiman dari para anggotanya.
Pranata keluarga merupakan sistem
norma dan tata cara yang diterima untuk menyesuaikan beberapa tugas penting.
Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan budaya di mana ia berada. Bila semua anggota
sudah mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana ia tinggal, maka
kehidupan masyarakat akan tercipta menjadi kehidupan yang tenang, aman dan
tenteram.
Intisari pengertian keluarga, yaitu sebagai berikut:
1. Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang
umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak,
2. Hubungan sosial di antara anggota keluarga
relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan / atau adopsi,
3. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh
suasana afeksi dan rasa tanggung jawab, dan
4. Fungsi keluarga adalah memelihara, merawat,
dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan
diri dan berjiwa sosial.
Beberapa
Pendekatan Teori Sosiologi Dalam Keluarga
1.
Teori
Struktural Fungsional. Ritzer (2009: 21) konsep utama dalam
teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manisfest, dan
keseimbangan (equilibrium). Menurut teori ini masyarakat adalah suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan mempengaruhi akan
membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya bahwa setiap
struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya, jika
tidak fungsional maka struktur tidak akan nada atau akan hilang dengan sendirinya.
Penganut teori ini cenderung melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau
peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan
bahwa suatu peristiwa dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam
suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua
peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Keluarga
sebagai lingkungan pertama seorang anak mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga
dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak
adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh
anak adalah dalam keluarga. Sehingga keluarga yang merupakan institusi sosial
yang bersifat universal dan multifungsional mempunyai fungsi pengawasan,
sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, perlindungan, dan rekreasi terhadap
anggota-anggotanya.
Sebagaimana
para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan
menganalogikan masyarakat ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa
sehat atau sakit. Ia sehat jika bagian-bagian dari dirinya (kelompok/individu
fungsional) memiliki kebersamaan satu sama lain. Jika ada bagiannya yang tidak
lagi menyatu secara kolektif, maka kesehatan dari masyarakat tersebut terancam,
atau sakit. Demikian halnya juga dalam keluarga yang terdiri dari
anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan fungsional
terhadap anggota keluarga lainnya. Bahwa pada umumnya, keluarga terdiri dari
ayah, ibu dan anak dimana masing-masing anggota keluarga tersebut saling
mempengaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota
keluarga.
Misalnya
fungsi ekonomi keluarga, dalam keluarga terdapat pembagian kerja yang
disesuaikan dengan status, peranan, jenis kelamin, dan umur anggota-anggota
keluarga. Ayah sebagai kepala rumah
tangga fungsional terhadap istri dan anak-anaknya. Bagi keluarga pada umumnya ayah
mempunyai peranan dan tanggung jawab utama dalam pemenuhan kebutuhan material
para anggota keluarganya, meskipun para anggota keluarga lain (ibu dan
anak-anak sudah dewasa) juga bekerja. Disamping fungsional, Robert K.Merton
dalam Ritzer (2009: 22) juga mengajukan konsep disfungsi dalam struktur sosial
atau pranata sosial. Bahwa dalam suatu pranata sosial selain menimbulkan
akibat-akibat yang bersifat positif juga ada akibat-akibat bersifat negatif.
Masih terhubung dengan contoh di atas, bahwa seorang ayah bisa disfungsi
terhadap anggota-anggota keluarga lain (istri dan anak-anaknya). Dimana ayah
tidak menjalankan peranan dan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah utama
dalam keluarganya. Jika hal tersebut terjadi dalam suatu keluarga maka akan
mengganggu sistem yang ada dalam keluarga, membuat fungsi ekonomi keluarga
mengalami pergeseran.
2. Teori Konflik.
Tidak dapat dipungkiri dalam suatu lembaga keluarga tidak selamanya akan berada
dalam keadaan yang statis atau dalam kondisi yang seimbang (equilibrium), namun juga mengalami
kegoncangan di dalamnya. Menurut teori konflik masyarakat senantiasa berada
dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di
antara unsur-unsurnya (Ritzer, 2009:26). Pertentangan (konflik) bisa terjadi
antara anggota-anggota dalam keluarga itu sendiri, ataukah antara keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain.
Menurut teori konflik Dahrendrof mengatakan
bahwa konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam
situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk
mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara
hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau
konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan
efektif (Ritzer, 2009:28).
Para
penganut teori konflik mengakui bahwa konflik dapat memberikan sumbangan
terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi dapat menimbulkan konflik. Berghe
dalam Ritzer (2009:29) mengemukakan empat fungsi dari konflik sebagai berikut:
a.
Sebagai alat untuk memelihara
solidaritas,
b.
Membantu menciptakan ikatan aliansi
dengan kelompok lain,
c.
Mengaktifkan peranan individu yang
semula terisolasi. (Protes terhadap perang Vietnam mendorong pemuda AS untuk
aktif berkampanye untuk Mc. Carthy dan Mc. Govern yang anti perang tersebut),
d.
Fungsi komunikasi. Sebelum konflik
kelompok tertentu mungkin tidak mengakui posisi lawan. Tapi dengan adanya
konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan
kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri dan karena itu dapat
mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih tepat.
Misalnya
dalam sebuah keluarga terjadi konflik atau pertentangan antara anggota keluarga
(kakak dan adiknya), kemudian di luar lingkungan keluarganya mereka memiliki
musuh yang sama. Maka mereka terintegrasi dalam melawan musuhnya tersebut
dengan mengabaikan konflik internal antara mereka. Dalam keluarga yang broken
home, di mana sering terjadi percekcokan di antara orang tua dan saling
bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang agresif, maka dengan sendirinya
keluarga yang bersangkutan akan mengalami kegagalan dalam menjalankan
fungsi-fungsi keluarga yang sebenarnya.
3. Teori Interaksionis Simbolik.
Menurut Herbert Blumer (1962) seorang tokoh modern dari Teori Interaksionisme
Simbolik dalam Ritzer (2009:52) mengungkapkan bahwa istilah interaksionisme
simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya
adalah manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya.
Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain,
melainkan didasarkan pada “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain
itu. Interaksi antara individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol,
interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari
tindakan masing-masing. Jadi dalam interaksionisme simbolik bahwa dalam proses
interaksi individu dimulai dari suatu proses stimulus secara otomatis dan
langsung menimbulkan respon oleh si aktor. Tetapi antara stimulus dan respon
atau tanggapan diantarai oleh proses interpretasi. Proses interpretasi adalah
proses berpikir yang merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia.
Secara
sederhana dapat digambarkan suatu proses interaksi yang terjadi dalam lembaga
keluarga yang dimulai dengan adanya proses stimulus kemudian respon atau
tanggapan. Dalam masyarakat dikenal simbol komunikasi. Ritzer (2009:55)
mengemukakan simbol komunikasi merupakan proses dua arah di mana kedua pihak
saling memberikan makna atau arti terhadap simbol-simbol itu. Dengan
mempelajari simbol-simbol tersebut berarti manusia belajar melakukan
tindakan secara bertahap. Dalam lembaga
keluarga juga dikenal simbol komunikasi, sehingga antara anggota keluarga
saling memahami dan mengerti tindakan anggota keluarga lainnya.
Contoh
seorang kakek memerintahkan cucunya untuk mengambilkan obatnya di dalam kamar
kakek. Cucu tersebut mendengarkan perintah kakek dan melaksanakan perintah
kakeknya dengan mengambilkan obat itu. Ini artinya si kakek memberikan stimulus
kemudian secara tidak langsung si cucu menerima stimulus itu dan selanjutnya
memberikan tanggapan atau respon atas stimulus dari si kakek. Contoh lain, ketika seorang kakak memukul
adiknya, kemudian sang adik menangkis pukulan tersebut maka terjadi proses
interaksi antara kedua kakak adik tersebut. Ataukah seorang datang ke rumah
kemudian memberikan salam, orang dalam rumah menjawab salam tersebut dan mempersilahkannya
masuk. Ada simbol bahasa yang digunakan yang menandakan ada orang yang bertamu
ke rumah tersebut.
Dari pendekatan ketiga teori sosiologi yang
dipaparkan di atas yakni teori struktural fungsionalis, teori konflik, dan
teori interaksionisme simbolik terhadap lembaga keluarga, masing-masing sangat
jelas mendiskripsikan proses sosial yang terjadi dalam keluarga. Bahwa dalam
sebuah keluarga ada fungsi dan disfungsi yang terjadi antara anggota keluarga.
Dalam keluarga pun sering terjadi pertentangan (konflik) internal maupun
eksternal anggota keluarga. Dan sebagai lembaga sosialisasi pertama (lembaga
keluarga) dimana di dalamnya terdapat proses interaksi antara anggota keluarga
sehingga ada kesepahaman dan tercipta keharmonisan dalam keluarga itu.
Menurut
saya ketiga pendekatan tersebut masih terdapat dalam lembaga keluarga saat
sekarang. Hal ini terlihat terjelas dalam kehidupan sehari-hari individu
sebagai anggota dalam lembaga keluarga. Meskipun pada dasarnya keluarga yang
mempunyai fungsi antara lain: biologis, afeksi, pendidikan, ekonomi,
sosialisasi, keagamaan, dan perlindungan sudah mengalami perubahan
(pergeseran). Berbicara yang mana ketiga pendekatan yang telah disebut
sebelumnya lebih menarik? Penulis menitikberatkan pada pendekatan konflik dalam
keluarga, karena dalam realitas sekarang begitu banyak suami istri yang
bercerai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Proses perubahan ekonomi pada masyarakat
industri telah mengubah sifat keluarga, dari institusi pedesaan yang agraris menuju
ke institusi perkotaan yang bernuansa industrialis. Dengan demikian peranan
anggota-anggota keluarga juga mengalami perubahan. Fungsi produksi hilang,
keluarga menjadi kesatuan konsumsi semata-mata. Keluarga di kota tidak lagi
melakukan fungsi produksi langsung.
Fenomena sosial tersebut dapat kita
lihat pada masyarakat perkotaan yang memiliki kesibukan yang cukup padat.
Seorang ibu yang memiliki jam kerja yang begitu padat sehingga tidak sempat
untuk mendidik anaknya terpaksa menitipkan anaknya kepada pembantu, pengasuh
anak atau pada lembaga pendidikan non formal. Fenomena tersebut menjelaskan
bahwa ada peralihan fungsi yang di mana keluarga yang menjadi tempat
sosialisasi yang utama berpindah pada lembaga pendidikan non formal atau orang
lain yang mempunyai kapabilitas dalam hal tersebut. Dengan kata lain ibu
tersebut meninggalkan fungsi sebagai ibu rumah tangga yakni pengasuh
anak-anaknya.
Fenomena tersebut di atas dapat
mengganggu proses pertumbuhan anak terutama dalam hal sosialisasi. Lembaga
keluarga sebagai media sosialisasi pertama anak menjadi tidak berfungsi atau
akan hilang. Selain itu, fenomena ini bisa juga mendatangkan konflik dalam
rumah tangga tersebut. Ketika anak mengalami kegagalan maka orang tua (suami
dan istri) akan saling menuduh. Terjadi pertengkaran antara suami dan sitri.
Mungkin juga berakhir pada perceraian suami dan istri tersebut, karena sudah
tidak ada lagi kecocokan antara mereka. Akibatnya anak mengalami tekanan
psikologis (depresi). Anak melakukan pelarian di luar lingkungan keluarga, yang
mungkin melakukan hal-hal yang bersifat negatif. Keluarga tersebut tidaklah
lagi berjalan statis dengan fungsi-fungsi yang ideal, runtuhlah keluarga yang
harmonis pada mulanya.
Daftar pustaka
J.
Goode, William. 2007. Sosiologi Keluarga.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Narwoko,
J. Dwi & Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan, edisi kedua. Jakarta: Kencana.
Nasikun,
Dr. 2003. Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ritzer,
George. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar