Rabu, 27 Juni 2012

SOSIOLOGI HUKUM DEFERENSIAL


A.      SOSIOLOGI HUKUM DEFERENSIAL
Salah satu ruang lingkup dari masalah sosiologi hukum diferensial melalui sudut mikrofisika kepada sudut makrofisika kenyataan hukum adalah tipologi hukum kelompok-kelompok khusus. Kelompok-kelompok khusus merupakan unsur pokok dari masyarakat yang menyeluruh. S. Johnson (2006:225) menyatakan bahwa kriteria-kriteria dalam pengklasifikasian kelompok-kelompok sebagai berikut:
1.  Luasnya,
2.  Lamanya,
3.  Fungsinya,
4.  Sikapnya,
5.  Asas organisasinya,
6.  Bentuk paksaannya,
7.  Jenis persatuannya,
Satuan kolektif yang nyata terbagi menurut luasnya di dalam kelompok-kelompok khusus dan kelompok-kelompok yang meliputi. Kelompok yang meliputi ini di dalamnya bentuk kemasyarakatan superfungsional diwujudkan. Kelompok yang meliputi didapatkan dalam bangsa, masyarakat internasional dan umat manusia. Sedangkan kelompok khusus, misalnya negara, kota, gereja, keluraga, dan serikat buruh, jabatan-jabatan, kelas-kelas, dan lainnya hanya merupakan kelompok-kelompok sebagian yang terbatas karena tidak mewakili lebih dari satu sektor dari kelompok menyeluruh. Di dalam pengelompokan ini hanya dapat diwujudkan bentuk kemasyarakatan fungsional (S. Johnson, 2006:225).
Menurut S. Johnson (2006) bahwa kelompok-kelompok menyeluruh saja yang pada hakikatnya berlangsung lama, sebaliknya kelompok-kelompok lainnya hanya bersifat sementara. Kelompok yang bersifat sementara misalnya; orang banyak (crowds), pertemuan-pertemuan (meeting), demonstrasi-demonstrasi, komplotan-komplotan, gerombolan-gerombolan, regu olahraga untuk satu kali pertandingan, dan sebagainya.
Kelompok yang berlangsung lama dapat dibagi dalam beberapa tipe berdasarkan sifat umum fungsi-fungsinya. S. Johnson (2006:226) mengemukakan tipe-tipe kelompok tersebut sebagai berikut:
1.    Kelompok kekeluargaan berdasarkan nenek moyang mistis atau nenek moyang yang sebenarnya, misalnya klan, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga sekerabat, kelompok anak-anak, dan lainnya.
2.    Kelompok berdasarkan daerah dihubungkan dengan tempat tinggal dekat satu sama lain, misalnya dusun, kotapraja, kabupaten, daerah, negara, atau masyarakat politik atau kelompok ketatanegaraan.
3.    Kelompok kegiatan ekonomi, semua kelompok yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi, misalnya jabatan-jabatan, serikat buruh, koperasi, kasta-kasta, pabrik, dan sebagainya.
4.    Kelompok yang tidak mendapatkan keuntungan berupa uang, misalnya partai politik, perhimpunan-perhimpunan kesarjanaan, perkumpulan olahraga, klub-klub.
5.    Kelompok mistis-ekstatis, misalnya gereja-gereja, kongregasi-kongregasi, orde-orde keagamaan, persaudaraan magis, sekte-sekte, dan lain-lain.
6.    Kelompok-kelompok persahabatan atau kelompok teman semeja, pemuja-pemuja dan penganut-penganut seorang pemimpin dan lainnya.
Dalam kelompok yang tersebut di atas dapat dibagi lagi diantara mereka sendiri menurut sikapnya dalam kelompok terpecah dan bersatu. Dalam kelompok yang bersatu selalu memiliki sikap berdamai, misalnya suku/marga, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga kerabat, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, industri-industri, kelompok filantropis, kesarjanaan, gereja-gereja, dan kelompok yang bersatu lainnya. Kelompok anak-anak yang merupakan lawan kelompok-kelompok orang tua merupakan kelompok yang terpecah. Misalnya juga serikat buruh, organisasi pengusaha, perkumpulan produsen dan konsumen, partai politik, kelompok magis-ekstatis, sekte-sekte keagamaan termasuk dalam kelompok terpecah.
Dari kriteria kelima dalam pengklasifikasian kelompok maka kelompok ada yang tidak terorganisasi dan kelompok terorganisasi. Kelompok sementara memiliki kemampuan untuk berorganisasi karena kemampuan tersebut hakikatnya berpengaruh pada bentuk kemasyarakatan aktif dibandingkan bentuk kemasyarakatan pasif. Kemasyarakatan yang pasif cenderung mencegah pengorganisasian.
Kriteria keenam membagi kelompok dalam bentuk kelompok dengan paksaan yang bersyarat dan tidak bersyarat. Dalam S. Johnson (2006) dinyatakan bahwa paksaan-paksaan yang bersyarat mempunyai bentuk serba keras dan represif, misalnya hukum siksa dan penjara oleh gilda-gilda dan universitas-universitas pada abad pertengahan. Sedangkan paksaan yang tidak bersyarat bersifat lunak dan bersifat restitutif (mengganti kerugian) misalnya denda-denda ringan, kewajiban membayar karena menyebabkan kerusakan-kerusakan dalam hukum sipil.
Menurut kriteria jenis persatuanya maka kelompok dibagi dalam kelompok-kelompok unitaristis, federalistis dan konfederalistis. S. Johnson (2006:230) mengemukakan bahwa kelompok unitaristis, apabila organisasinya merupakan suatu sintesa langsung dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, atau apabila sub-sub organisasi yang terdapat di dalamnya memainkan peranan kecil karena organisasi pusat menguasai mereka, misalnya segala macam desentralisasi. Kelompok federalistis, apabila organisasinya merupakan satu sintesa dari sub-sub organisasi, yakni satu sintesa yang sedemikian rupa sehingga kelompok pusat dan sub-sub kelompok senilai dalam membentuk persatuan. Sedangkan kelompok yang konfederalistis, apabila organisasinya adalah satu sintesa sub-sub organisasi yang demikian tersusun sehingga sub-sub organisasi berkuasa atas kelompok pusat.
Deferensiasi kerangka-kerangka hukum sebagai tipe kelompok. S. Johnson (2006:235), menyatakan bahwa deferensiasi kerangka-kerangka hukum dalam kerangka-kerangka berdasarkan kelompok-kelompok, kelompok aktivitas ekonomi dan kelompok mistis-ekstatis. Selain itu, terdapat pula kerangka hukum persatuan, federal dan konfederasi. Dalam kerangka hukum persatuan yang memainkan peranan adalah hukum communion dan hukum massa. Sedangkan dalam kerangka hukum federal dan konfederasi yang memainkan peranan adalah hukum perkauman.
Berbicara kerangka hukum dikenal pula kerangka hukum yang terpecah belah dan menyatukan. Dalam kerangka hukum terpecah-belah daya kemampuannya hebat. Misalnya dalam perjuangan, pertentangan hukum proletar dan hukum borjuis, kita menjumpai suatu sengketa antara dua tata tertib hukum yang berlainan mengatur kehidupan batin dari dua golongan tersebut. Kelompok yang mempersatukan adalah suatu kelompok sintesa yang diresapi oleh jiwa bersifat kompromi. Selain itu, terdapat pula kerangka hukum nasional dan internasional. Dalam S. Johnson (2006:239) bahwa hukum perkauman memainkan peranan utama dalam kerangka hukum nasional, sedang dalam kerangka hukum internasional dikuasai oleh hukum massa. Tat tertib hukum nasional dan internasional mempunyai beberapa persamaan dalam arti mempunyai corak yang khas karena sifatnya yang suprafungsional.
Dalam S. Johnson (2006:245-246), menetapkan empat macam tipe hukum sosial menurut lingkup tipologi hukum kelompok-kelompok yang tersebut di atas yakni:
1.    Kerangka-kerangka hukum sosial murni dan independen, jika ada sengketa, lebih tinggi atau sederajat dengan tata tertib hukum negara misalnya hukum nasional suprafungsional, hukum internasional, hukum gereja katolik, dan lainnya,
2.    Kerangka-kerangka hukum sosial murni yang dibawahkan per-walian negara, yakni mempunyai hak yang memaksa tanpa syarat dan bersifat otonom,
3.    Kerangka-kerangka hukum sosial otonom uang dianeksasi oleh negara, yakni yang dibawahkan olehnya, baik dengan jalan inkorporasi didalamnya sebagai “jawatan-jawatan umum yang didesentralisasikan” maupun hanya dengan mengangkatnya ke dalam lapangan istimewa dari hukum publik,
4.    Kerangka-kerangka hukum sosial yang ditempa dalam kerangka hukum negara demokratis, yang karakteristiknya telah kita ketahui.
Sosiologi hukum diferensial selain membahas ruang lingkup mengenai tipologi hukum pengelompokan khusus juga membicarakan tentang tipologi hukum masyarakat-masyarakat yang menyeluruh. selanjutnya akan dibicarakan tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh, sebagaimana yang dikemukakan oleh S. Johnson (2006:250) sebagai berikut:
1.    Sistem masyarakat banyak bidang yang mempunyai dasar magis-keagamaan,
2.    Sistem hukum dari masyarakat yang mendapat kesejenisan (homogeneity) oleh asas karismatisme teokratis,
3.    Sistem hukum dari masyarakat yang mendapat kesejenisannya oleh pengutamaan kelompok dosmetik-politik sistem yang sedikit-banyaknya dirasionalkan,
4.    Sistem-sistem hukum dari masyarakat feodal berdasarkan pengutamaan yuridis gereja sistem yang setengah mistik dan setengah dirasionalkan,
5.    Sistem hukum dari masyarakat yang dipersatukan oleh pengutamaan kota dan kekaisaran sistem yang lebih dirasionalkan,
6.    Sistem hukum dari masyarakat yang dipersatukan oleh pengutamaan negara teritorial dan otonomi kehendak individual,
7.    Sistem-sistem hukum dari masyarakat-masyarakat dewasa ini yang didalamnya kelompok-kelompok aktivitas ekonomi dan negara teritorial berjuang untuk mendapatkan suatu keseimbangan hukum baru-sistem yang bersifat sementara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar