A.
SOSIOLOGI
HUKUM SISTEMATIS
1. Bentuk-bentuk
Kemasyarakatan dan Jenis-jenis Hukum
Sosiologi
hukum sistematis bertugas menelaah hubungan fungsional antara kenyataan sosial,
jenis-jenis hukum (kinds of law),
kerangka hukum (f rameworkof law),
dan sistem-sistem hukum (systems of law).
Dalam kelompok-kelompok terjelmakan kerangka-kerangka hukum. Kerangka-kerangka
hukum ini adalah sintese dan keseimbangan (equalibria) antara berbagai jenis
hukum. Struktur kelompok yang dibangun oleh sintese dan keseimbangan diantara
berbagai bentuk kemasyarakatan (sociality). Dalam masyarakat majemuk,
sintese-sintese dan keserbanekaan kelompok-kelompok melahirkan sistem-sistem hukum.
Jenis-jenis
hukum yang bersaing di dalam kerangka hukum menurut dua aspek: horizontal dan
vertikal. Sudut pandangan horizontal menganggap jenis-jenis hukum sebagai
fungsi-fungsi dari kedalaman yang sama; sudut tinjauan vertikal menganggap
jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari lapisan-lapisan kedalaman yang
tindih-menindih dalam kenyataan hukum. Setiap bentuk kemasyarakatan yang aktif,
yang mewujudkan suatu segi dari cita kebenaran, dan setiap lapisan ke dalam
dari kenyataan hukum mempunyai dua tugas; (1) menelaah jenis-jenis hukum
sebagai fungsi-fungsi dari berbagai macam bentuk kemasyarakatan; (2) menelaah
jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi lapisan-lapisan kedalaman yang dapat
ditemukan di dalam setiap bentuk kemasyarakatan, apabila bentuk kemasyarakatan
itu menjadi fakta normatif (S. Johnson, 2006:193-194).
Klasifikasi
Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
S. Johnson (2006: 194) mengemukakan bahwa
klasifikasi horizontal dari bentuk-bentuk kemasyarakatan berkembang pada dua
tingkatan kedalaman yang berlainan: kemasyarakatan yang langsung dan spontan
dan kemasyarakatan yang terorganisasi dan direfleksikan. Kemasyarakatan yang
spontan dijelmakan dalam keadaan-keadaan langsung (spontaneous states) dari akal budi kolektif, baik berupa
praktek-praktek yang dibimbing oleh pola yang luwes, maupun perbuatan-perbuatan
kolektif yang melahirkan hal-hal baru serta bersifat kreatif. Kemasyarakatan
yang terorganisasi terikat pada pola tingkah laku kolektif dalam arti dibimbing
oleh pola-pola yang baku (chrystalized)
dalam skema-skema yang dibuat dengan sengaja, yang telah ditentukan terlebih
dahulu dan terpusat (centralized).
Dalam kemasyarakatan spontan mengutamakan
tekanan-tekanan ke dalam, bertindak secara spontan dalam kesadaran kita yang
merupakan tekanan kepada kesadaran yang lainnya. Sebaliknya, dalam
kemasyarakatn terorganisasi lebih kepada adanya sangsi-sangsi dan pemaksaan
dari luar, yang kadangkala terpencil dan sempit dari struktur bawah
(infrsturktur) yang spontan dan terkadang pula struktur bawah ini dalam keadaan
tertentu menjadi transcendent. Sementara watak atau struktur atas
(superstruktur) tergantung kepada sifat sampai dimana dikelilingi oleh struktur
bawah yang spontan dan dalam bentuk-bentuk yang khusus. Dengan demikian
kemasyarakatan yang spontan selalu mendasari kemasyarakatan yang terorganisasi.
Dalam kemasyarakatan yang spontanitas,
boleh jadi orang pada mulanya memandang kemasyarakatan karena interpenetrasi
atau peleburan sebagian (partialfusion)
kedalam “kita” (We), sebagai
kebalikan dari kemasyarakatan karena interpendensi (saling bergantung) antara
intuisi kolektif dan perhubungan kelambangan (symbolic communication). Jikalau timbul suatu “Kita” (“Kita bangsa
Amerika”, Kita bangsa Prancis”, “Kita bangsa Inggris”, “Kita kaum plotter”,
“kita kaum intelektual” dan lain-lainnya), maka “Kita”, ini merupakan suatu
keseluruhan yang tidak terbagi lagi, suatu kesatuan baru yang tidak dapat
diurai menjadi jumlah anggota-anggotanya dan bagian-bagian itu tersimpul di
dalam keseluruhan (S. Johnson, 2006:195).
Kemasyarakatan karena konvergensi dan
interdependensi, di mana kesadaran dan kelakuan-kelakuan membentuk suatu
kenyataan baru karena koordinasi dan erat hubungan timbal baliknya. Walaupun
kesadaran dan kelakuan-kelakuan saling terikat antara keduanya, namun pada
hakikatnya keduanya tetap berbeda. Kesadaran dan kelakuan tetap saling
transcendent dan bertentangan dengan keseluruhannya meskipun salin berorientasi
satu sama lain. Kesadaran dan kelakuan saling berhubungan dengan perantara
tanda-tanda seperti perkataan, isyarat, pernyataan, tanda-tanda lahiriah,
kelakuan-kelakuan yang berarti. Disamping tanda-tanda sebagai perantara,
sedangkan pola-pola, lambang-lambang sebagai dasar yang pertama dari
terbentuknya kemasyarakatan. Misalnya, dalam pertukaran, persetujuan (kontrak),
perhubungan mengenai milik (kekayaan), maka pernyataan-pernyataan tertulis
digunakan sebagai dasar bagi ikatan yang dilakukan tersebut.
Intensitas kemasyarakatan yang spontan
dengan peleburan hanya untuk sebagian adalah kriteria untuk membedakan bentuk
kemasyarakatan. Pertama, apabila kesadaran terbuka hanya pada permukaan tetapi
tertutup pada bagian yang lebih dalam dan bersifat lebih pribadi disebut massa
(masses). Kedua, apabila kesadaran
terbuka dan saling menyusup sampai pada tingkatan-tingkatan yang aspirasi
kepribadian diintegrasikan dalam “Kita” tetapi tidak mencapai puncak integrasi
disebut perkauman (community) dan
ketiga, apabila kesadaran terbuka selebar-lebarnya dan kedalaman tidak termasuk
dalam pribadi diintegrasikan dalam peleburan kita sebut communion.
S. Johnson (2006:197) mengemukakan bahwa tebal tipisnya peleburan dan tenaga tekanan
adalah sama sekali tidak saling bersesuaian, bertentangan dengan apa yang
kita duga. Masa peleburan kesadaran itu paling dangkal adanya dan
lapisan-lapisan terdalam tertutup bagi satu sama lain, tetapi tekanan kelompok
terhadap individu paling kuat. Sebaliknya, ketika peleburan sebagian dari
kesadaran itu merangkum dan mengintegrasikan lapisan-lapisan “aku” lebih dalam
maka tekanan terasa kurang dari spontanan sosial. Dalam perkauman (community) tekanan tidak sekuat dalam
massa (mases), dalam communion tidak sekuat dalam masyarakat.
S. Johnson (2006:197) mengatakan bahwa kehebatan
dan luas kemasyarakatan berdasarkan interpenetrasi, maka intens (hebat) ikatan
kemasyarakatan, bukannya makin luas. Communion terwujud dalam lingkungan
yang sangat terbatas, misalnya communion lebih mudah dalam serikat buruh
daripada federasi serikat-serikat buruh. Perkauman itu adalah bentuk
kemasyarakatan di dalam suatu kelompok sedangkan massa dan communion merupakan
bentuk kemsayarakatan yang terjelma dalam keadaan tertentu saja.
Kemasyarakatan karena peleburan sebagian
dapat dibagi berdasarkan fungsinya. Sebagaimana S. Johnson (2006:200)
menyatakan fungsi adalah semata-mata suatu aspek dari suatu tugas (task)
bersama yang harus diselenggarakan dan sangat berbeda dengan tujuan (yang telah
ditentukan terlebih dahulu dalam suatu peraturan (statute) dan hanya berhubungan dengan superstruktur yang
terorganisasi) yakni motif dari tindakan (perbuatan) kolektif (collective action), istilah untuk
aspirasi dalam kemasyarakatan berdasarkan peleburan (tujuan serta nilai, ke
mana ia cenderung). Pertama, kemasyarakatan bersifat unifungsional apabila
aktivitasnya terwujud dalam suatu tujuan saja artinya mendapat inspirasi oleh
satu tugas saja, mendapatkan inspirasi oleh satu nilai saja yang dijelmakan
dalam satu tujuan saja misalnya peleburan sebagain buruh dalam satu pabrik dan
sebagainya. Kedua, kemasyarakatan bersifat multifungsional dimana di dalamnya
terdapat berbagai tugas. Ketiga sifatnya suprafungsional yang didalamnya
tersangkut keseluruhan tugas-tugas yang tidak dapat disebutkan satu per satu
aspek dari keseluruhan tugas tersebut, misalnya peleburan sebagian
anggota-anggota suatu bangsa.
Kemasyarakatan
unifungsional mengabdi pada kepentingan khusus, kemasyarakatan superfungsional
mengabdi pada kepentingan umum (bersama), sedangkan kemasyarakatan
multifungsional mengabdi pada kepentingan khusus dan kepentingan umum.
Kepentingan umum (bersama) bukan berarti kepentingan dalam kemasyarakatan itu sama.
Kepentingan bersama merupakan keseimbangan (equilibrium)
diantara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan jumlah
aspek-aspek yang senilai dari kepentingan bersama adalah sama dengan jumlah
kemungkinan-kemungkinan dari berbagai macam yang bertentangan yang hakikatnya
dapat berubah-ubah.
Jenis-jenis
Hukum yang Bersesuaian dengan Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Mikrososiologi
hukum membedakan jenis hukum yang sama jumlahnya dengan bentuk kemasyarakatan
yang aktif. Jenis-jenis hukum berdasarkan klasifikasi sosiologis secara
horizontal, sebagaimana S. Johnson (2006:202) mengemukakan perbedaan jelas
antara hukum sosial dan hukum perseorangan (hukum antar perseorangan, inter
individual law). Hukum sosial adalah suatu hukum yang berdasarkan integrasi obyektif
ke dalam “Kita” ke dalam keseluruhan yang imanen. Orang diperbolehkan dikenakan
hukum dan ikut langsung ke dalam keseluruhan untuk mengambil bagian dalam
hubungan-hubungan hukum. Hukum sosial berdasarkan pada kepercayaan sehingga
hukum sosial tidak dapat dipaksakan dari luar dan hanya mengatur dari dalam
dengan cara imanen. Sehingga hukum sosial itu bersifat otonom.
Hukum
perseorangan (individual law) merupakan hukum antar perseorangan dan kelompok
yang berdasarkan pada ketidakpercayaan (curiga). Hukum perseorangan mendekatkan
orang-orang dengan lainnya namun juga memisahkan dan membatasi kepentingan
mereka. Terdapat hukum perdamian yang saling bantu-membantu, mempunyai tugas
yang diemban bersama-sama namun di sisi lain terdapat hukum sengketa, hukum
peperangan dan hukum perpisahan, yang dapat memecah belah mereka. Berdasarkan
tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban dalam hukum sosial dan hukum
perseorangan sangatlah berbeda. Hukum sosial dengan tuntutan dan kewajiban yang
saling susup-menyusupi satu sama lain yang merupakan keseluruhan yang tidak
terpecahkan dan yang berlaku adalah keadilan distributif. Dalam hukum
perseorangan tuntutan dan kewajiban hanya membatasi dan saling bertabrakan
serta menggunakan keadilan komutatif.
Dalam
kemasyarakatan interpenetrasi terbagi dalam massa, perkauman (community) dan
communion maka hukum sosial dapat dibagi menurut tingkat intersitanya yakni
hukum sosial untuk massa, hukum sosial untuk perkauman, dan hukum sosial untuk
communion.
Hukum sosial massa, bahwa ikatan persatuan dalam
massa itu sangat lemah namun daya tekannya sangat kuat, maka hukum sosial
sebagai pengintegrasi berlaku tidak kuat dan lebih banyak melakukan kekerasan.
Integrasi yang tercapai hanya terlihat pada permukaan saja. Hukum berlaku bergantung
kepada jaminan yang menjadi dasarnya. Tuntutan dari kelompok menguasai
kewajiban-kewajibannya sehingga unsur atributif hampir lenyap menghilang
kebelakang unsur yang bersifat imperatif. Sedangkan hak-hak dari anggota yang
berintegrasi tidak dapat diketengahkan. Sebagaimana S. Johnson (2006:205)
mengemukakan bahwa hukum sosial massa berciri hukum obyektif
(perintah-perintah) yang hampir mengabaikan hak-hak subyektif. Maka hukum yang
mengintegrasikan massa di antara semua bentuk hukum sosial adalah yang paling
dekat kepada hukum penguasaan yang subordinatif.
Hukum sosial perkauman, pada
hakikatnya perkauman merupakan peleburan untuk sebagain (partial fusion) dan tekanan maka asas hukum sosial yang timbul
dalam perkauman ditandai dengan sifat-sifat yang mengikat dan keras. Sifatnya
yang mengikat dari hukum sosial perkauman dipengaruhi oleh dua faktor asasi,
sebagaimana yang dikemukakan S. Johnson (2006:205-206): pertama, perkauman
adalah bentuk paling seimbang dari kemasyarakatan (sociality) yang berdasarkan interpenetrasi dan biasanya merupakan
suatu ikatan sosial yang sangat mantap (stable),
yang paling mudah terwujudkan di dalam suatu kelompok. Ini biasanya memberi
suatu keteguhan dan kekuatan yang jauh melebihi apa yang diduga kepada fakta
normatif dari masyarakat, kepada jaminan yang menjadi tempat berpijaknya hukum
tersebut. Kedua, perkauman pada umumnya merupakan suatu bentuk kemasyarakatan
yang sangat menguntungkan bagi lahirnya hukum, karena disanalah
kepercayaan-kepercayaan hukum cenderung untuk dibedakan dari
kepercayaan-kepercayaan moral dan ekstase mistik (bersifat religi dan magi),
seperti yang sering berlaku dalam communion. Dalam hukum sosial perkauman
suasana atau iklim dari suatu perkauman (community)
adalah suatu milieu yang sangat baik
bagi keseimbangan antara hukum sosial yang obyektif dan hak-hak yang subyektif.
Hukum sosial communion, mendefinisikan
communion sebagai peleburan sebagian (partial fusion) yang paling kuat dan tekanan yang paling lemah maka hukum
sosial communion ditandai dengan asas yang berwibawa dan tekanan yang kurang.
Misalnya wibawa adat yang diperlemah karena umur communion yang sangat singkat
karena ketiadaan kematapan (stability) dari interpenetrasi yang dalam.
Communion sering bercorak karismatis dan mistis. Lingkungan yang lebih pada
kepercayaan-kepercayaan agama dan moral daripada kepercayaan-kepercayaan hukum.
Dalam kelompok dengan hukum sosial communion, hukum sosial obyektif menguasai
hak-hak subyektif.
S. Johnson
(2006:207), bentuk kemasyarakatan berdasarkan interdependensi dan pembatasan
yang dibagi dalam hubungan yang berdasarkan perpisahan, penyelarasan kembali (rapprochement) dan yang sifatnya
sempurna maka hukum perseorangan dapat dibagi atas hukum perseorangan
berdasarkan pemisahan, hukum perseorangan berdasarkan rapprochement, dan hukum
perseorangan berdasarkan struktur campuran.
Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan, hukum ini
timbul dari sengketa, pertentangan, benturan, dan persaingan di dalam
keseluruhan (kelompok) mereka. R. Ihering dalam S. Johnson (2006:207-208),
merasa yakin bahwa semua hukum
perseorangan mempunyai asal yang sama, dan tidak lain dan tidak bukan adalah
prosedur hukum mengenai sengketa-sengketa bersifat formal dan menjamin
kesetiaan segenap pihak kepadanya. Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan
merupakan tipe yang sangat umum dalam hukum perseorangan karena tidak dibatasi
oleh hukum rapprochement maupun hukum perseorangan campuran. Hukum jenis ini
mudah mengubah dirinya menjadi hukum siapa yang terkuat (law of the strongest)
yang selanjutnya melebur kesegala peraturan hukum kemudian menjadi kekerasan.
Singkatnya, hukum perseorangan berdasarkan
pemisahan unsur atributnya mendorong pemisahan dan menguasai unsur imperatif
yang hampir tidak kelihatan.
Hukum perseorangan berdasarkan rapprochement, hukum
rapprochement atau dinamakan juga hukum penyelarasan kembali memiliki bentuk
yang agak aneh. Hukum ini ditandai dengan adanya hubungan yang pasif. Mungkin
untuk menemukan peristiwa-peristiwa yang didalamnya rapprochement adalah suatu
unsur utama, tetapi tidak istimewa dari hubungan-hubungan dengan yang lainnya,
adalah suatu unsur yang dihalangi oleh sedikit pemisahan yang masih ada. Itulah
sebabnya rapprochement menjadi bentuk kemasyarakatan yang aktif dan memisahkan
hukum. Hubungan-hubungan aktif berdasarkan rapprochement terdapat misalnya
apabila diberikan hadiah-hadiah berharga untuk memulai suatu hubungan, atau
apabila diadakan konsensi-konsensi tanpa dikembalikan dan tanpa pengertian
adanya kewajiban untuk mengembalikan dan lainnya. Dalam hukum perseorangan
rapprochement unsur imperatif lebih utama dan menguasai unsur atribut, serta
merupakan tipe yang paling bersifat damai dari hukum individual. Ketika suatu
pemberian (hadiah) diiringi dengan asas memberi dan mengambil ataukah konsensi
terjadi bersifat timbal balik (reciprocal) maka hukum perseorangan
rapprochement berubah menjadi hukum perseorangan yang campuran.
Hukum
perseorangan yang berstruktur campuran, hukum ini menyeimbangkan hukum
pemisahan dan hukum rapprochement. Hukum perseorangan adalah paling umum dan
lazim. Ini adalah bentuk yang terpikir oleh orang pada umumnya, apabila hukum
antar perseorangan dan antar kelompok bertentangan dengan hukum sosial.
penjelmaan klasiknya adalah hukum kontrak dan harus pula ditambahkan kategori
yang lebih luas daripada hukum transaksi, kredit-kredit, dan segala macam
kewajiban. Ikatan hukum yang diselenggarakan dengan kontrak itu terdiri atas:
a) suatu konvergensi kemauan-kemauan dari pihak-pihak yang saling mengadakan
perjanjian dengan maksud menyelenggarakan kewajiban timbal balik yang berlaku
dikemudian hari (rapprochement) dan b) oposisi (pertentangan) dari dua atau
lebih kemauan-kemauan yang berusaha betul-betul mencapai tujuan-tujuan yang
bertentangan (untuk memberi sesuatu atau menerima sesuatu dan lain-lainnya:
pemisahan). Pihak yang saling mengadakan perjanjian selaras dalam hak-hak dan
kepentingan-kepentingan jika mengenai klausul-klausul kebendaan dan cara
melaksanakannya (pemisahan). Maka tidak mungkin menyifatkan dengan secara tegas,
sebagaimana yang sering diusahakan secara salah, hubungan kontrak, baik sebagai
konsensus kemauan-kemauan dan kewajiban-kewajiban (Durkheim) maupun sebagai
sengketa serta ketentuannya (Tonnies). Rahasia ikatan-ikatan kontrak, maupun
ikatan-ikatan pertukaran pada umumnya, berbagai macam kewajiban dan lain
sebagainya, terletak dalam saling hubungan antara rapprochement dan pemisahan
(S. Johnson, 2006:210).
2. Sosiologi Hukum Sebagai Pelukisan
Lapisan-lapisan Kedalaman
Jenis hukum yang dibahas di atas merupakan
suatu skala lapisan-lapisan yang bertingkat, baik hukum sosial, hukum massa,
hukum perkauman, hukum communion, hukum unifungsional, multifungsional maupun
superfungsional dengan segala kehidupan sosial mengembangkan dirinya melalui
tingkatan yang skematis dan simbolisme menuju kedinamisan dan kesegeraan
(immediacy) yang mengarah ke bawah dan sebaliknya dari spontanitas dan
keluwesan kekristalisasi dan konseptualisasi yang kuat mengarah ke atas.
Memungkinkan ditemukannya dalam semua hukum suatu kemajemukan vertical (vertical pluralim) dan mempunyai segi
rangkap. Ada hukum yang tidak terorganisasi yang selalu hadir di bawah hukum
yang terorganisasi. Dilain pihak ada hukum yang ditentukan terlebih dahulu,
hukum luwes (fleksibel) yang dirumuskan ad
hoc dan hukum intuitif.
S. Johnson
(2006:213), mengemukakan ada enam macam tingkatan kedalam di dalam sesuatu
jenis hukum, yakni: a) hukum terorganisasi yang telah ditentukan lebih dahulu;
b) hukum terorganisasi luwes; c) hukum intuitif yang terorganisasi; d) hukum
yang tak terorganisasi yang ditentukan lebih dahulu; e) hukum tidak
terorganisasi yang luwes; f) hukum tidak terorganisasi intuitif.
Hukum yang
terorganisasi selalu diletakkan di atas hukum yang tidak terorganisasi yang
selalu cenderung menutupi dirinya dengan hukum terorganisasi yang lebih mantap
dan keras. Antara hukum yang terorganisasi dan hukum yang tidak terorganisasi
tetap selalu timbul ketegangan dan tingkat kehebatannya berubah-ubah. Hal ini
timbul karena hukum yang terorganisasi tidak pernah untuk keseluruhannya dapat
menyatakan hukum yang tidak terorganisasi. Sebaliknya, hukum yang tidak
terorganisasi dapat hidup tanpa kulit hukum yang terorganisasi.
Di lapangan
hukum sosial, hukum tidak terorganisasi memainkan peranan yang jauh lebih besar
dibandingkan di lapangan hukum antar perseorangan. Di lapangan hukum antar
perseorangan kelancaran hubungan-hubungan dengan orang lain haruslah direduksi
menjadi pola-pola yang tipis yang berhubungan dengan superstruktur
terorganisasi yang ada arti hukumnya. Sebaliknya hukum sosial berlaku juga
tanpa perantara apapun di dalam tiap-tiap interpenetrasi yang konkrit yang
kekhususannya dijelmakannya hic et nunc.
Dalam hukum sosial, sengketa, dan kompromi antara tingkatann-tingkatan
terorganisasi dan tingkatan-tingkatan yang spontan dari kehidupan hukum
memainkan peranan yang utama (S. Johnson, 2006:213-214).
Sebagaimana yang
dikemukakan S. Johnson (2006:215) bahwa adanya hukum sosial terorganisasi yang
diletakkan di atas hukum yang spontan, baik hukum massa, perkauman, atau
communion, maka jenis-jenis hukum yang terorganisasi dibagi atas hukum massa
yang terorganisasi, hukum perkauman yang terorganisasi, dan hukum communion
yang terorganisasi.
Hukum massa yang terorganisasi, bahwa
peleburan-peleburan yang kurang intensif (massa) dan peleburan-peleburan yang
paling intensif (communion) merupakan milieu
yang paling kurang baik untuk menegakkan superstruktur-superstruktur yang
terorganisasi (S. Johnson, 2006:215). Dalam hal ini superstruktur tidaklah
bersesuaian dengan tingkat penyatuan dari infrastruktur. Superstruktur yang
terorganisasi sukar mempertahankan dirinya. Jika terdapat perlawanan lebih
besar dari kemasyarakatan spontan maka organisasi memisahkan diri. Semakin
mampu massa mempertahankan diri maka sering organisasi itu mampu memperkuat
“jarak” yang memisahkannya dengan infrastruktur, menimbulkan keseganan bagi
yang ada diluarnya, mengintensifkan transendensi dan kekerasan, serta mempunyai
kecenderungan menjadi organisasi dominasi yang bersifat menguasai dan memiliki
hukum yang subordinatif.
Hukum perkauman yang terorganisasi, dalam S. Johnson
(2006:216), karena adanya penyatuan secara pukul rata menjadi corak khusus
perkauman yang dapat bersesuaian dengan penyatuan superstrukturnya yang
terorganisasi dan kehidupan langsung dari bentuk kemasyarakatan dan
kelangsungan akar-akarnya di dalam bentuk kemasyarakatan yang spontan. Ini
terjadi karena setiap organisasi yang dilihat dari segi hukum merupakan suatu
jaringan hak-hak sosial “subyektif” yang memberi dan membagi kompetensi-kompetensi,
maka hukum perkauman yang spontan yakni antara keseimbangan antara hukum
“obyektif” dan hak-hak “subyektif” yang merupakan cirinya, menyatakan dirinya
lebih mudah dalam lingkungan yang terorganisasi daripada sesuatu hukum spontan
yang mana pun juga. Hukum sosial yang spontan dalam perkauman mengikat, mantap,
dan pelanggaran-pelanggaran menimbulkan ketidaksetujuan spontan yang ringan,
akibatnya hukum perkauman cenderung memiliki sifat-sifat otoritas dan paksaaan
dengan kekerasan.
Hukum communion
yang terorganisasi, penyatuan
(unifikasi) communion lebih kuat daripada superstruktur yang terorganisasi maka
yang tersebut terakhir disini mempunyai dan banyak kesukaran untuk
mempertahankan dirinya dan untuk melestarikan dirinya selalu berakar dalam
infrastruktur yang ada di bawahnya. Communion cenderung menyempit dan pecah
belah sedangkan organisasi cenderung meluas atau mempertahankan status quo. Maka bentuk masyarakatan yang
terorganisasi yang letaknya di atas communion hampir tidak dapat menegakkan
dirinya sendiri, misalnya dalam bentuk kemsyarakatan kuno, dimana communion
menempati tempat teratas dan organisasi ditingkat minimumnya (S. Johnson,
2006:216).
Dari uraian di
atas mengenai jenis hukum dalam tingkatan kedalaman, adanya hukum spontan
dengan jenis hukum yang terorganisasi yang dikenali dengan tiga cara oleh
karena itu dapat dibedakan enam lapisan kedalaman dari kenyatan hukum
sebagaimana dalam S. Johnson (2006:217-219) sebagai berikut:
a. Hukum terorganisasi yang ditetapkan lebih
dahulu. Lapisan yang teratas dan yang paling kaku dari kenyataan hukum ini
adalah hukum yang berhubungan dengan organisasi yang tertib teliti dan
sementara itu diakui oleh undang-undang, “hukum-hukum”, praktek pengadilan,
perkara-perkara, dan lain-lainnya. Corak statis dari hukum demikian itu
disebabkan oleh dua hal: hampir tidaknya gerak yang dari yang terorganisasi
dibandingkan dengan yang spontan, dan penetapan oleh suatu prosedur pengenalan
teknis yang bertujuan mencegah kesangsian, penciptaan suatu pola membeku yang
menguntungkan keamanan hukum, yang kalau tidak, tingkat kekakuannya dapat
berubah-ubah.
b. Hukum luwes yang ditemui ad hoc. Sifat kurang dinamis dari semua hukum yang terorganisasi di
sini menjadi berkurang karena cara menemukannya, yang memperhatikan
peristiwa-peristiwa dan perkara-perkara yang konkret, sebagaimana halnya dengan
hukum yang mengatur berfungsinya ke dalam dari semua organisasi-organisasi,
misalnya hukum dari semua administrasi dan dinas pemerintahan, khususnya
hukum-hukum sewenang-wenang dan menegakkan disiplin, hukum polisi kehakiman (police juridique), dan lain-lainnya.
c. Hukum intuitif yang terorganisasi. Sifatnya
boleh dikatakan kaku dari hukum yang terorganisasi dapat dibatasi lebih lanjut
oleh cara pengenal secara intuitif. Yakni apabila fakta normatif yang
terorganisasi diakui atau dikenali secara langsung oleh pihak-pihak
bersangkutan yang tertentu. Hukum intuitif memainkan peranan pada tingkat
kehidupan soaial yang terorganisasi dalam menerapkan secara efektif hukum-hukum
yang luwes maupun yang ditentukan terlebih dahulu dengan mengisi
kekosongan-kekosongan di dalamnya dan mengubah arti-artinya.
d. Hukum spontan yang ditetapkan. Hukum spontan
ternyata sering dinyatakan lebih dahulu oleh teknik-teknik yang sedikit banyaknya
menghentikan geraknya. Hukum ini lebih dinamis daripada hukum terorganisasi
yang ditetapkan lebih dahulu, tetapi dengan membandingkan unsur-unsur dari
kedua jenis hukum terorganisasi lainnya (hukum luwes atau intuitif) adalah
lebih sukar, karena disini semuanya bergantung kepada corak serba tertib dan
cermat dari sumber formal, kepada situasi-situasi yang konkret dan kepada
keseimbangan-keseimbangan yang tidak mantap (goyah).
e. Hukum spontan yang ditemui ad hoc. Disini dinamisme hukum yang
tidak terorganisasi hanya mendapat rintangan-rintangan yang tidak seberapa
banyaknya. Contoh ialah hukum spontan yang dikenali oleh pemeriksaan bebas oleh
seorang hakim, hukum “standars and
diretives” dalam ilmu hukum Anglo Saxon, hukum spontan yang dikenal oleh pengakuan
adanya tingkat keadaan-keadaan baru yang datang dari pihak yang dirugikan
sendiri (misalnya konsensi-konsensi oleh majikan dalam hukum perburuhan, atau
oleh suatu kelompok negara-negara dalam
hukum internasional, dan lain-lainnya).
f. Hukum spontan intuitif. Inilah tingkat
terdalam dan paling dinamis dari kenyataan hukum. Sifat gerak dari hukum tidak
terorganisasi tidak lagi dicampuri oleh cara pengenal, yang sendirinya selalu
bergerak dan berubah dengan cepat. Hukum spontan intuitif, berdasarkan
pemahaman secara langsung tanpa prosedur-prosedur yang formal dari fakta-fakta
tidak terorganisasi yang normatif, oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri,
memainkan peranan yang penting sekali dengan memberi kemungkinan bergerak
kepada kehidupan hukum.
Blue Titanium Arte of Blue Stainless Steel | Tioga Rocks - TITNIA
BalasHapusBlue Titanium head titanium ti s6 Arte 2020 escape titanium of Blue Stainless Steel. Blue Stainless Steel. Type man titanium bracelet of Product. Material: Stainless Steel titanium canteen - T-Shirt. Type of SKU: 0002400. Brand: T-Shirt. Type of titanium money clip SKU: 0002400.