JENIS-JENIS
SOSIOLOGI HUKUM
PENDAHULUAN
Buku dengan
judul Sosiologi Hukum karangan Alvin
S. Johnson merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul Sociology Of Law, diterjemahkan oleh
Rinaldi Simamora, SH. Buku ini merupakan cetakan ketiga (Januari, 2006) yang
terdiri dari 294 halaman berupa isi pembahasan dan 5 halaman berturut-turut
berisi halaman judul, sekapur sirih penerbit, dan daftar isi.
Dalam pengantar
penerbit dinyatakan bahwa Sosiologi Hukum itu merupakan disiplin ilmu yang
masih relatif baru. Dimana Sosiologi Hukum lahir pada abad ke-19, saat Benua
Eropa dilanda peperangan. Dihadapkan dengan problem peperangan itu, maka para
pakar ilmu-ilmu sosial di Eropa timbul kesadaran akan perlunya kerja sama antar
ilmu-ilmu sosial dalam mencapai tujuan dan perdamaian bersama. Seperti Sosologi
yang menjalin hubungan dengan ilmu hukum, sehingga memperjelas pengertian hukum dan segala aspek yang berdiri di
belakang gejala-gejala ketertiban hukum dan sebaliknya. Serta pengkajian
problem sosiologi ditinjau dari aspek hukum.
Diterbitkannya
buku ini, si penerbit sendiri memiliki harapan agar buku yang diterbitkannya
ini memberikan manfaat terutama bagi mereka yang berkecimpung dikedua bidang
disiplin ilmu tersebut. Di samping itu, penerbit juga menyatakan bahwa buku ini
merupakan bacaan yang akan memperluas wawasan bagi siapa saja yang membacanya.
OBJEK DAN MASALAH SOSIOLOGI HUKUM
Pada mulanya
sangat sulit dipahami bahwa sosiologi dan hukum dapat dipersatukan karena para
ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah quid juris sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk
menguraikan quid facti dalam arti
mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan. Inilah
penyebab kegelisahan banyak ahli hukum dan ahli filsafat hukum yang menanyakan
apakah sosiologi hukum tidak bermaksud menghancurkan semua hukum sebagai norma,
sebagai suatu asas untuk mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian. Itu
juga sebabnya sebagian ahli sosiologi tidak membenarkan adanya sosiologi hukum.
Mereka khawatir, melalui sosiologi hukum akan menghidupkan kembali penilaian
baik buruk (value judgement) dalam
penyelidikan fakta-fakta sosial.
Akhirnya, mereka
yang mengusulkan supaya menghindarkan “pertikaian-pertikaian antara sosiologi
dan hukum” dengan member batas-batas yang jelas kepada ruang lingkup dan
cara-caranya, telah menegaskan bahwa pandangan para ahli hukum normatif dan pandangan yang tuntas dari para ahli
sosiologi, member lingkup hidup yang amat berbeda dari kenyataan sosial dan
hukum, dan penyebab mereka tidak mungkin saling bertemu. Tetapi jika para ahli
hukum dan ahli sosiologi saling mengabaikan agar dapat mencapai tujuan yang
sebenarnya dari masing-masing studi maka mereka terpaksa mengambil kesimpulan
bahwa sosiologi dan hukum adalah ilmu
yang tidak mungkin dan tidak ada gunanya dan tidak untuk menghilangkan segala
kendala mau tak mau harus mengenyahkan sosiologi hukum.
Maurice Hauriou
seorang ahli hukum dan sosiologi besar Perancis, menerangkan bahwa “Hanya sedikit sosiologi menjauh dari hukum,
tetapi banyak bidang-bidang sosiologi membawanya kembali kepada hukum,”
lebih jelas ditambahkan bahwa hanya sedikit hukum yang menjauh dari sosiologi
tetapi banyak bidang-bidang hukum membawanya kembali kepada sosiologi. Ahli
sosiologi terkemukan dari Amerika, Dean Roscoe Pound mengutarakan paham
tersebut yakni bahwa “besar kemungkinan
kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum modern adalah perubahan pandangan
analitis ke fungsional .” sikap fungsional menuntut hakim, ahli hukum dan
pengacara harus ingat adanya hubungan antara hukum dan kenyataan sosial yang
hidup dan tetap memperhatikan “hukum yang
hidup dan bergerak”. “Biang ketidakadilan adalah konsep-konsep kekuasaan yang
sewenang-wenang”, sebagaimana dinyatakan oleh Hakim Benjamin Cardozo,
selanjutnya melukiskan “pembatasan
logikanya” berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi
dalam proses pengadilan dewasa ini.
Oleh Hakim O. W.
Holmes bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman,
pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah mungkin diabaikan dalam setiap proses
pengadilan, jika tidak menginginkan proses tersebut sebagai permainan
kata-kata. Pemberontakan terhadap ilmu hukum yang mekanis (Pound) atau
fetisisme hukum (Geny) adalah sebagai suatu kecenderungan yang tak terpungkiri,
yang mewarnai pemikiran tentang hukum pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20.
Pertikaian
antara sosiologi dan hukum mengakibatkan “ketidakmungkinan” sosiologi hukum
disebabkan hanya oleh kepicikan dan kesilafan dalam memahami objek dan metode
ilmu sosiologi dan hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh Dean Pound “perihal tersebut dahulu ada dalam hukum, seperti
sekarang dalam sosiologi”. Sosiologi hukum tidak dapat dipersesuaikan,
bukan hanya dengan otonomi studi hukum secara teknis, melainkan dengan mazhab
analitika dari John Austin (dikemukakan oleh Hobes dan Bentham), dengan “positivisme
hukum” Eropa Daratan dan “logisisme normatif”. Sosiologi hukum bukan merupakan
ancaman terhadap sosiologi sendiri, kecuali bagi naturalism, positivisme, behaviourisme,
dan formalisme dalam sosiologi.
Kecenderungan
Dalam Ilmu Hukum dan Hubungan dengan Sosiologi
Ilmu hukum
analitika memiliki dua corak yakni yang satu sempit, ada hubungannya dengan
positivisme hukum Eropa Daratan, yang satunya luas yang mempersamakanhukum
dengan segala peraturan-peraturan dan asas-asas yang dipakai oleh
pengadilan-pengadilan dalam setiap putusannya. Paham analitis dan hukum positif
merupakan inti pelajaran ilmu hukum pada paruh abad ke-19. Hukum positif adalah
hukum yang diciptakan dalam satu ruang lingkup (milieu) sosial tertentu. Dalam
tesisnya mereka menyatakan bahwa corak positif berasal dari perintah suatu
kehendak ditetapkan sebagai inti sumber dari hukum yang bebas dari
tenaga-tenaga milieu sosial maupun golongan sosial khusus dan menuntut suatu
tata tertib hukum yang kaku dan berdiri sendiri. Dengan demikian positivisme
hukum dan ilmu hukum analitis sama sekali tidak persamaannya dengan positivisme
sosiologis, menempatkan hukum ke dalam suatu lingkungan yang sangat jauh dari
kenyataan sosial yang hidup. Di atas kenyataan itu berdiri suatu negara,
merupakan satuan metafisis dari suatu fakta.
Sistem hukum
Anglo-Saxon, dibangun di atas nilai keunggulan hukum adat, terpaut pada
“judicial empiricism” (Pound) dan berorientasi pada hukum tidak tertulis dan
mudah menyesuaikan diri, teristimewa hukum kebiasaan (customary law) dan hukum
peristiwa (case law). Penganut ilmu hukum analitis (orang-orang Amerika)
diilhami oleh paham kaum perintis (Pound) yang menegaskan hal ketergantungan
hukum kepada praktek serta putusan-putusan pengadilan daripada kedaulatan negara.
Definisi hukum adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang dipakai oleh
pengadilan-pengadilan. Arti sebenarnya tergantung kepada apakah orang memandang
pengadilan sebagai alat kekuasaan negara atau sebagai alat kekuasaan masyarakat
nasional.
Jelasnya, bahwa
mashab analitis (analytical school) cenderung menganggap pengadilan pada
dasarnya sebagai alat-alat kekuasaan negara dan menegaskan bahwa
kegiatan-kegiatannya tunduk peristiwa hukum dan hukum dalam arti undang-undang
(statutory law).
Logical
normaivism yang merujuk kepada Idealisme Kant dan menjadikan
pertentangan-pertentangan yang tak terdamaikan antara keputusan (Sollen) dan
kenyataan (Sein) untuk mentidakmungkin sosiologi hukum sebagai dasarnya, jika
diuraikan secara tuntas ternyata hanyalah merupakan positivisme hukum yang kembali
dihidupkan dan digabungkan dengan rasionalisme dogmatis. Menurut ajaran ini,
hukum sebagai norma, semata-mata hanya dapat mengakui cara penyelidikan yang
normatik dan formalitas dan menganggap cara lainnya sebagai pengrusak obyek
penyelidikan. Itu sebabnya, sosiologi tidak dapat meyelidiki hukum dan ilmu
hukum sehingga tidak dapat menerangkan kenyataan sosial.
Berikut
dasar-dasar pertimbangan A. S. Johnson yang telah berusaha berikhtiar dan
mempersatukan kritik-kritik terhadap aliran Eropa Daratan sebagai berikut:
1.
Ilmu
hukum analitis dan positivisme hukum berputar-putar dalam lingkaran yang tidak
berujung pangkal: adanya negara yang dianggap sebagai syarat keberadaan hukum
dan negara dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum serta negara sebagai suatu
bidang kenyataan sosial yang lebih tinggi dari kenyataan sosial itu.
2.
Logical
normativism hanya menunjuk kepada “Sollen yang hanya” (“the pure ought to be”)
telah meniadakan dirinya sendiri dengan menggantikan isi a priori dari “Sollen”
ini dengan isi yang dapat dirasa pancaindra dan pengalaman yang tidak dapat
dirumuskan sebagai perintah batin (categorical imperatives).
3.
Aliran-aliran
di atas menerima tatacara teknis dalam sistematika dari zaman-zaman tertentu
(zaman para kaisar Romawi dan pertengahan abad ke-19 di Eropa Daratan) sebagai
akibat hakikat hukum yang tidak dapat diubah lagi, dan terdiri dari intisari
dari berbagai ketentuan hukum yang mana sumber hukum itu telah ditetapkan
sebelumnya.
4.
Ada
fakta-fakta polpuler perihal asal dan kelangsungan ketentuan-ketentuan hukum
yang benar-benar bebas dari pengaruh negara, oleh karena negara belum ada pada
masa itu sehingga tidak mencampuri kerja dan berlakunya hukum selama
berabad-abad lamanya.
Hakim Cardozo
dalam bukunya The Paradoxes of Legal
Science (1982), yakni “tugas hukum adalah dituntut dinamis dan
kreatif…..mendamaikan segala hal yang tidak dapat didamaikan, mempersatukan
hal-hal yang berlawanan, inilah permasalan besar dalam hukum. Hukum
mempersatukan hubungan yang selalu tidak
ada diantara titik-titik yang telah ditentukan sebelumnya, justru yang paling
sering adalah menghubungkan titik-titik yang saling berbeda, yakni
hubungan dan keanekaragaman yang timbul
dari proses kehidupan sosial”. Hukum harus mantap dan stabil, dan tidak boleh
mandeg. Dalam keadaan demikian itu, bagaimana mungkin seorang juris atau ahli
hukum dapat bekerja tanpa sosiologi hukum?
Sosiologi hukum
ternyata benar-benar dibutuhkan, bukan hanya untuk pekerjaan sehari-hari dari
ahli hukum yang memakai dalam peristiwa-peristiwa konkret melainkan juga bagi
ilmu hukum atau dalam upaya mendogmakan secara sistematis hukum yang bersifat
khusus. Sosiologi hukum berusaha menyelidiki pola-pola dan simbol-simbol hukum,
yakni makna-makna hukum yang berlaku berdasarkan pengalaman di suatu kelompok
dalam suatu masa tertentu dan berusaha membangun simbol-simbol itu berdasarkan
sistematika. Sosiologi hukum diberi kepercayaan menyeluruh menjiwai nilai-nilai
hukum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Sosiologi hukum memperkokoh dan
menyempurnakan ilmu hukum yang sekaligus sebagai suatu dasar yang sangat
dibutuhkan.
Hakim Holmes
menuliskan bahwa yang dimasud dengan hukum semata-mata hanyalah ramalan tentang
segala putusan-putusan pengadilan, dan
Max Radin mengemukakan bahwa hukum adalah suatu teknik menggerakkan suatu
mekanisme sosial yang kompleks. Menurut Johnson bahwa yang dimasudkan mereka
adalah jurisprudensi dan bukannya hukum. Bagi Johnson keyakinannya itu bukanlah
suatu penghalang bagi Holmes menerima bahwa hukum adalah saksi dan jaminan lahiriah
kehidupan moral kita. Yang sudah barang tentu bukan semata-mata hanya teknik
dan keyakinan Johnson bukan penghalang untuk memprotes tafsiran-tafsiran yang
sinis atasnya.
Unsur-unsur yang
terdapat dalam seluruh hukum
adalah unsur idealis, yakni keadilan atau nilai-nilai rohani dan
menganggap yurisprudensi semata-mata hanyalah teknik khususnya untuk
kepentingan pengadilan. Agar terhindar dari kekacauan metodologis maka perlu dalam menyetujui bahwa ilmu hukum
(jurisprudence) atau teori umum tentang hukum semata-mata hanyalah suatu seni
dan hanya untuk tujuan praktis. Hanya sosiologi hukum dan filsafat hukum yang
dapat dikategorikan sebagai ilmu yang bersifat teori. Sebaliknya ilmu hukum
adalah social engineering dan berbagai aliran di dalamnya (ilmu hukum analitis
dan historis atau ilmu sociological jurisprudence maupun legal realisme)
hanyalah berbagai macam teknik dari engineering yang sesuai untuk menafsirkan beberapa kebutuhan khusus
akan sistem-sistem hukum yang konkret dan bersesuaian dengan corak-corak dari
masyarakat yang bersangkutan.
Dapat dikatakan
bahwa sosiologi hukum dan filsafat hukum adalah dua ilmu teoritis yang harus
menjadi dasar ilmu hukum, digambarkan sebagai seni sebenarnya dalah teknik
pengadilan. Dimana sosiologi hukum itu memberikan gambaran kepada ahli hukum
suatu gambaran obyektif dari kenyataan sosial yang berlaku dalam ruang lingkup
tertentu. Sedang filsafat hukum memberikan suatu kriteria dari nilai-nilai
hukum dengan membantunya menjelmakan atau mewujudkan yang dikhususkan untuk
mancapai tujuan-tujuan yang konkret.
Pada hakikatnya,
penggunaan teknik hukum dalam berbagai masa dan lingkungan-lingkungan
kebudayaan tidaklah selamanya identik. Pembenaran teknik hukum tergantung dari
tujuan-tujuan mereka yang ingin dicapai. Teknik hukum yaitu yurisprudensi
sedikit banyak disesuaikan dengan macam kehidupan hukum yang nyata karena
perubahan-perubahan bentuk dari teknik tidaklah secepat perubahan-perubahan
hukum yang nyata. Jadilah tidak mengherankan jika timbul sengketa-sengketa antara
suatu teknik hukum masa lalu dan kehidupan hukum yang bergelora.
Analisa hubungan
antara sosiologi hukum dan ilmu hukum adalah untuk tujuan menghapus keberatan
atas keberadaan sosiologi hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum
terkemuka. Sekarang hendak pula dilenyapkan keberatan-keberatan yang
dikemukakan oleh ahli sosiologi. Telah dinyatakan bahwa sosiologi hukum
tidaklah bertentangan dari kepentingan sosiologi. Sosiologi hukum memang
bertentangan dengan positivisme, naturalism, behavioralisme, dan formalisme
sosiologis. Ajaran-ajaran tersebut di atas memperlihatkan betapa ajaran itu
destruktifnya bagi perkembangan sosiologi itu sendiri dan perkembanggan
sosiologi hukum dan sebagai akibatnya ajaran ini dikesampingkan.
Kecenderungan-kecenderungan
Dalam Sosiologi dan Hubungannya dengan Hukum
Positivisme
sosiologis oleh Aguste Comte berbagai macam bentuknya dan kerap bertentangan
dengan maksud bapak sosiologi ini. Bagi Comte sosiologi mengandung dua makna,
sosioloogi adalah suatu ilmu positif atau dapat dipertanggungjawabkan perihal
fakta-fakta sosial dan sosiologi adalah suatu ilmu serba lengkap dan sempurna.
Konsepsi kedua menyebabkan Comte menyamakan sosiologi dengan filsafat sejarah,
dengan suatu teori tentang kemajuan, menyusupkan kepadanya etika dan satu agama
menyangkut kemanusian mengakibatkan kacaunya penilaian terhadap kenyataan dan
penilaian terhadap kegunaannya. Itu juga sebabnya dalam sosiologi ada yang
dikategorikan kecenderungan “imperialistis” yang menyangkal adanya kemungkinan
terhadap kenyataan sosial laian dan menyatakan bahwa sosiologi menyerap semua
ilmu sosial yangada sebelumnya dan semua pemikiran filsafat tentang kesusilaan,
hukum, agama, dan sejarah.
Sikap Comte
meniadakan adanya sosiologi hukum bukan karena ia hanya memfokuskan perhatian
kepada penelaahan ketentuan-ketentuan umum perkembangan masyarakat dan juga
karena mengabaikan cabang-cabang khusus sosiologi, tetapi terutama sekali
karena ia memusuhi hukum yang dianggapnya sama sekali tidak mengandung kenyataan.
Baginya hukum hanya merupakan bagian dari metafisika, tidak masuk akal dan
tidak mengandung moral. Pandangan Comte masyarakat hanyalah dapat mengakui
kewajiban-kewajiban yang disebabkan oleh fungsinya dan langsung atas dasar
tatasusila dan kasih. Menurut Comte mmasyarakat itu terselenggara berdasarkan
atas peraturan yang melenyapka segala pertentangan, pertikaian, yang atasdasar
pengakuan yang menjadi ciri khas dari peraturan hukum. Inti pemikiran Comte
bahwa hukum memainkan peranan penting dalam masa peralihan antara lain
cita-cita persamaan hak yang memperkokoh motif-motif perpecahan dan kekacauan
masa itu.
Positivisme
membatasi konsepsinya tentang sosiologi pada konsepsi ilmu positif tentang
fakta-fakta. Positivisme pun melenyapkan unsur kebatinan yang menurut Comte
mendasari kenyataan sosial. Positivisme cenderung menafsirkan kenyataan sosial
sama dengan menafsirkan kenyataan alam, khususnya fisika dan biologi.
Positivisme sosiologis menganggap masyarakat hanya sebagai suatu gabungan
tenaga-tenaga sosial, dan mengabaikan semua unsur lain yang melarut serta
membimbing tenaga-tenaga ini. Jelas bahwa positivisme mepermiskin kenyataan
sosial. Akhirnya positivisme menarik diri dari lapangan penyelidikannya di
sektor-sektor kenyataan sosial yang asasi, missal kenyataan hukum, kesusilaan,
agama dan sebagainya. Olehnya itu positivisme sosiologis menjadi naturalism sosial, memyederhanakan
masalah sosiologis menjadi masalah ilmu pesawat, teori tentang tenaga, ilmu
bumi, demografi, dan biologi, dalam tiga golongan yakni antropo-rasisme,
darwinisme sosial, dan organisisme.
Perihal
aliran-aliran dalam sosiologi yang merugikan perkembangan sosiologi hukum yang
belum lama dapat disebut dalam dua aliran yakni formalisme sosiologis Jerman
dan behaviourisme Amerika. Formalisme sosiologis wakil utamanya ialah George
Simmel (1908) dan L. von Wiese (1932), membatasi seluruh studi sosiologi pada
bentuk-bentuk murni dari interaksi antar manusia. Formalisme sosiologis mengabaikan semua isi
kebudayaan dan rohani dari bentuk-bentuk hubungan itu, misalnya hubungan
kesusilaan, agama, pengetahua dan estetika maupun dasar materiil masyarakat,
baik berupa demografi, ilmu bumi maupun peralatan perekonomian, atau apa saja
menurut penganut paham ini, untuk menelaah bukan hanya bentuk abstrak lembaga
masyarakat tetapi keseluruhan dari penjelmaan-penjelmaan sosial yang konkret,
adalah dengan melarutkan sosiologi ke dalam ilmu sosial lainnya atau dalam
sejarah. Akhirnya sosiologi kehilangan obyek khususnya. Karenanya tidak mungkin
ada antar hubungan antara sosiologi dan ilmu-ilmu sosial khusus. Jika tendensi
berhasil menolak tuntutan semula sosiologi untuk melarutkan semua ilmu sosial
khusus, dan jikalau menguntungkan penelaahan berjenis-jenis proses lembaga
kemasyarakatan serta pengelompokan, maka dengan menjadikan sosiologi mandul
atau tidak berfungsi sama sekali maka apa yang diperolehnya itu harus dibayar
dengan mahal. Konsepsi ini tidak lebih daripada rasionalisme abstrak dan anti
sejarah yang menyangkut kenyataan sosial.
Behaviourisme
yang sangat disangsikan digunakan dari teori biogenetis tentang refleks-refleks
bersyarat. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tingkah laku khusus manusia
yang membedakan dari tingkah laku binatang. Social behaviorisme berusaha
menyederhanakan semua kehidupan sosial menjadi refleks-refleks fisiologis
sebagai jawaban terhadap rangsangan-rangsangan dari luar. Agar tetap konsekuen,
social behaviourisme tidak dapat meninggalkan lingkaran sempit berupa
rangsangan dari luar dan jawaban-jawaban berupa reflex-refleks. Tetapi karena
dasar demikian itu tidak mungkin ada hubungan, apalagi ikatan-ikatan yang lebih
dalam di antara tingkah laku manusia, maka kaum behaviourist paling radikal sekalipun
(seperti Floyd Allport, Read Bin, dan George Lundberg) yang menghasilkan
refleksi behaviour.
Konsepsi kaum
behaviourist mengubah semua unsur kenyataan sosial menjadi perangsang sosial
yang sedikit banyak bekerja secara mekanis. Dengan demikian konsepsi ini
merupakan suatu halangan bagi perkembangan sosiologi hukum dan juga bagi teori
tentang pengawasan sosial, dan pada umumnya bagi semua telaahan sosialogis
tentang segi rohani kebudayaan dan nilai-nilai sosial yang lebih luhur.
Konsepsi W.G.
Sumner tentang tata cara dan tata susila (folkways dan mores) sebagai suatu
lapangan yang sangat asasi dari penyelidikan sosiologi, dapat dianggap sebagai langkah pertama dari sosiologi Anglo-Amerika
kea rah masalah-masalah sosiologi hukum dan moral. Dalam dua karyanya, Folkway, A study od The Sociological
Importance of Usages, Menners, Customs, and Morals (1906) dan The Science of Society, Sumner
menyatakan bahwa corak asasi kenyataan sosial mengenai individu-individu dan
hubungan-hubungan antara individu ternyata sangat jelas dalam pengaturan
tingkah laku oleh tata cara. Tata cara ini adalah kebiasaan adat, kebiasaan
masyarakat…., kebiasaan dan adat itu bersifat mengatur dan memaksa
generasi-generasi yang akan datang. Kebiasaan dan adat itu mengendalikan
tindakan individual dan sosial. Karena itu kebiasaan dan adat bukan hasil
ciptaan dan kehendak manusia. Corak mengatur dan memaksa dari tata cara yang
terpusat dalam tata susila, termasuk di dalamnya suatu penilaian bahwa adat istiadat
itu membantu terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan memaksa individu untuk
menyesuaikan diri dengannya, meskipun adat istiadat itu tidak diatur dalam
suatu kekuasaan. Lembaga-lembaga serta hukum-hukum merupakan penjelmaan adat
istiadat.
Sumner menegaskan
dengan kuat peranan tata aturan masyarakat yang merupakan salah satu
kebutuhan-kebutuhan mutlak dalam kehidupan masyarakat, sebagai salah satu
persyaratan mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Tetapi premis dan
metodenya tidak mengizinkannya untuk mencapai suatu perbedaan yang pasti antara
tekanan sosial yang sederhana, pengaturan teknis atau semata-mata pengaturan
kultural, dan tidak pula terdapat suatu perbedaan yang tepat di dalam
pengaturan kultural, antara pengaturan oleh undang-undang, kesusilaan, agama
atau estetika.
Konsepsi Sumner
dikecam oleh F.H. Giddings. Ahli sosiologi ini menunjukkan bahwa penulis
folkways tidak berhasil membedakan pola-pola appresiatif dan tidak appresiatif
yang ada kaitannya dengan societal
Telesis. Kecaman Giddings menghancurkan keselarasan yang evolusionistis dan
utilities dari konstruksi-konstruksi yang dibangun Sumner dan sekaligus
menunjukkan ketidakmampuannya untuk, berdasarkan asas yang ditetapkannya,
menciptakan suatu sosiologi hukum dan tata susila.
Konsepsi E.A.
Ross dalam perluasan sosiologi bertitik tolak pada dua tesis pokok. Pertama,
perbedaan antara social influences (tekanan, dorongan atau saran psikologis
yang langsung dari masyarakat kepada individu sebagai suatu penjelmaan
tenaga-tenaga sosial) dan pengawasan sosial sebagai lembaga-lembaga pengatur,
memaksa supaya orang menyesuaikan diri dengannya dan maksudnya adalah untuk
menekan pola tingkah laku yang tidak diinginkan dan menganjurkan yang
diinginkan. Kedua, gagasan atau cita bahwa tata tertib dalam kehidupan sosial
tidak bersifat kenalurian dan sekoyong-koyong, melainkan berdasarkan dan hasil
dari pengawasan sosial. Penegasan Ross tentang banyaknya sengketa pokok dalam
kehidupan sosial yang hanya secara darurat dapat diatasi dengan menerapkan
lembaga pengwasan sosial secara rutin. Tetapi yang amat disangsikan adalah
tafsirannya tentang sosial dalam arti yang normalistis radikal, yakni sebagai
sekumpulan individu-individu yang terasing dan malahan semacam fiksi
(khayalan), dan hubungan satu-satunya antar individu diciptakan oleh pengawasan
sosial. Hukum sebagai salah satu pengawasan sosial, dinilai oleh Ross sebagai
alat penunjuk dari bangunan tata tertib, alat pengawasan sosial yang terutama
digunakan oleh masyarakat. Integrasi hukum ke dalam pengawasan sosial boleh
menelaah situasi-situasi kemasyarakatan yang ada hubungan fungsional, dan
member keuntungan bagi perkembangan sosiologi hukum. Bagi sosiologi hukum di
sini, hukum dan imperatif-imperatif, sebagaimana hakikatnya, sebaiknya tidak seragam
dan bukan tidak dapat diubah-ubah, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan
keadaan yang dialami masyarakat secara kebetulan. Gagasan Ross membawa banyak
keberhasilan dalam penyelidikan ahli sosiologi terbesar, Roscoe Pound, yang
mana Ross memberikan persembahan bagi Pound Principles of Sociology (1902) dan
Pound secara rutin menegaskan bahwa is menerima bai asas umum Ross tentang
pengawasan sosial.
Teori Ross
tersebut ternyata tidak cukup sebagai dasar bagi suatu perubahan efektif dari
sosiologi yang memberi kemungkinan berkembangnya sosiologi hukum. Pertama,
pettentang tajam antara pengaruh-pengaruh atau tenaga-tenaga sosial dan
pengawasan sosial, yang meliputi pula pengaturan , diperlemahkan bahkan
dihapuskan oleh kehancuran dalam analisa penulis tentang jenis-jenis
pengawasan, alat-alat atau metode-metode pengawasan, dan badan-badan
pengawasan.
Suatu sumbangan
penting kepada masalah pengawasan sosial dan sosiologi jiwa manusia telah
diberikan oleh karya-karya terkenal dari C.H. Cooley. Di dalam buku terakhirnya,
Social Progress (1918), Cooley
menggunakan secara tegas istilah pengawasan sosial, tetapi masalah pengawasan
sosial yang berhubungan dengan masalah struktur kenyataan sosial, memang sudah
dari semula menjadi perhatiannya, yakni dalam bukunya Human Nature and Social Order (1902), dan khususnya dalam Social Organization (1909). Bertentangan
dengan ”nominalisme” Ross, dan sikap kompromis Ellwood, Cooley mengambil sikap
“realistis” mengenai kesatuan-kesatuan sosial.
Ia dengan tegas
menyatakan bahwa “keseluruhan sosial” tidak dapat disederhanakan kepada
bidang-bidangnya, oleh karena kenyataan sosial itu bersifat khas. Sifatnya yang
itu berupa kenyataan, bahwa “aku” dan “persatuan sosial” adalah semata-mata
berupa aspek yang abstrak dari keseluruhan organis yang hidup dari budi dalam
proses kejadian secara terus-menerus. Sifat kreativitas dari budi yang hidup
ini, yang darinya lahir kesadaran diri dan kesadaran sosial bersama,
menciptakan cita dan penilaian-penilaian sosial, lambing-lambang dan ptokan-patokan
yang kadang kala merupakan hasil dan penghasil kenyataan sosial. Kehidupan
kerohanian ini yang melalui pengertian-pengertian penting sebagai unsur yang
mutlak harus ada dari kenyataan sosial, menjelmakan dirina sendiri. Menurut
Cooley proses ini menyebabkan suatu persamaan “antara keseluruhan moral dan
sosial”, sebagai lawan dari yang dapat dirasa dengan indera nafsu, karena
kebaikan ideal dan keadilan adalah keseluruhan sosial yang bersifat ‘kreatif”
itu sendiri. Pengawasan sosial, yang pengaturannya dibimbing oleh penilaian
sosial dan sosial ideal, merupakan suatu proses yang mutlak harus ada dalam
kreasi masyarakat itu sendiri. Inilah suatu pengawasan sosial dari dan untuk
masyarakat,yang tidak dapat dipisahkan dari budi atau akal pikiran masyarakat,
tetapi kepada dan oleh keseluruhan sosial yang hidup itu sendiri. Pengawasan
ini menjelma dalam masyarakat-masyarakat secara keseluruhan dan juga dalam
kelompok-kelompok khusus dan sekaligus menunjukkan banyaknya alat yang bekerja
dalam setiap badan pengawasan. Konsepsi ini berbeda dan bertentangan dengan
konsepsi Ross, memasukkan asas dinamika yang spontan ke dalam pengawasan sosial
ideal. Hal ini memungkinkan Cooley mengutarakan fakta, bahwa tidak semua
pengawasan sosial dicapai oleh peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman dan
mengemukakan perbedaan antara pengawasan sosial yang tercipta dan berlaku tanpa
disadari (atau yang tercakup di dalamnya secara lengkap) dan pengawasan soaial
rasional (pengawasan sosial yang dilembagakan) berdasarkan pedoman-pedoman yang
telah baku atau sudah terbentuk. Pembedaan ini yang telah diakui oleh ahli
sosiologi dan dari antaranya ada yang menambahi dengan yang lainnya, misalnya
antara pengawasan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, formal dan non
formal, dan sebagainya) dan memang terkadang membawa banyak manfaat.
Ketidakjelasan
dalam berbagai analisa Cooley telah sering dikemukakan: terlalu cepatnya dia
menganggap nilai-nilai kerohanian sebagi hasil-hasil kehidupan sosial yang
sederhana dan unilateral, idealisasi
kehidupan itu sendiri sebagai suatu yang ideal, sebagai suatu konsepsi tentang
kekreatifan yang mengambang, semi-vitalist, semi-mistik, tidak memungkinkan
Cooley memecahkan masalah sosiologi jiwa sebagaimana ia rasakan. Banyak ahli
sosiologi yang memecahkan masalah semangat sosiologi kemanusian menurut cara
Cooley, bukan memperdalam analisisnya sendiri, tetapi malah sampai pada
keharusan memilih kombinasi dari teori-teori gabungan Ross, Cooley, dan Sumner
dan sekaligus menambah kerancuan pada masalah tersebut.
Konsepsi-konsepsi
umum Roos dalam berbagai hal mengingatkan kita pada konsepsi-konsepsi seorang
sosiologis dari Perancis, E. Durkheim. Ia juga membahas persoalan di atas
tetapi dengan istilah yang berlainan., sementara itu sosiologi kenamaan Jerman
Max Weber, yang mempengaruhi metode sosiologis menjadi rincin dan berdasarkan
logika, telah mengemukakan masalah pokok sosiologi dari pengertian kerohanian.
Dua sosiologis tersebut memberikan sumbangan khususnya dalam penyelenggaraan
sosiologi hukum sebagai suatu sektor dari sosiologi dan oleh karena jaran
mereka saling bertentangan tetapi saling mengisi.
Durkheim secara
menyeluruh mengubah konsepsi Comte dan menolak dengan tegas setiap
kecenderungan ilmu baru itu mengarah ke rasionalisme, formalisme, atau
metafisika dogmatis, sebagai suatu
sumbangan besar sekali dalam member tempat penting kepada sosiologi hukum dalam
rangka bangun sosiologi. Ia memperdalam tesis perihal spesialisasi unsur-unsur
sosial dengan menolak meberi pengakuan tentang fenomena sosial yang muncul dalam
keseluruhannya, dan dengan memindahkannya kelak ke kemudian hari dari setiap
telaahan tentang hukum secara umum dari
perkembangan masyarakat. Keriteria kekhususan di satu pihak adalah
lembaga-lembaga yang dibentuk sebelumnya yang memaksa, yakni pola tingkah laku
kelompok yang diwujudkan dalam organisasi-organisasi dan praktek-praktek. Pihak
lain, lambing-lambang, nilai-nilai, gagasan-gagasan, dan cita-cita kelompok
larut dalam kenyataan sosial (dan memungkinkan Durkheim merumuskan “asas-asas
fenomena sosial sebagai sistem-sistem nilai”) dan akhirnya kondisi kesadaran
kelompok, gambaran-gambaran dan aspirasi-aspirasi kelompok, yang tidak dapat
disederhanakan menjadi kesadaran individu-individu yang merupakan dasar bantuan
kepada setiap kehidupan sosial.
1.
Pada
permukaan dari kenyataan sosial terdapat dasar geografis masyarakat, dan juga
rangka bangun, saluran-saluran hubungan, alat-alat, makanan, dan lain-lain.
2.
Di
bawah permukaan kebendaan atau disebut oleh Durkheim “permukaan morphologis”
terdapat lembaga-lembaga (“cara berbuata sebagai ketetapan”) dan pola tingkah
laku kelompok, pembakuan kebiasaan atau di oganisasi-organisasi.
3.
Selanjutnya
lambing-lambang yang bersesuaian dengan lembaga-lembaga dan merupakan
tanda-tanda dan alat-alat menghimpun seperti lencana, bendera; benda-benda
sicu, upacara-upacara untuk praktek-praktek keagamaan,; sanksi-sanksi
prosedur-prosedur, undang-undang, dan lain-lain untuk praktek hukum.
4.
Di
bawah tingkatan lembaga terdapat nilai-nilai kelompok, gagasan-gagasan serta
idaman-idaman kelompok dalam wujud lambang-lambang yang mengilhami pola tingkah
laku kelompok.
5.
Akhirnya,
memasuki lapisan terdalam dari kenyataan sosial yakni keadaan akal budi
kelompok itu sendiri gambaran-gambaran kelompok, kenangan-kenangan kelompok,
perasaan-perasaan kelompok, kecenderungan-kecenderungan dan aspirasi kelompok,
kemauan kelompok dan pergolakan kelompok, sebagain sangat penting sebagai
mutlak harus ada dalam kehidupan kelompok.
Analisis
dimensi-dimensi kenyataan sosial terdiri dari berbagai lapisan yang menyebabkan
Durkheim mengakui perlunya diferensiasi di dalam sosiologi, yang merupakan
cabang-cabang yang bersifat khusus.
1.
Morfologi
sosial, menelaah bagian permukaan kebendaan dari masyarakat, dapat dihitung dan
diukur.
2.
Fisiologi
sosial, menelaah lembaga-lembaga, lambang-lambang, nilai-nilai, dan
gagasan-gagasan kelompok, yang meliputi agama, moral, pengetahuan umum,
ekonomi, bahasa dan estetika. Durkheim, fisiologi sosial dinamakannya sosiologi
kejiwaan, karena semua “cara berbuat” yang menjadi pokok dari cara-cara
berdasarkan sosiologi diarahkan atau ditunjukkan melalui pelambang-pelambang
yang memiliki arti tertentu dan berorientasi pada nilai-nilai dan
gagasan-gagasan.
3.
Psikologi
kelompok.
4.
Sosiologi
umum menelaah integrasi segala tingkatan dan aspek dari kenyataan sosial yang
oleh Mauss, penerus teori Durkheim dinamakan fenomena sosial total dan
menggambarkan berjenis-jenis golongan masyarakat dan masyarakat totalitas atau
mayarakat menyeluruh.
Pada
dasawarsa terakhir ini sosiologi Amerika sampai kepada pengkhususan pada
berbagai bidang sosiologi. Berbagai dari pengkhususan ini bermanfaat, ada juga
yang dibuat dengan kesengajaan. Tapi sangat menonjol pada kenyataannya bahwa
pengkhususan itu tanpa kriteria dan bidang-bidang terselenggara seperti suatu
kebetulan. Durkheim telah mengadakan percobaan pertama dengan membagi sosiologi
secara rasional dalam bidang-bidang khusus, walau bukan suatu percobaan yang
bersifat defenitif. Ia menempatkan sosiologi hukum di dalam sosiologi jiwa
manusia yang terpisah dari morfologi sosial, psikologi kelompok, dan sosiologi
umum. Durkheim memberi suatu oreintasi baru kepada sosiologi Eropa Daratan. Lebih
jauh lagi, lebih dalam dan sistematis sosiologi Amerika tentang pengawasan sosial, ia menghapuskan
rintangan-rintangan yang terdapat di jalan menuju kepada sosiologi hukum
melalui positivisme, naturalisme, dan formalisme.
Orang
berpandangan bahwa seluruh sosiologi Drukheim mengandung kecenderungan
“kehukuman”. Sesungguhnya ia melihat
keriteria terpenting dari sosial yang terdapat pada “paksaan”, berupa
sanksi-sanksi ancaman hukuman, sedang ciri terpenting hukum sebagai suatu
“lambang yang terlihat” dari dalam “kesetiakawanan sosial”, titik tolak
terpenting untuk mempelajarinya, ia juga menyatakan bahwa jumlah hubungan
sosial haruslah sebanding dengan jumlah ketentuan-ketentuan hukum yang
menentukan hubungan-hubungan sosial itu.
Lambang-lambang
hukum yang agak dilebih-lebihkan dianggap oleh Durkheim sangat penting bagi
penelaahan kenyataan sosial yang memungkinkan sosiologi itu mempersembahkan tulisan
pada gedung yang dibangunnya, bahwa terkecuali sarjana hukum, dilarang masuk,
ia tidak akan berhasil menghilangkan semua rintangan pada jalan menuju saling
adanya pengertian yang sehat antara sarjana hukum dan ahli sosiologi. Beberapa
penyebabnya sebagai berikut:
Sebab
pertama, Durkheim tidak memungkiri kecenderungan agresifitas sosiologi yang
menolak hidupnya ilmu-ilmu sosial yang sudah ada sebelum sosiologi ada dan
berdiri sendiri sebagai suatu ilmu. Menurut Durkheim cabang-cabang khusus
sosiologi ditugaskan untuk menggantikan ilmu-ilmu sosial seperti hukum,
ekonomi, ilmu bahasa, dan lainnya. Bahkan masalah epistemology hanya dapat
diselesaikan melalui ilmu pengetahuan sosiologi. Meenurut Durkheim tidak ada
cara lain menelaah fenomena sosial selain menurut cara sosiologis. Durkheim
agaknya lupa, bahwa berbagai pola, lambang, gagasan , dan nilai tidak dapat
ditelaah dengan cara sistematis untuk diuji kembali benar tidaknya hakikat
intrinsiknya atas dasar kemampuannya berintegrasi dalam satu kesatuan yang
otonom. Ia pun melupakan filsafat hukum dan ilmu hukum dengan metode
sistematisnya dan teknik yang membantu banyak sosiologi hukum sebagai titik
tolak penelaahan mereka.
Sebab
kedua yang menentukan kegagalan Durkheim dalam beberapa hal, tatkala ia berusaha
menyusun sosiologi hukum, terletak dalam konsepsinya tentang ruang lingkup dari
lambang dan nilai-nilai, gagasan-gagasan, dan cita-cita, yang rohaniah, sebagai
suatu hasil dan gambaran dari kesadaran kelompok. Pola-pola, lambang-lambang,
cita-cita, nilai-nilai tidak dapat diselenggarakan dan dipahami terkecuali secara kolektif, maka
Durkheim menarik kesimpulan bahwa semua itu adalah epifenomena dari kesadaran
kolektif. Ia dihapkan pada alternatif: subyektivisme kolektif atau mengangkat
kesadaran kelompok sebagai tingkatan tertinggi dari roh supra-temporal dan
melupakan bahwa akal budi kelompok dapat juga bersemayam dalam dua rohani:
gagasan-gagasan dan nilai-nilai atau berpaling darinya karena dalam hal ini
kesadaran kelompok itu sama sekali tidak berbeda dengan kesadaran individu. Itu
sebabnya Durkheim cenderung untuk memecahkan masalah filsafat dengan analisa
sosiologi dan sosiologi bukan saja untuk menggantikan ilmu-ilmu sosial yang
berdiri sendiri, tetapi juga epistemology, etika, dan filsafat hukum, sehingga
kesadaran kelompok menjadi satu kesatuan metafisika, yakni roh. Jelas bahwa
sosiologi hukum yang berdasrakn premis-premis telah melangkahai batas-batas ilmu positif, apabila
menggantikannya dengan filsafat hukum, telah bertentangan dengan tiap konsepsi
yang membedakan antara keadaan dari nilai, fakta dari norma.
Sebab
ketiga dan terakhir dari kegagalan Durkheim untuk menyingkirakn semua rintangan
yang menghalangi perkembangan sosiologi hukum terletak dalam kecenderungannya
untuk mengurangi semua masalah sosiologi hukum ini menjadi masalah-masalah
tentang terjadinya lembaga-lembaga hukum. Dengan menyamakan yang “archaic” atau
yang yang dengan elementer dan dengan membenarkan adanya kesinambungan
evlusioner dalam peralihan di antara jenis-jenis masyarakat, maka Durkheim
mempercayai bahwa penyelidikan atas asal lembaga-lembaga hukum. Keagamaan,
etika, dalam masyarakat kuno dapat merupakan suatu titik tolak dalam menentukan
pemahaman lembaga itu dalam masyarakat sekarang. Dengan demikian apa yang dicapai
oleh mazhab Durkheim yang berhubungan dengan sosiologi hukum telah terjadi di
lapangan genetika sosiologi hukum dan di dalam masyarakat tertentu: masyarakat
terbelakang. Padahal lapangan yang harus diselidiki oleh sosiologi hukum jauh
lebih luas. Sistematikan sosiologi hukum yang menyelidiki hubungan-hubungan
antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum serta
mengkombinasikannya dan mengaturnya secara seimbang di dalam tiap golongan dan
sosiologi hukum differensial yang menyelidiki tipologi hukum dari tiap golongan
atau kelompok dan masyarakat secara menyeluruh, haruslah mendahului sosiologi,
genetika, yang hanya dapat diterapkan di dalam satu jenis masyarakat yang
menyeluruh.
Rintangan
terakhir dalam perkembangan sosiologi hukum dalam sosiologi itu sendiri,
dihilangkan oleh adanya metode sosiologis terbaru dari ahli sosiologi Jerman terkenal,
Max Weber. Menurut Weber seluruh sosiologi haruslah merupakan sosiologi yang
mampu menafsirkan pemahaman arti terdalam dari pola tingkah laku sosial (Verstehende
Soziologie).
Metode
sosiologi hanya mungkin bersifat typologies dan berupa penyelidikan tentang
jenis-jenis kualitatif yang ideal, misalnya kerangka susunan dari gambaran
mental menurut pengertiannya yang khusus, yang merupakan titik tolak penyusunan
tersebut. Pengertian yang khusus yang diadakan secara seksama akan memberikan
suatu ciri kualitatif kepada tipe-tipe masyarakat dan dengan tegas
membedakannya dengan jumlah pukul rata yang dialakukan semata-mata secara
induktif, untuk yang bersifat kuntitatif tidak diterapkan kepada kenyataan
sosial karena telah meresap ke dalam maknanya: maksud-maksud, tujuan-tujuan
(wertrational) nilai-nilai yang berdasarkan perasaan keinginan dan lain-lain.
Pekerjaan ahli sosiologi berhenti dengan adanya penyelidikan pengertian
subyektif dan tentang keserbamungkinan, dari kemungkinan, pola tingkah laku
sosial, menurut pengertiannya di sini. Pengujian benar tidaknya pengertian ini
termasuk di lapangan filsafat, dalam sistenatikanya termasuk lapangan ilmu-ilmu
dogmatis-normatif seperti misalnya ilmu hukum atau ilmu agama. Meskipun
mengambil pengertian-pengertian dan nilai-nilai sebagai penyokong namun
bebasnya sosiologi bukan hanya berkat penilaian baik buruk tetapi berkat adanya
hierarki yang ditetapkan sebelumnya dan diskusi tentang berlakunya secara
obyektif. Inilah arti Werfreinheit sosiologi yang dinyatakan Weber. Disamping itu untuk
menyelidiki kemungkinan pola tingkah laku sosial yang efektif menurut
pengertiannya yang berdasarkan makna maka pentinglah artinya bagi sosiologi
untuk menggunakan hasil-hasil dari pengertiannya ini, yang cara berlakunya sama
sekali tidak berganrtung kepada kemungkinan-kemungkinan untuk diwujudkan.
Pengertian yang subyektif yang menjadi penyokong bagi usaha penyelidikan
sosiologis sama sekali tidaklah mengecualikan kemungkinan adanya pengertian
subyektif, tetapi justru menerimya sebagi suatu kenyataan dan pada
hakikatnya mencerminkan pengertian
obyektif yang diilhami oleh pengertian subyektif itu. Sementara itu semua
penjelasan berdasarkan sebab akibat dalam sosiologi menurut Weber dicapai
berdasarkan pemahaman atas penafsiran tentang pengertiannya yang terdahulu, dan
hanya dengan pemahaman demikianlah yang akan memberikan makna-makna yang
membangun rangka kerja yang ideal, yang mana dalam penjelasannya atasdasar
sebab-akibat memungkinkan sekali, maka Weber menolak segala penyelidikan
tentang asal pengertian-pengertia dan segala daya usaha untuk menyelenggarakan
memperhubungkan antara lambang-lambang, nilai-nilai, atau ideal-ideal kolektif
dan kenyataan sosial. Maka apa yang hendak dicapai oleh sosiologinya itu lebih
sederhana daripada ahli-ahli sosiolgi sebelumnya. Sosiologi Weber tidak
menyatakan bahwa aspek sosiologi hukum, etika, agama, dan lain-lain dapat
menghilangkan fenomenanya. Sebaliknya, sosiologi tersebut cenderung untuk
menjadikan sosiologi jiwa manusia bergantung secara unilateral kepada ilmu-ilmu
yang mensistematisasikan pengertian-pengertia ideal dan dengan demikian
sosiologi mambatasi dirinya penyelidikan reaksi terhadap tindak-tanduk yang
efektif dari sistem-sistem dogma atau norma-norma yang mereka bahas.
Dalam
sosiologi hukum, Weber lebih dahulu menyelidiki berbagai sistem-sistem yang
berlandaskan hukum yang dibangun oleh sarjana-sarjana hukum, dalam masyarakat
Romawi, feudal, kapilistis, dan lain-lain, kemudian dilanjutkan dengan
menyelidiki masalah-masalah mengenai cara merefleksikan sistem norma tersebut
dalam pola tingkah laku sosial yang bersesuaian. Adalah perlu menegaskan
kenyataan bahwa sosiologi hukum, dengan demikian sama sekali tidak mengancam
kedudukan ilmu hukum dan filsafat hukum, tetpai justrui mengakuinya dan
menghargainya sebagaimana halnya sosiologi agama sangat menghargai teologi dan
filsafat agama.
Kita
patut memuji Weber karena ia telah berhasil menghilangkan sifat agresifitas
sosiologi sehingga mengakui keberadaan ilmu-ilmu sosial yang bersifat khusus
sebelumnya yang telah ada dan telah memiliki otonominya. Weber telah memberikan
sumbangan bagi adanya saling pengertian antara ahli sosiologi dan sarjana
hukum, antara sosiologi hukum dan ilmu hukum. Kembali orang bertanya, sebagai
reaksi terhadap para ahli sosiologi sebelumnya, apakah Weber tidak terlalu jauh
bertindak dengan member konsensi kepada
ilmu-ilmu dogmatis-normatif? Selain itu, juga mempertanyakan, apakah sosiologi
hukumnya tidak terlalu menderita oleh karena ia menerima baik cara pembahasan
secara terperinci dan saksama sistem norma-norma hukum, yang boleh dikatakan
mengambang dan sama sekali lepas tanpa ada hubungannya dengan kenyataan hukum
yang hidup padahal norma-norma hukum itu hanyalah lambang-lambang kaku dari
kenyataan hukum tersebut?
Pada
hakikatnya bahwa untuk menghindari keseterilan atau ketidakmampuan, ilmu hukum
justru lebih membutuhkan sosiologi hukum ketimbang sosiologi hukum membutuhkan
ilmu hukum. Dalam menyelidiki kemungkinan dari pola tingkah laku sosial
(catatan dari penerjemah untuk sebelum
dan sesudahnya bahwa social behaviours diartikan sebagai pola tingkah laku
sosial atau boleh juga kelakuan atau perbuatan sosial, dalam arti bukan
tindakan individu) yang efektif yang mewujudkan kekakuan ketentuan-ketentuan
hukum sebelumnya telah ditetapkan dan disusun secara seksama dalam suatu
sistem, Weber tidak menyadari bahwa dari antara peraturan—peraturan yang kaku
itu ada juga asas-asas yang luwes dan bersifat ad hoc dan bahwa di bawah
asas-asas ini hidup kumpulan
kepercayaan-kepercayaan yang member kekuasaan riil kepada hukum dan yang terwujud
dalam fakta-fakta normatif, yakni sumber-sumber yang secara spontan dari
positivitas hukum yang merupakan sumber kekuatannya, “sumber dari segala
sumber” dan dasar dari suatu dinamisme terus-menerus yang merupakan kehidupan
sesungguhnya dari hukum. Selama ia diciptakan dengan sengaja mengurangi
kenyataan hukum yang dipisahkan semata-mata menjadi kelakuan-kelakuan yang
dibimbing oleh peraturan-peraturan yang kaku dan disistematisasikan dan sengaja
diciptakan samalah dengan
memperbudak peyelidikan sosiologi hukum kepada suatu tenik hukum yang khusus,
maka sosiologi hukum Weber hanyalah member penjelasan yang relatif dan tidak
merupakan bantuan besar kepada ilmu hukum. Selain itu sosiologi Weber membatasi
dirinya pada tipologi hukum dari masyarakat totalitas dan tidak pernah
menyinggung masalah-masalah sosiologi hukumyang sistematis atau tipologi hukum
dati kelompok-kelompok tertentu.
Kekurangan-kekurangan
sosiologi hukum ini, tidaklah disebabkan oleh metode pemahaman interpretatif
atas pengertian-pengertian batin sebagai dasar penyusunan tipe-tipe ideal, dan
tidak pula disebabkan oleh kehendak Weber untuk menciptakan saling adanya
pengertian dan kerja sama antara sarjana hukum dan ahli sosiologi. Akar dari
kekurangan ini karena terlalu sempitnya konsepsi sosial mengenai fakta sosial
yang merupakan suatu kemunduran dari yang telah dicapai oleh pikiran Durkheim.
Weber menyederhanakan fakta-fakta sosial hanya kearah pengertian-pengertian
serta kelakuan , lainnya: dasar morfologi dan psyche kolektif, tanpa membedakan
di antara organisasi-organisasi itu, praktek-prakteknya, dan mengadakan
pembaruan sikap di dalam pola tingkah laku itu sendiri. Dibimbing oleh suatu
kecenderungan nominalistis, sisa-sisa dari pandangan E.A. Ross, Weber
menyederhanakan pola tingkah laku sosial itu menjadi pola tingkah laku
individual yang berorientsi kepada pengertian-pengertian sosial (bertalian
denga pola-pola tingkah laku orang lain); ia bahkan tidak mengemukakan
persoalan tentang bagaimana, mengingat penegasannya mengenai kehidupan
eksklusif dari psyche individual (mengandung kesadaran diri). Meskipun
menggunakan suatu cara sosiologis yang sangat saksama, namun Weber tidak
mengetahui menerapkannya kepada suatu obyek sosial secara mendasar atau mendalam. Ia
mngurangi kenyataan sosial sedemikian rupa, sehingga hamper saja
menghilangkannya sama sekali. Itulah akibatnya ia terlampau mempercayai
siatem-sistem yang mengandung pengertian-pengertian yang kaku yang
diselenggarakan oleh ilmu-ilmu yang dogmatis-normatif, yang baginya sebagai
pengganti pola-pola sosial dan lambang-lambang serta nilai-nilai yan g erat
kaitannya dengan kehidupan spontanitas dari kumpulan akal budi berdasarkan pada
pengalaman yang meliputi dan sedikit banyak juga merumuskan dan menciptakannya.
Jikalau ada
orang yang menyatakan bahwa gagasan dan nilai-nilai merupakan kumpulan
pengalaman tidaklah merupakan hasil yang diakibatkan kumpulan akal budi maka
tesis ini tidak dipertahnkan dengan menyembunyikan gagasan-gagasan serta
nilai-nilai dalam pengertian ini, adalah ciri-ciri dari produk sosial. Apabila
gagasan-gagasan dan nilai-nilai bertentangan dengan kumpulan mentalitas maka
sektor dunianya yang tidak terbatas yang dapat diketahui dari fakta-fakta
kumpulan pengalaman bergantung kepada ciri-ciri pengalaman itu sendiri yang
melakukan penyeleksian. Dengan demikian dikemukakanlah problem perspektif
sosial, sebagai penentu untuk dapat memahani aspek-aspek khusus dunia
kerohanian dari gagasan-gagasan dan nilai-nilai.pengertian-pengertian
kemungkinannya tidak terpisah jauh dari kenyataan sosial, seperti halnya
kenyataan sosial tidak seberapa terpisah dari pengertian-pengertiannya:
Hubungannya di sini tidak bersifat memihak tetapi timbal balik dan bilateral.
Masalah hubungan fungsional antara bentuk-bentuk konkret dari struktur sosial
dan pengertian-pengertian sosial yang menjadi inspirasinya (dan dalam
konstitusi yang dicakupnya), masalah pokok sosiologi akal budi keilmuan (noetic
mind) ini pun tidak terpecahkan oleh Weber.
Sosiologi dewasa
ini semakin berkembang sehingga memungkinkan ditransformasikan ke sosiologi
hukum dan sekaligus menyelidiki sosiologi nilai-nilai kerohanian secara
bersifat lebih umum. Munculnya masalah sosiologi jiwa manusia demi kepentingan
ilmu pengetahuan dan sosiologi etika, yang ternyata semakin membawa banyak
kemajuan. Masalah sosiologi pengetahuan itu yang diangkat oleh Durkheim di
Perancis maupun oleh filsuf pro Hegel, Wilhelm Dilthey di Jerman. Iklim
intelektual dari filsafat pragmatis James dan Dewey mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan sosiologi ini. sosiologi ini mendapat bentuk yang nyata dalam
karya-karya Max Scheler (versuch Einer
Soziologie des Wissens, 1924) dan Karl Mannheim (Ideologie und Utopie, 1929, edisi bahasa Inggris dengan banyak
perubahan, 1936); dan yang disebut terakhir ini telah mengkombinasikannya
dengan pengaruh-pengaruh dari Weber dan Scheler. Perkembangan umum teori-teori
nilai dewasa ini penting sekali bagi sosiologi moral. Digabungkan dengan
gagasan tentang suatu pengalaman moral yang menempatkan unsur rohani kehidupan
moral dengan pengkhususan-pengkhususannya yang tak terhingga ke dalam hubungan
fungsional dengan tipe-tipe serta bentuk struktur sosial.
Perbincangan
penting mengenai lambang-lambang sosial dan peranannya dalam kehidupan sosial
dan jenis kumpulan pikiran keilmuan (noetic collective mentality), seperti
terdapat dalam karya-karya Erns Cassirer (Philosophie
der Symbolischen Formen, 3 jilid, 1925), Lucien Levy Bruhl (L’experience Mystique et les Simboles Chez
les Primitifs, 1938), G.H. Mead (Self,
Mind and Society, 1935), menegaskan dan memecahkan dengan caranya sendiri
masalah-masalah asasi sosiologi berkenaan dengan fungsi-fungsi kerohanian,
yakni peranan yang dimainkan melalui perantaraan lambang-lambang antara
tipe-tipe jalan pikiran sosial dan alam keilmuan. Suatu kecenderungan yang
sangat berbeda dinyatakan oleh karya-karya pengarang seperti Sorel, Pareto, dan
Thurman Arnold, yang melihat dalam lambang-lambang itu hanyalah
khayalan-khayalan, mitos-nitos, dan berhal-hala pujaan, meskipun semuanya
memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial.
Akhirnya, para
penulis yang memandang sosiologi dari sudut pandang berbeda-beda, baik R.M. Mac
Iver di satu pihak dan P. Sorikin di lain pihak, dan juga pakar filsafat E. Jordan yang berangat dari bidang dan
pandangan yang berbeda, sama-sama menaruh minat besar kepada masalah umum
perihal hubungan antara kenyataan sosial dan makan kerohanian.
Seluruh buku
yang berkenaan dengannya dari karya-karya dan dari segala aliran-aliran harus
dianalisis. Kita pun hatus membatasi diri merumuskan sekadarnya sosiologi jiwa
manusia ini oleh karena semakin menarik perhatian ahli-ahli sosiologi dan
filsuf-filsuf dewasa ini dan oleh kerena metodologi penyelidikan
masalah-masalah sosiologi hukum nempaknya hanya memungkinkan bagi kita
berdasarkan sosiologi akal budi manusia (noetic mind).
Sosiologi
Jiwa Manusia dan Struktur Kenyataan Sosial
Pendekatan
terbaik menghadapi masalah-masalah sosiologi akal budi (sosiologi jiwa manusia)
dan menetapkan tempatnya yang tepat di antara disiplin-disiplin sosiologi,
kelihatannya hanya melalui tingkat-tingkat atau di kedalaman analisis-analisis
kenyataan sosial. Jenis analisis ini diilhami oleh metode inverse (Bergson)
atau phenomenological reduction (Husserl), yaitu menurunkan yang seharusnya ada
ke bawah melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan ke arah tingkatan yang
mengalami langsung kenyataan sosial. Ternyata semua lapisan atau tingkatan dari
kedalaman yang harus kita ketahui dan bedakan dalam kehidupan yang nyata saling
berkaitan erat satu sama lainnya, saling mempengaruhi satu dengan lainnya
secara menyeluruh.
1.
Pada
permukaan dari kenyataan sosial kita
menemui benda-benda dari individu-individu yang dapat dilihat: dasar geografi
dan demografi masyarakat, dan juga
bangunan-bangunan, alat-alat perhubungan, perkakas, bahan-bahan makanan, dan
lain-lain.
2.
Jika
kita masuk lebih lanjut ke dalam kenyataan sosial, kita akan temui
aturan-aturan selanjutnya atau sepertinya mengorganisir
superstruktur-superstruktur lainnya, yakni pola tingkah laku kolektif, menghierarkisasikan,
memusatkan dan mencerminkan, berdasarkan kekakuan pola-pola yang ditetapkan
sebelumnya.
3.
Dengan
demikian kita sampai pada suatu tungkatan pola-pola dari berbagai jenis, dari
gambaran-gambaran pola tingkah laku kelompok manusia yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pola-pola ini sebenarnya tidak perlu kaku dan ditetapkan
sebelumnya. Pola-pola ini boleh luwes, mudah menyesuaikan diri, dapat
berubah-ubah, yang merupakan hasil dari upacara-upacara dan tardisi-tardisi,
yang boleh jadi melalui perbuatan sehari-hari dan meluas menjadi suatu mode
yang mana pada umumnya mode-mode ini terus-menerus berubah-ubah. Haruslah ada
juga garis pemisah yang tegas antara pola-pola non-simbolis.
4.
Di
bawah alam dari berbagai pola itu, kita akan menemukan pola-pola tingkah laku
kolektif yang tidak terorganisir. Jikalau pola tingkah laku ini dikendalikan
oleh pola-pola, maka pola tingkah laku itu akan menerima sifat-sifat pola itu.
5.
Ini
pembimbing kita kepada lapisan kenyataan sosial yang lebih dalam lagi, yaitu
lambang-lambang sosial. Tanpa ini baik organisasi-organisasi maupun pola-pola
kebudayaan bahkan pola tingkah laku kolektif yang dibimbing seperti pola-pola
tidak akan mungkin ada. Lambang-lambang mengekspresikan pengertian-pengertian
kerohanian yang sulit dirasakan, yang mengambil tempat antara rupa dan bendanya
di dalam mereka sendiri (ansich). Lambang-lambang ini adalaj perantara di
antara keduanya dan bergantung kepada keduanya. Lambang-lambang itu sekaligus
menyatakan dan menyembunyikan, menyembunyikan sekaligus menyatakannya.
6.
Jika
menyusup masuk lebih ke dalam lagi, maka
di bawah tingkatan lambang-lambang itu yang pertama sekali kita
menemukan kebiasaan-kebiasaan bersama yang membawa pembaruan, menghancurkan
pola-pola, dan menciptakan pola-pola baru. Kebiasaan-kebiasaan yang menciptakan
pembaruan secara tidak terduga-duga ini teristimewa dapat dilihat dalam situasi
bergolak: revolusi-revolusi, masa perubahan-perubahan yang hebat, pergolakan
agama, perang dan lain-lain.
7.
Di
bawah pola tingkah laku yang kreatif dan tidak
terduga-duga, dan juga di bawah pola tingkah laku yang dibimbing oleh
lambang-lambang serta pola-pola kebudayaan, kita menemukan suatu alam
nilai-nilai dan gagasan-gaagsan bersama, sebagai penggerak motif-motif,
mengilhami, dan pada gilirannya merupakan dasar kerohanian bagi
lambang-lambang. Sebagai contoh, mari kita perhatikan kebiasaan-kebiasaan
khusus dari suatu suku biadab dan beberapa pola kebudayaan serta
lambang-lambangnya yang khas: lambang-lambang, tarian-tarian, nyanyian-nyanyian,
dan lain-lain.
Ruang lingkup
wawasan kerohanian dapat dan seharusnya dibatasi secara sosiologis dan oleh
karena itu selalu berbeda dar masa sosial ke masa sosial lainnya, dari satu
struktur sosial ke struktur sosial lainnya, tanpa mempengaruhi sedikit pun
obyektivitasnya serta sifatnya yang supr-temporal. Penyedilikan perihal proses
pengkhususan nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian berdasarkan yang mampu
dicakupnya, dengan memberikan definisi yang jelas kepada kerangka sosiologi
akal budi keilmuan yang padanya penyelidikan pola-pola kebudayaan dan
lambang-lambang merupakan suatu tahap mengarah pada jalan ke tujuannya yang
terakhir.
8.
Nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian,
dikhususkan dengan menunjuk kepada masa-masa dan struktur sosial, haruslah
terpahami, teruji dan teralami. Asumsi ini mengakui adanya kumpulan kapasitas
mental bercita tinggi mengarah sedemikian rupa ke arah nilai-nilai dan
gagasan-gagasan, menerangi dirinya sendiri dengan nilai-nilai dan
gagasan-gagasan dan melawannya juga dengannya. Deskripsi mengenai tingkatan di
dalam kenyataan sosial memungkinkan sebagaimana penulis yakini dan merumuskan
dengan tegas tujuan sosiologi jiwa manusia atau akal budi kerohanian: yakni
pelajaran mengenai pola-pola sosial, lambang-lambang sosial, dan kumpulan
nilai-nilai kerohanian serta gagasan-gagasannya di dalam hubungan fungsional
dalam struktur sosial dan situasi-situasi sejarah konkret masyarakat.
Unsur-unsur tersebut berpartisipasi dalam pembentukan kenyataan sosial,
kadangkala mereka sekaligus diciptakan atau dapat dicapai melalui kenyataan
sosial.
Karakter
spesifik sosiologi jiwa manusia yang berbeda dengan seluruh disiplin sosiologi
lainnya, mewujudkan dirinya secara nyata di dalam saling ketergantungan dengan
filsafat. Pada kenyataannya, alam dari pengertian-pengertian kerohanian atau
nilai-nilai dan gagasan-gagasan kerohanian dan juga penjelmaannya melalui
lambang-lambang merupakan obyek penyelidikan filsafat dan sosiologi akal budi
kerohanian. Di sinilah pertemuan antara filsafat dan sosiologi. Apakah keduanya
bertemu sebagai kawan atau lawan, atau berdiri sendiri, saling tidak
membutuhkan, atau saling berkompetisi atau saling bekerja sama mempengaruhi
satu dengan lainnya? Tak pelak lagi hal ini sangat bergantung pada
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dalam filsafat dan sosiologi.
Rasionalisme dogmatis, sensualist empirisme, dan bahkan kritisme, adalah
filsafat-filsafat yang bertentangan dengan beberapa fungsi-fungsi sosiologi
kerohanian sebagaimana halnya dengan naturalisme sosiologi, positivisme,
behaviourisme, dan formalisme. Filsafat dan sosiologi jiwa manusia satu dengan
lainnya dapat saling mengakui dan bekerja sama seandainya
kecenderungan-kecenderungan ini disingkirkan. Salah satu jasa besar dari
sosiologi jiwa manusia sebagai suatu fakta adalah ketegasannya menyingkirkan
kecenderungan-kecenderungan ini. penyelidikan sosiologi terhadap alam
kerohanian itu sendiri, menguji keabsahan secara obyektif nilai-nilai dan
gagasan-gagasan kerohanian dan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhannya
tidak terbatas dari jiwa yang menjelmakan diri di dalam kehidupan nyata dan
yang diserahkan kepada filsafat menyelesaikan penyelidikan menyangkut jiwa
manusia secara lebih terperinci berdasarkan sosiologi. Penyelidikan nilai-nilai
dan gagasan-gagasan fungsi-fungsi dari struktur sosial dalam mana mereka
muncul, dan tidak menimbulkan adanya pertanyaan mengenai keabsahannya yang
obyektif atau ketelitiannya, kadang kala membutuhkan filsafat. Filsafat
mengajarkan kepada sosiologi bagai mana membedakan lambang-lambang dari
kandungan kerohanian yang dilambangkannya. Filsafat itu sendiri selalu dapat
memberikan kepada sosiologi kriteria kekhususan, dengan menentang nilai-nilai
dan gagasan-gagasan atas dasar logika sebagaimana ia membeda-bedakan moral,
hukum, estetika, dan nilai-nilai keagamaan. Sesungguhnya adalah suatu
ketidakmungkinan untuk mempelajari mempergunakan kriteria yang diperlengkapi
oleh refleksi yang bersifat filsafati dan memungkinkan mengisolasinya dalam
kenyataan dari kumpulan pola tingkah laku dan keadaan pola-pola tatanan hukum, moralitas,
keagamaan, atau estetika. Demikianlah sosiologi jiwa manusia dan filsafat
saling butuh-membutuhkan satu dengan lainnya. Tidak aka nada sosiologi ilmu
pengetahuan tanpa adanya suatu teori dari ilmu pengetahuan dan sebaliknya.
Tidak akan ada sosiologi keagamaan tanpa adanya filsafat keagamaan dan
sebaliknya. Tidak aka nada sosiologi hukum tanpa filsafat hukum dan sebaliknya.
Tetapi bagaimana
kita dapat menghindari suatu lingkaran yang tidak berujung pangkal?
Satu-satunya hanyalah dengan mengakui adanya suatu kumpulan pengalaman secara langsung baik bersifat logis, hukum,
estetika (cita rasa) atau keagamaan, suatu pengalaman integral yang meliputi
data kerohanian dan rasa (indrawi). Di dalam usahanya yang terakhir, William
James di Amerika Serikat, Bergson, Rauh, dan phenomenologist, Husserl dan Scheler
di Eropa, telah menunjukkan jalan. Berbagai cabang sosiologi mengenai fungsi-fungsi
kerohanian dan berbagai disiplin filsafat hanyalah merupakan berbagai cara
penggunaan data veriabel secara meluas dan langsung, pada pengalaman bersama
secara integral. Refleksi filsafat akan membawa lambang-lambang kepada
pengalaman sedemikian itu, dan menetapkan kriteria yang spesifik dari berbagai
atau pengalaman bersama langsung. Sosiologi jiwa manusia menyatakan betapa
pentingnya aspek pengalaman kolektif ini bagi filsafat, dan melukiskan
tiap-tiap lapangannya bagi tiap-tiap variasi data yang tidak terhingga itu, di
dalam kekhususannya dan relasi fungsionalnya pada struktur-struktur sosialnya
di mana mereka mewujudkan diri.
Definisi
Hukum
Definisi hukum
sangat banyak jumlahnya. Definisi-definisi yang diterapkan di antara para
sarjana menggambarkan sistem-sistem yang berlaku di negara masing-masing dan
sebagai akibat menggeneralisasikan teknik-teknik hukum secara khusus
semata-mata pada situasi-situasi sosial yang konkret.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Dean Pound secara tepat, definisi-definisi ini
masing-masing dipengaruhi oleh suatu
titik pandang yang khusus dari warga masyarakatnya, dari pada pengacara hukum,
hakim, dan ahli hukum. Di samping itu fenomena hukum pada umumnya sangat
kompleks, karena strukturnya antinomis. Di dalamnya hadir bersama-sama otonomi
dan heteronomy, unsur-unsur ideal dan unsur-unsur riil, stabilitas, dan
mobilitas, tata tertib dan ciptaan, kekuasaan dan sanksi hukum, kebutuhan
sosial dan idaman-idaman sosial, pengalaman dan penyusunan, akhirnya,
idaman-idaman logis dan nilai-nilai moral. Kekompleksan ini menciptakan banyak
usaha yang sengaja diadakan untuk mengisolasi satu unsur agar dapat menetapkan
definisi-definisi hukum secara sederhana yang terletak di atas keseluruhan
unsur lainnya. Karenanya, di dalam kekhususannya, berbagai metafisis,
transendal, normatif, psichologis, utilities, materialistis, dan definisi
sosiologi hukum, secara keseluruhan, meskipun saling bertentangan secara
menyolok, tersusun secara sewenang-wenang dan bersifat dogmatis, tanpa menaruh
minat pada sudut papandang lainnya terkecuali dari sudut pandangnya yang
bergantung pada pemikiran tertentu. Kita harus menambahkan sebagai fakta bahwa
hukum dapat dinyatakan dari berbagai prosedur teknis, yang memainkan peranan
yang sama sekali berbeda dalam berbagai sistem hukum dan berbagai moment dalam
kehidupannya (adat, undang-undang, ketentuan-ketentuan yang mudah dihterapkan,
ketetapan umum, dan istimewa pengadilan, presiden-presiden, persetujuan
bersama, dan pernyataan bersama, misalnya penyelesaian langsung malalui lembaga
yang berkepentingan).
Tidak ada satu
pun dari definisi yang banyak ini diterima sebagai titik awal kebiasaan kerja
sosiologi hukum, pun tidak bagi filsafat hukum.sepanjang yang telah dikemukakan
sebelumnya, semua definisi ini merintangi jalan mempelajari sepenuhnya
kenyataan sosial dari hukum, dalam semua tingkatan kedalamannya dan dalam
berbagai macam tipe yang seakan-akan tidak terbatas. Kenyataan sosial hukum
bukanlah fakta langsung bagi institusi dan bukan pula suatu persepsi rasa
kepuasan, melainkan suatu susunan akal pikiran, disamping itu, terlepas sama
sekali dari kenyataan sosial sebagai suatu fenomena yang total. Oleh karenanya,
disiplin sosiologi harus segera mengadakan pembatasan fakta-fakta hukum dari
fakta-fakta sosial, yang sama-sama ada hubungannya dengan nilai-nilai
kerohanian, dan sekaligus menutupi pertaliannya dengan fakta-fakta hukum, yakni
mora, keagamaan, estetika, dan yang mirip hukum. Di samping itu, titik tolak
ini tidaklah lantas mengabaikan aspek-aspek hukum lainnya, tetapi justru
menjadi inspirasi bagi nilai-nilai hukum dan merembes ke seluruh tingkatan dari
kedalaman dan ke seluruh perwujudan dari hukum itu sendiri. Sampai di sini kita
belum dapat membangun suatu analisis filsafat secara terperinci, yang dapat
membawa kita keluar dari batas-batas pokok pembahasan kita, marilah kita rumuskan
secara sederhana beberapa tesis dari hasil analisis ini.
1.
Pengalaman
langsung dari hukum berupa tindakan –tindakan bersama yang diakui oleh
nilai-nilai kerohanian sebagaimana yang dinyatakan, diwujudkan di dalam
fakta-fakta sosial di mana mereka dinyatakan. Yakni perwujudan dan realisasi
dari nilai-nilai berupa fakta-fakta yang merupakan data teramatbesar dari
pengalaman hukum. Tindakan pengakuan berupa fakta-fakta yang menyatakan
nilai-nilai agaknya berbeda dari nilai-nilai partisipasi langsung. Misalnya, seseorang
yang tidak cukup mengerti member penilain akan keindahan suatu simponi, tetapi
di sini setidak-tidaknya harus dicegah perasaan tidak senang para pendengar
yang terganggu ketegangannya oleh tindakan si pengganggu. Pengganggu itu dapat
dianggap telah melakukan tindakan melawan keadailan, yakni tindakan
bertentangan dengan nilai-nilai hukum.
2.
Keadilan
atau nilai-nilai hukum adalah unsur-unsur yang paling mudah berubah-ubah
diantara keseluruhan perwujudan rohani, sebab keduanya secara serentak mengubah
fungsinya: (a) variasinya dalam nilai-nilai dari pengalaman, (b) variasinya
dalam gagasan-gagasan logis dari pengalaman dan penggambaran-penggambaran
intelektualannya, (c) variasinya dalam hubungan timbal balik diantara kemauan
emosional drai pengalaman dan pengalaman intelektual, (d) variasinya dalam
hubungan diantara pengalaman dari data keindraan. Itulah sebabnya mempertegas
hukum sebagai suatu usaha mewujudkan keadilan dalam suatu milleu sosial
tidaklah berbahaya, seandainya memperhitungkan sikap yang mudah berubah-ubah
dari aspek-aspek hukum itu sendiri.
3.
Tanda-tanda
spesifik hukum, dari yang jural atau legal mengalir dari sifat-sifat kekarakteristikan
pengalaman hukum langsung dan keadilan sebagaimana diterangkan sebelumnya.
Hukum atau pengaturan hukum atau pengawasan sosial yang legal (berdasarkan atas
hukum) berbeda dari jenis pengaturan sosial atau pegawasan lainnya (kemoralan,
keagamaan, keestetikaan, atau kependidikan) jika berdasarkan pada
kekarakteristikannya.
a.
Karakter
bersifat penentu dan terbatasnya perintah-perintah hukum versus karakter
bersifat tidak terbatas dan tidak terhingga dari perintah-perintah
(ketentuan-ketentuan) lainnya, pada khususnya ketetapan mengindividualkan moral
(atau memberlakukan moral pada pola tingkah laku per individu, penerjemah)
berdasarkan pada urgensinya. Sebagai contoh, ketentuan, “Engkau tidak boleh
membunuh”, lain maknanya didalam hukum dan moral. Dalam hukum, terdapat kasus
di mana seseorang dapat melakukannya, pada kasus lainnya seseorang dibenarkan
harus membunuh (dalam hal mempertahankan diri, perang, melaksanakan hukuman
mati, dan lain-lain). Di dalam moral, terdapat larangn untuk tidak
memasukkannya ke dalam kasus ini, tetapi untuk setiap tindakan yang secara
tidak langsung dapat menimbulkan kematian, dari adanya penolakan untuk dapat
dibantu dari dalam keadaan membahayakan yang dapat mempersingkat kehidupan
seseorang, walaupun yang memohon dengan perkataan yang menyakitkan.
b.
Bilateral
atau lebih tepatlagi karakter multilateral, merupakan suatu struktur
atribut-amperative sebagai lawan kata karakter bersifat khusus
unilateral-imparetive dari keseluruhan tipe-tipe pengaturan lainnya. Struktur
atribut imperative dari keseluruhan perwujudan hukum terdiri atas suatu
hubungan yang tidak terpecahkan diantara beberapa kewajiban-kewajiban dan
tuntutan-tuntutan lainnya.
c.
Kemutlakan
adanya “jaminan sosial” dari kefektifan hukum akan memberikan kepastian bagi
suatu persesuain yang riil diantara tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban
yang sekaligus akan memperlihatkan dirinya seandainya dibutuhkan oleh
keseluruhan hukum untuk menjadi hukum positif yakni untuk mendapatkan keabsahan
fakta-fakta normatif.
d.
Tidak perlu diwajibkan melaksanakan paksaan
lahiriah secara saksama, namun hukum tetap mengakui ada kemungkinannya harus
diiringi dengan paksaan, sedangkan perintah agama serta pendidikan menyediakan
kemungkinan eksekusi dengan cara yang saksama atau detentukan. Ini adalah
konsekuensi dari sifat hukum yang tertentu, terbatas, dan atribut imperative
yang multilateral.
e.
Demikianlah
kita sampai kepada definisi hukum: “hukum melambangkan suatu usaha untuk
mendapatkan suatu gagasan mengenai keadilan dalam lingkungan sosial (yakni,
suatu usaha pendahuluan, dan pada hakikatnya berupa variable perdamaian dari
pertentangan nilai-nilai kerohanian yang terwujud dalam suatu sistem sosial),
melaui atribut imperative yang multilateral berdasar perkaitannya yang sangat
menentukan diantara tututan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban; peraturan ini
mendapatkan keabsahan dari fakta-fakta normative yang akan memberikannya
kefektifan dari suatu jaminan sosial. Dan bagaimana pun juga eksekusi itu harus
memenuhi syarat-syarat paksaan lahiriah melalui cara yang saksama, tetapi tidak
selamanya peraturan perlu mensyaratkannya.
f.
Boleh
jadi pertanyaan yang timbul apa yang harus kita perbuat dengan
peraturan-peraturan sosial yang lainnyadisamping hukum, moral-moral, hukum
agama, estetika dan pendidikan, seperti halnya adat kebiasaan, tata cara,
upacara-upacara sosial, konfensi-konfensi, rasa hormat, adat kesopanan, dan
akhirnya adat istiadat. Jawabannya adalah peraturan-peraturan selain hukum ini
terkategori berdiri sendiri adalah merupakan hasil dari kekacauan dengan adanya
para sarjana berupaya mempertahankannya. Adat istiadat bukanlah
peraturan-peraturan yang khusus tetapi semata-mata suatu metode yang khusus
untuk mengakui berbagai peraturan-peraturan yang kita nyatakan sebelumnya.
Definisi
Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum
adalah bagian dari sosiologi jiwa manusia yang menelaah sepenuhnya realitas
sosial hukum, dimulai dari hal-hal yang nyata dan observasi perwujudan
lahiriah, di dalam kebiasaan-kebiasan kolektif yang efektif
(organisasi-organisasi yang baku, adat istiadat sehari-hari dan tardisi-tradisi
atau kebiasaan inovatif) dan juga dalam materi dasarnya (struktur keruangan dan
kepadatan lembaga-lembaga hukumnya secara demografis). Sosiologi hukum
menafsirkan kebiasaan-kebiasaan ini dan perwujudan-perwujudan materi hukum
berdasarkan pengertian intinya, pada saat mengilhami dan meresapi mereka, pada
saat bersamaan mengubah sebagian dari
antara mereka (kebiasaan dan perwujudan materi hukum). Sosiologi hukum memulai khususnya dari pola-pola pelambang
hukum tertentu sebelumnya, seperti mengorganisasi hukum, prosedur-prosedur, dan
sanksi-sanksinya, sampai pada simbol-simbol hukum yang sesuai, seperti
kefleksibelan peraturan-peraturan dan kespontanan hukum. Dari yang tersebut
terakhir ini sosiologi hukum beralih ke nilai-nilai dan gagasan-gagasan hukum
di mana mereka menyatakannya, dan akhirnya ke keyakinan bersama serta lembaga-lembaga
yang menginginkan nilai-nilai ini dan mencakup gagasan-gagasan ini, dan yang
mewujudkan diri mereka dalam kespontanan “fakta-fakta normatif”, sumber
keabsahan, yakni kepositifan keseluruhan hukum.
Jurisprudensi
atau “ajaran tentang hukum positif”, hanyan dapat mengakkan suatu sistem
tersusun secara logis dari pola-pola dan simbol-simbol normatif (boleh jadi
kaku atau fleksibel), abash bagi pengalaman kelompok tertentu pada suatu
periode tertentu dan bertujuan untuk memudahkan pekerjaan bagi pengadilan-pengadilan.
Tetapi sosiologi hukm membayangkan variasi pengalaman keseluruhan masyarakat
dan kelompok-kelompok sepertinya tidak terbatas, menggambarkan kadarnya yang
konkret dari tiap-tiap tipe pengalaman (keluasan sebagaimana mereka ekspresikan
dalam fenomena yang terlihat dari lahiriahnya), dan mengungkapkan sepenuhnya
realita hukum yang mana pola-pola dan simbol-simbolnya menyelubungi lebih
banyak dari yang mereka jelaskan.
Kita mesti
membedakan dan memperjals secara terpisah dan ini kerap diabaikan Tiga
problem-problem sosiologi hukum yang satu berbeda dengan lainnya: (1) Problem
sistematik sosiologi hukum: penelaahan manifestasi hukum sebagai fungsi dari
bentuk-bentuk kemasyarakatan dan dari tingkatan-tingkatan kenyataan sosial.
Problem ini dapat dipecahkan hanya berdasarkan apa yang kita sebut dengan mikro
sosiologi hukum. (2) Problem-problem sosiologi hukum diferensial: menelaah
manifestasi-manifestasi hukum sebagai suatu fungsi dari unit-unit kolektif yang
real dimana pemecahannya terdapat pada tipologi hukum dari kelompok-kelompok
tertentu serta masyarakat menyeluruh. (3) Problem-problem sosiologi hukum
genetis, yang dianalisis dengan menggunakan mikrobiologis yang dinamis.
Menelaah keteraturan-keteraturan sebagai suatu kecenderungan dan faktor-faktor
dari perubahan, perkembangannya, serta keruntuhan suatu hukum di dalam suatu
masyarakat tertentu.
Perbedaan antara
sosiologi hukum sistematis atau mikrososiologi diferensial atau typologis dan
sosiologi hukum genetis memungkinkan dihindarkan dari serentetan
kekacauan-kekacaun dan menghapuskan dari bidang ini pertikain-pertikaian antara
mashab-mashab yang sering timbul semata-mata karena adanya salah pengertian
menurut keyakinan kita sosiologi hukumtidak dapat berhasil jika tidak
memperhatikan tiga sekaligus lapangan-lapangan yang telah dibatasi dengan jelas
dan cermat: mikrososiologi hukum, tipologi hukum diferensial dari
kelompok-kelompok dan semua masyarakat yang menyeluruh, dan sosiologi hukum
genetis. Sosiologi itu pun harus serentak memperhatikan perlunya otonomi dan
kerja sama yang erat diantara ketiga cabang itu, demikian pula hubungan
hierarkinya, karena mikrososiologi hukum harus ada bersama-sama dengan dua
cabang lainnya, dan sosiologi hukum genetis bersandar pada sosiologi hukum
genetis condong kepada sosiologi hukum berdasarkan diferensial atau sosiologi
hukum berdasarkan tipologi. Sebelum memulai dengan pengutaraan secara
sistematis masalah-masalah pokok sosiologi hukum, yang sekarang kita berikan invertarisnya,
maka ada gunanya berhenti sejenak untuk suatu pengutaraan kritis dari
konsepsi-konsepsi para peletak-peletak dasar yang terkemuka dari sosiologi
hukum dewasa ini.
PELETAK DASAR SOSIOLOGI HUKUM
Di Eropa
1.
Durkheim
Uraian
sebelumnya telah memberi beberapa petunjuk umum tentang tempat sosiologi hukum
dalam sosiologi Durkheim. Di sini akan diberikan ikhtisar yang konkret dari
sosiologi hukum Durkheim. Kecuali dua karyanya yang di dalamnya ia membahas
masalah-masalah hukum De la division du
travail social (1893, terjemahan bahasa Inggris, 1915) dan Deux lois de l’evolution penale (dalam Annee Sociologique, vol IV, 1900), maka
semua karyanya termasuk catatan penting yang diterbitkan dalam Annee
Sociologique (yang sepertinya dikhususkan bagi sosiologi hukum), banyak
jasanya dalam menjelaskan dan menerangkan lapangan ini.tiap-tiap
analisis-analisis yang sungguh-sungguh dari telaahnya menunjukkan tanpa
ragu-ragu bahwa ia sama sekali tak mempersahajakan sosiologi hukum menjadi
suatu ilmu yang semata-mata masalah-masalah genetis. Pada hakikatnya, ia banyak
jasanya dalam perkembangan sosiologi hukum yang sistematis (dengan menelaah
hubungan antara tipe-tipe hukum dan masyarakat-masyarakat yang serba meliputi).
Hanya karena ini percaya bahwa ia harus menghubungkan kedua lapangan
penyelidikan ini dengan telaah tentang perkerabatan di seluruh masyarakat archais
yang dianggap sebagai kunci untuk menerangkan segala evolusi, maka sosiologi
hukum genetisnya menjadi dasar dari kesimpulna-kesimpulan yang diperolehnya.
Durkheim dalam
karyanya yang berjudul Division du
Travail Social (1893): masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan
dan jenis-jenis hukum. “Lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap
sebagai suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk
kemasyarakatan) adalah hukum.” Dan sebaliknya, suatu klasifikasi objektif dari
jenis-jenis hukum, suatu klasifikasi yang berlaku bagi penyelidikan sosiologis,
hanya dapat dilaksanakan melalui suatu klasifikasi dari bentuk-bentuk kesetiakawanan;
pada hakikatnya, perbedaan antara hukkum internasional dan hukum privat yang
diakui di kalangan kaum sarjana hukum hanya mengandung tujuan-tujuan praktis
dan hanya menunjukkan hukum yang diberi atau tak diberi hak istimewa oleh
Negara, yang dalam hal ini kecenderungannya sangat berubah-ubah. Hukum privat
sering meliputi pula struktur-struktur hukum yang sangat mirip dengan struktur
yang tersimpul dalam hukum internasional (misalnya, hukum keluarga atau hukum
serikat buruh yang tabiatnya tidak berbeda dari hukum konstitusional). Negara
sendiri tidak berada dalam segala masa dari kehidupan social dan tak pula negara
itu semenjak lahirnya memainkan peranan yang sama. Demikianlah, sosiologi hukum
itu harus membedakan antara jenis-jenis hukum. Klasifikasi pertama yang derlu
diadakan adalah antara hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan karena
perbedaan. Hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis adalah hukum
pidana; yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis ialah hukum keluarga,
kontrak dan dagang, hukum prosedur, hukum admisnistratif dan konstitusionil.
Semua hukum yang dapat dirumuskan sebagai peraturan-peraturan dengan
sanksi-sanksi terorganisasi adalah berlawanan dengan peraturan-peraturan dengan
sanksi-sanksi yang bertebaran (rules with
diffused sanctions) yang menjadi ciri khas dari moralitet. Demikianlah dua
tipe pokok pengaturan hukum, yang parallel dengan dua tipe kesetiakawanan yang
berlawanan dijelmakan dalam dua jenis sanksi-sanksi yang terorganisasi yang
berlain-lainan: hukum yang tibul dari kesetiakawanan yang mekanis diiringi
dengan sanksi-sanksi yang sifatnya mengekang dan hukum yang timbul dari
kesetiakawanan organis diiringi oleh sanksi-sanksi yang sifatnya memulihkan.
Sanksi yang
sifatnya mengekang (represive) adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan
dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk
hukuman mati atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan lain-lain atau
semata-mata berdiri dari pemulihan benda-benda seperti sediakal,
hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadaan yang normal, baik
dengan membatalkannya, yakni menghapuskan segala nilai sosialnya.
Durkheim
mendapatkan bukti bagi adanya persesuaian antara hukum yang mengekang dan
kesetiakawanan mekanis, antara hukum yang memulihkan dan kesetiakawanan organis.
Sesungguhnyalah, sanksi-sanksi represif dan hukum pidana yang mengiringinya
melindungi persamaan-persamaan social yang paling hakiki. Kejahatan yang
dikekang adalah perpecahan dari kesetiakawanan mekanis, suatu penghinaan
terhadap kesadaran kolektif dan terhadap suatu idaman kolektif yang identik
pada semua orang. Semakin berkuasa kesetiakawanan mekanis dalam suatu
masyarakat dan semakin terintegrasinya individu dalam masyarakat yang homogeny
tanpa ada perantaraan apa pun juga maka kaum represif makin pula lebih berkuasa
daripada hukum restitutif (yang bersifat memulihkan). Sebaliknya, sanksi-sanksi
yang bersifat memulihkan melindungi differensiasi masyarakat dalam
fungsi-fungsi yang khusus, dalam kelompok-kelompok kecil, dalam
kegiatan-kegiatan pribadi yang diindividualisasikan. Hukum restitutif menjamin
pembagian bebas kerja social, yang sendirinya merupakan suatu akibat: “diasosiasikan
dengan idaman kolektif yang lebih luwes yang membolehkan pengkhususan”.
Suatu analisis
yang lebih terperinci menyebabkan Durkheim mengadakan tipe-tipe lainnya di
dalam dua tipe utama dari peraturan-peraturan hukum dan bentuk-bentuk
kesetiakawanan ini. Dengan demikian, Durkheim membedakan dua tipe utama dari
peraturan-peraturan hukum dan bentuk-bentuk kesetiakawanan, di dalam hukum
restitutif, Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar
kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusional, dan
lainnya). Selanjutnya ia menyatakan bahwa dalam kontrak itu tak semuanya
bersifat kontrak dan bahwa sering kerja sama kita yang bersifat sukarela
menciptakan kewajiban-kewajiban yang tak diinginkan, yakni ada timbul di bawah
bentuk kontrak hukum yang diundang-undangkan dari berbagai kelompok-kelompok
yang tidak dapat dikembalikan kepada jumlah anggota-anggota atau apa yang
semenjak Durkheim dinamakan actes-regles
(undang-undang yang mengatur) atau “contracts
of adhesion”. Demikian pula, menurut Durkheim kesetiakawanan organisasi
seolah-olah runtuh menjadi apa yang dinamakannya sendiri kesetiakawanan kontrak
atau kesetiakawanan yang membatasi dan kesetiakawanan yang lebih erat dan lebih
positif yang boleh dianggap sebagai kesetiakawanan karena saling masuk memasuki
atau setengah peleburan. Sementara itu, ia berpendapat bahwa hukum restitutif
meliputi pula suatu hukum yang semata-mata bersifat negatif yang sama dengan semata-mata
pengingkaran (seperti hukum yang nyata) yang seolah-olah tidak ada
persesuaiannya dengan tipa kesetiakawanan yang mana pun juga dan hukum kerja
positif, yang satu-satunya melambangkan kesetiakawanan organis yang terpecah
menjadi dua tipe lainnya yang baru tersebut tadi.
Durkheim tetap
berpendapat bahwa makin archis suatu masyarakat makin represif atau mengekang
sifat sanksi-sanksinya yang sangat keras dan dahsyat, semakin tinggi tingkat
perkembangan suatu masyarakat semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga
pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan. Sebaliknya,
Hukum Luh Dua Belas (The Law of the
Twelve Tables) berkenaan dengan masyarakat yang jauh lebih tinggi taraf
perkembangannya dan karena itu berdasarkan sanksi-sanksi yang jauh lebih lunak,
apabila di situ terdapat pembatasan-pembatasan hukuman dengan adanya
sanksi-sanksi yang bersifat pemulihan (restitutif). Dengan membandingkan
kodifikasi pertama dari adat istiadat yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat
Kristen (hukum salik, hukum Gothik Barat dan Burgondia dan lain-lainnya) dengan
hukum Abad Pertengahan dan yang tersebut akhir ini dengan hukum-hukum Zaman
Baru, maka keadaannya adalah sebagai berikut: hukuman-hukuman semakin ringan
dan sanksi-sanksi yang bersifat mengekang menindas (respresif).
Sementara itu
perkembangan parallel dari kontrak (perjanjian) dan negara, reaksi penguasaan
secara progresif dari kesetiakawanan organis, menurut Durkheim mendatangkan
kesamarataan, kemerdekaan dan keadilan di lapangan hukum dan melenyapkan
penguasaan, yang digantikan dengan kerja sama.
Anggota
masyarakat tidak lagi dianggap benda-benda yang dikuasai oleh masyarakat tetapi
sebagai pihak yang bekerja sama dengannya, yang tak dapat diabaikan begitu saja
dan terhadapnya mesyarakat mempunyai kewajiban-kewajiban.
Durkheim percaya
dengan Saint Simon, bahwa negara semakin mengatur dan semakin kurang
memerintah, dan bahwa sahnya fungsi-fungsi administratifnya yang bertambah luas
hanya memerlukan sanksi-sanksi restitutif dan bukan represif. Berubahnya negara menjadi masyarakat
berdasarkan kerja sama dan persamaan, yang menguntungkan perlipat-gandaan
hubungan-hubungan kontraknya dan peneguhan hukum individual, baginya adalah
penjelmaan yang paling jelas dari faedah-faedah kesetiakawanan organis, yang
secara progresif menghapuskan kesetiakawanan yang bersifat mekanis.
Dalam penyelidikan
yang kemudian, Durkheim agak kurang optimis terhadap evolusi hukum. Bahkan
dalam kerjanya Deux lois de l’evolution
penale (1900), ia memisahkan negara dari setiap ikatan yang perlu dengan
kesetiakawanan organis dan menegaskan peranannya yang merdeka sebagai suatu faktor
dalam evolusi hukuman-hukuman selama masih berdasarkan penguasaan.
Dalam kerjanya Suicide (1897) dan dalam kata pendahuluan dari edisi kedua dari
karyanya Division, Durkheim lebih
jauh lagi dalam membetulkan tesis aslinya, dengan menegaskan fakta bahwa
kuatnya kedudukan negara, jauh dari selalu merupakan akibat dari bertambah
intensifnya hubungan social oleh perkembangan kesetiakawanan organis,
sebaliknyadapat merupakan satu akibat dari terlepasnya hubungan social,
disintegrasikan yang menimbulkan penguasaan secara sepihak. Dengan tegasnya ia
menguraikan jurang yang tercipta antara
negara yang dipusatkan kekuasaannya dari abad ke-18 dan abad ke-19 dan masa
warga negara yang tak mempunyai korporasi perantaraan dan yang berubah menjadi debo
atom; ia menganggap jurang ini sebagai salah satu faktor yang menambah jumlah
peristiwa bunuh diri. Ia menunjukkan pula bahwa perkembangan tentara-tentara
modern, bersama dengan disintegrasi kehidupan ekonomi, banyak membatasi
kekuasaan kesetiakawanan organis, satu hal yang menimbulkan situasi sangat
mirip dengan kesetiakawanan mekanis. Karena itu tidak mengherankan bila
pengganti Durkheim yang paling cakap, Marcel Mauss, menuliskan sebagai berikut:
Masalah
ini lebih kompleks lagi. Pertama, dalam beberapa hal tertentu, individualism
telah membawa masyarakat-masyarakat kita sendiri kepada amorfisme yang
sungguh-sungguh. Durkheim sering membicarakan kekosongan yang hampir-hampir
bersifat pathologis antara moralitet dan hukum kita, antara negara dan
keluarga, antara negara dan individu. Ada sesuatu yang bersifat mekanis dalam
gagasan kita tentang persamaan malahan. Sebaliknya, banyak terdapat sifat
organis dalam…….masyarakat-masyarakat archais.
Durkheim
menimbulkan masalah sosiologi hukum diferensial dengan mengadakan suatu
klasifikasi tipe-tipe social yang nilainya berbeda satu sma lainnya dan
menelaah sistem-sistem hukum yang bersesuaian dengan tipie-tipe ini. Sudah tentu di sini ia berundan dengan
tipehukum dari masyarakat-masyarakat yang meliputi segala-galanya, berbeda
dengan mikrososiologi hukum, yang ditelaah dalam Division du Travail, semula ini mengira dapat mengemukakan suatu
tipe dan struktur dari masyarakat yang meliputi segala-galanya (all-inclusive society) yang sama sekali
identik dengan kesetakawanan mekanis dan mempunyai suatu sistem hukum yang
seluruhnya bersesuaian dengan hukum represif: ini adalah “horde” atau
masyarakat yang tak terbagi-bagi. Durkheim menganggap horde itu dapat
menggabungkannya dengan dirinya sendiri dalam melahirkan masyarakat-masyarakat
baru, dan cara-cara yang dengannya masyarakat-masyarakat baru dapat bergabung.
Demikianlah, Durkheim membeda-bedakan tipe masyarakat: (1) Tipe masyarakat
bersahajanya yang berbidang-bidang yang terbentuk dari clan-clan (horde yang
diintegrasikan dengan satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat di antara
bangsa Australia dan Inroquoi; (2) Tipe masyarakat berbidang-bidang yang
tersusun secara sederhana, yang dalamnya terlebur banyak suku, misalnya konfederasi
Iroquoi atau Kabyle; (3) Tipe masyarakat berbidang-bidang yang tersusun rangkap
seperti kota-kota, uni dari konfederasi-konfederasi, suku-suku (misalnya Curiae
Romawi). Dalam masyarkat ini, individu-individu diintegrasikan dalam
kelompok-kelompok, bukan oleh hubungan-hubungan berdasarkan keturunan, tetapi
oleh sifat khusus aktivitet sosial
mereka. Tipe keempat ini ternyata yang terluas dan dilihat dari sudut mutunya
paling berbeda dari yang lain-lainnya; dalam keseluruhannya, tipe ini
bersesuaian dengan setiap masyarakat yang sudah jauh perkembangannya.
Dalam
penyelidikannya terhadap tipe-tipe sosial yang berbeda nilainya dan
sistem-sistem hukum yang bersesuaian dengan itu, Durkheim hendak membebaskan
dirinya dari prasangka-prasangka evolutionisme ekagaris (unilinear
evolutionisme), dengan mendiferensiasikan tipologi hukum dari
masyarakat-masyarakat yang serba meliputi dari sosiologi hukum genetis. Pada
hakikatnya, ia menulis, bahwa jikalau hanya ada satu tipe sosial, masyarakat
dapat berbeda satu sama lain hanya secara lambat-laun. Jikalau sebaliknya ada
tipe-tipe sosial yang berbeda mutunya, tak ada usaha menjajarkannya yang dapat
membuatnya saling bersesuaian secara eksak bagaikan bagian-bagian homogeny dari
suatu garis geometris yang lurus. Demikianlah, pertumbuhan sejarah tidak
memiliki lagi kesatuan yang diidamkan dan bersahaja yang dahulu dianggap
memilikinya; boleh dikatakan, bahwa kesatuan itu pecah dalam fragmen banyak,
yang karena secara khusus berbeda satu sama lain, tak pernah dapat digabungkan
dalam suatu garis yang tak terpututs-putus. Jikalau kita memeriksa lebih cermat
tipe-tipe sosial Durkheim, ternyata bahwa sesungguhnya dalam mikrososiologi
hukumnya ia mampu menhapuskan kekuasaan pertimbangan-pertimbangan genetis, dan
akhirnya,prasangka tentang kelestarian perkembangan yang ekagaris. Pada
hakikatnya di luar dua tipe utamanya yang satu luar biasa luasnya dan yang
lainnya luar biasa pendeknya “masyarakat berbidang-bidang” dan “masyarakat terorganisasi”,
semua tipe lainnya yang diciptakan seluruhnya bersifat kuantitatif (pengumpulan
segmen-segmen) dan tidak kualitatif. Sebagaimana ia katakan sendiri bahwa tipe-tipe itu merupakan suatu hierarki
taraf-taraf perkembangan (a Hierarcy of
phases of development). Dengan demikian
sosiologi hukum yang belum kuat dasarnya, tenggelam dalam
kesimpulan-kesimpulan umum yang tergesa-gesa dari osiologi genetisnya zaman
dahulu, yang kekeliruannya diambil alih oleh Durkheim dalam tipologinya:
identifikasi “yang bersahaja” (atau elementer) dan yang primitif.
Haruslah
ditambahkan bahwa Durkheim, yang sendirinya tak puas dengan klasifikai
tipe-tipe sosialnya yang pertama, yang dianggapnya terlalu bersifat kuantitatif
dan genetis, membuat beberapa pembentulan yang terpokok dalam I’Annee Seciologique (1910, vol XI;
1913, vo XII). Disini ia membedakan: (1) Masyarakat yang tersusun dari klan-klan
totem (tipe Australia); (2) Masyarakat-masyarakat yang didiferensiasikan
berdasarkan klan-klan totem yang untuk sebagian berpengaruh (bangsa Indian
Amerika Utara; di sini diferensiasinya berupa sistem kelas-kelas yang sedikit
banyaknya bercorak agama, orde-orde militer, golongan-golongan paderi, berbagai
alat kekuasaan sosial); (3) Masyarakat-masyarakat kesukuan dari turunan
laki-laki yang dalamnya ada suatu perkembangan kelompok-kelompok sosial
(masyarakat-masyarakat desa) dan pemerintah pusat yang tetap (Negrito, Sudan,
Bantu, dan lainnya); (4) Masyarakat-masyarakat nasional (bangsa-bangsa, yang
dalamnya terdapat berbagai tipe).
Masalah-masalah
sosiologi hukum genetis yang sebenarnya (yakni faktor-faktor yang menguasai
perubahan hukum) memenuhi perhatian Durkheim dalam dua segi: pertama, faktor
morfologis dan khususnya demografis (jumlah dan kepadatan penduduk) dan kedua,
faktor keagamaan atau lebih tepat: pengaruh kepercayaan-kepercayaan akan yang
keramat (termasuk didalamnya pula, menurut Durkheim, Magi lepas dari Agama).
Durkheim melihat adanya hubungan-hubungan antara kedua faktor ini, yang satu
tak langsung karena kepadatan materiil tak dapat dilepaskan dari kepadatan
moril, yang lain bersifat langsung dengan taraf-taraf kesadaran kolektif, yang
ragam-ragamnya ialah dasar perubahan lembaga-lembaga hukum. Menjelang akhir
karier Durkheim, pernyataan ini menyebabkan dia sampai kepada kesimpulan yang
penting bahwa hukum, sebagaimana dengan agama, moral, estetika dan segala
fenomena sosial yang asasi merupakan sistem-sistem nilai-nilai yang timbul dari
cita-cita kolektif. Ragam-ragam dari cita kesadaran kolektif ini merupakan
dasar bagi gerak lembaga-lembaga hukum karena masyarakat tak menciptakan atau
menciptakan kembali dirinya, tanpa sementara itu pula menciptakan suatu cita
dan dengan ecara periodik membuat dan mengubah dirinya sendiri. (Philosophie et Sociologie, 1924; Formes Elementaires de la Cle Religieuse, 1912).
Durkheim
memakaikan pandangan-pandangan umum tentang perkembangan hukum hanya kepada
satu tipe masyarakat: tipe yang tersusun dari klan-klan totem. Pembatasan ini
adalah kekuatan besar dari sosiologi hukum genetisnya, karena sosiologi hukum
ini mungkin, jikalau kita telah mengulanginya berkali-kali, hanya di dalam
suatu rangka kualitatif, karena berbagai faktor perubahan digabungkan di dalam
tiap-tiap tipe dengan cara yang tak beraturan.
Pengaruh perubahan lembaga-lembaga hukum yang
terjadi melalui keanekaragaman kepercayaan pada kesakralan, dibahas oleh
Durkheim hanya dalam hubungannya dengan klan totem dan masyarakat kesukuan.
Karena hukum pada hakikatnya berhubungan erat dengan larangan-larangan agama,
apabila melanggar menimbulkan celaan atau kutukan sosial, maka hukum itu pun
menjadi semakin luwes dan member keleluasaan bagi inisiatif perseorangan,
apabila larangan-larangan magis yang pelanggarannya hanya menimbulkan
akibat-akibat teknis, mulai bersaingan dengan tabu-tabu dan mambatasi kekuasaan
tabu-tabu keagamaan. Kekuasaan “Mana” yang bersifat keagamaan itu
digeneralisasikan, dan akibatnyya ia akan melahirkan agama kesukuan pada satu
pihak dan magi kesukuan pada lain pihak.
Diferensiasi
hukum kolektif dari hukum individual berjalan parallel dengan diferensiasi
antara agama dan magi. Agama bercorak sosial rangkap: berdasarkan isi,
kekeramatan, yang hanya merupakan suatu proyeksi dari keluhuran masyarakat dan
berdasarkan prakteknya, yang selalui bersifat kolektif dan yang mensyaratkan
adanya gereja. Sebaliknya, magi, yang lahir dari agama yang kemudian
bertentangan dengan agama, hanya isinya bersifat sosial, Mana; dalam prakteknya
jauh lebih individualistis dan terpecah-belah. Magi menyebabkan terpisahnya si
juru magi dari kelompok, dengan adanya persetujuan baginya mempergunakan dan
menyalahgunakan Mana berdasarkan kehendak sendiri dan untuk tujuan sendiri.
Hukum kolektif, yang terkait dengan agama, dengan demikian dibatasi oleh hukum
individual, yang ada hubungannya dengan magi. Paul Huvelin, murid Durkheim,
mengembangkan secara luas gagasan ini, sehingga merumuskan magi yang ada
peraturannya terhadap hukum “sebagai penyimpangan kekuasaan yang timbul dari
kekeramatan oleh orang yang mempergunakannya untuk kepentingannya sendiri.”
Dalam mengakhiri
pemaparan sosiologi hukum Durkheim ini haruslah dicatat bahwa penyelidikannya
terhadap faktor agama dan magi dalam masyarakat primitif, Durkheim
mengklasifikasikan dua jenis hukum yakni hukum kolektif dan hukum individual.
Klasifikasi ini tidak secara eksak bersesuaian dengan pertentangan antara hukum
represif dan tipe-tipe hukum lainnya (hukum domestik, hukum kontrak,
konstitusional), yang berdasarkan dua kesetiakawanan; karena teranglah bahwa
beberapa jenis “hukum restitutif” (misalnya, hukum-hukum domestik, dan
konstitusional, hukum prosedur dan
lainnya) menjelma dari “hukum kolektif” dan yang lainnya (misalnya hukum
kontrak) timbul dari “hukum individual”. Catatan-catatan Durkheim yang pertama,
yang telah diadakan perubahan berdasarkan perbedaannya, di dalam hukum
restitutif, antara hukum kontrak dan hukum di luar kontrak, selanjutnya menjadi
ruwet karena dibelit dengan suatu klasifikasi yang berdasarkan satu kriterium
baru.
Kita telah
mencoba mengutarakan betapa banyaknya isi dan luas usaha Durkheim dan sementara
itu mengkritik caranya mempersahajakan mikrososiologi hukum dan tipologi
sehingga merupakan suatu ilmu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan genetis
semata. Setelah dengan kemampuan luar biasa mengemukakan masalah hubungan
antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis hukum. Durkheim terhalang
mencapai hasil-hasil yang definitive karena tiga faktor: klasifikasinya
mengenai bentuk-bentuk hubungan sosial terlalu bersahaja; perhubungan yang
diciptakannya antara hukum dan paksaan yang terorganisasi sangat diragukan
kebenarannya; akhirnya hukum bukanlah lambing dari segala bentuk hubungan
sosial, tetapi hanya lambing dari beberapa bentuk tertentu, yang bersesuaian
dengan kondisi-kondisi yang tepat, karena bentuk-bentuk hubungan sosial
ternyata dapat seteril dilihat dari sudut hukum.
Kesamaan dan
ketidaksamaan jelas maupun tidak jelas, mungkin sekali menunjukkan adanya
pembenaran atau pengingkaran identitas-identitas atau hanya
ekuivalen-ekuivalen, mungkin juga terkadang berhubungan dengan seluruh
subjek-subjek, atau terkadang dengan beberapa aspirasi-aspirasi tertentu,
bahkan terkadang dengan nilai-nilai dan objek-objek yang melaluinya hubungan
diselenggarakan antara subjek-subjek. Akhirnya, kita tidak akan mendapatkan
bentuk-bentuk hubungan sosial atau kesetiakawanan yang tidak sekaligus
tersimpul di dalamnya beberapa persamaan dan perbedaan tertentu. Dalam hubungan
ini, hanya “kesetiakawanan organis” itulah yang nyata, dan disitulah harus
dicari adanya berbagai bentuk hubungan sosial. Durkheim sendiri akhirnya
mengakui kenyataan ini, meski pun ia tidak menarik kesimpulan apa-apa.
Hubungan antara
hukum dan paksaan yang terorganisasi menghapuskan salah satu yang terpenting
dari kenyataan sosial, dan sektor itu teramat penting bagi sosiologi: hukum
yang spontan, dinamis, yang selalu
berubah-ubah, sumber yang member hidup kepada hukum yang terorganisasi,
yang dengannya ia selalu menyimpulkan hukum yang spontan ini, yang menjadi
dasar organisasi. Yang dengannya ia selalu bersengketa. Setiap organisasi yang
bertugas untuk memaksa selalu menyimpulkan hukum yang spontan ini, yang menjadi
dasar organisasi dan semua hukum yang diperlengkapi dengan sanksi-sanksi,
bahkan sanksi-sanksi yang terbagi-bagi (namun, tidak sebagaimana anggapan
Durkheim, tetap merupakan hukum : seperti sanksi-sanksi peraturan-peraturan
yang bersanksikan boikot atau balas dendam berdarah, dan lainnya) akhirnya
berdasarkan suatu hukum yang tidak bersanksi yang menjadi dari sanksi-sanksi
hukum. Jikalau semua hukum itu memang menjamin secara sosial, dan kefektifan
hukum yang sungguh-sungguh dubenarkan oleh reaksi-reaksi yang mengandung
celaan, maka jaminan sosial ini adalah jauh berlainan dari paksaan hukum, yakni
tindakan-tindakan saksama dab ditetapakan
lebih dahulu yang diambil terhadap pelanggar-pelanggar, tidak peduli
apakah paksaan-paksaan itu tersusun atau tersebar. Berdasarkan alas an ini, adalah tidak mungkin untuk membuat suatu tipe paksaan bersesuaian dengan
suatu bentuk hubugan sosial yang tepat, karena struktur hukum itu dapat pula
dibarengi dengan berbagai tipe-tipe paksaan, atau dalam keadaan tertentu tidak
dapat dibarengi oleh apa pun juga. Selain itu, kekerasan paksaan itu tergantung
kepada hubungan antara ikatan sosial yang terorganisasi dan ikatan sosial yang
spontan, suatu hal yang tidak dapat dipertimbangkan oleh Durkheim. Jika yang
tersebut terdahulu terlepas dari yang tersebut kemudian, paksaan-paksaan itu
menjadi ringan seandainya sebaliknya, yang tersebut terdahulu dimasuki oleh yang
tersebut kemudian, paksaan-paksaan itu semakin keras. Selanjutnya
hubungan-hubungan inilah yakni antara
superstruktur yang terorganisasi dan infrastruktur yang spontan, yang dalam
beberapa hal menimbulkan suatu hubungan kerja sama, dan dalam beberapa hal lainnya
menimbulkan hukum penguasaan. Singkatnya, Durkheim melakukan kesalahan ketika
itu, pada satu pihak menyamakan hukum represif, hukum yang bersanksikan paksaan
tidak bersyarat dan hukum penguasaan yang berlawanan denganhukum restitutif dan
pada pihak lain hukum yang bersanksikan paksaan-paksaan bersyarat dan hukum
kerja sama.
Pada hakikatnya,
di mana Durkheim melihat identitas atau persamaan, di sana ada berbagai
kombinasi: hukum kerja sama, misalnya boleh jadi bersifat represif dan
bersanksikan paksaan-paksaan tidak bersyarat; hukum penguasaan yang
bersanksikan sanksi-sanksi yang sifatnya restitutif dan paksaan-paksaan yang
bersyarat (hukum mengenai perusahaan-perusahaan dagang, trust-trust, dan
pabrik-pabrik dewasa ini.
Untuk mengakhiri
kritik, kita catat bahwa Durkheim yang pernah menegasakan peranan kelompok
bawah dalam kehidupan sosial, dalam sosiologi hukumnya sangat sedikit memperhatikan
masalah asasi tipologi hukum dari kelompok-kelompok yang khusus, misalnya sifat
khusus hukum domestik, hukum perserikatan dagang, hukum negara, hukum gereja, dan
lainnya. Hanya dalam msyarakat tardisinal ia benar-benar menunjukkan sengketa
antara kelompok klan berdasarkan ikatan mistik dan kelompok-kelompok
berdasarkan tempat, suatu soal yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Davy
(Davy dan Mornet, Des Clans aux Empires, 1923). Tipologi hukum dari masyarakat
yang mmenyeluruh meminta seluruh perhatian Durkheim. Dalam meninjau masyarakat
yang berkembang, ia tidak mengenalisis masalah pertentangan antara tata tertib
hukum negara (yang demikian ditekankan oleh beberapa perintis osisologi) dan
pada umumnya, ia mengabaikan masalah pluralism hukum. Kenyataan ini sangatlah
mengherankan mengingat perhatiannya yang besar sekali terhadap tumbuhnya
kembali gerakan serikat buruh dan gerakan korporasi yang diperbincangkan dalam
etikanya, yang mengadakan studi yang khusus terhadap moral professional, yang
diterbitkan setelah ia meninggal dunia (Revue
Metaphysique, 1930). Pengabaian analisis permasalahan ini mungkin
dikarenakan beberapa hal: pertama, pentingnya kedudukan sosiologi hukum genetis
dengan sendirinya memusatkan perhatian Durkheim kepada masyarakat yang
menyeluruh dan bukan kepada kelompok-kelompok bawah. Tetapi kenyataannya ialah
bahwa perkembangan yang bertentangan dapat terjadi dalam kelompok-kelompok
bawah: kesetiakawanan organis dan hukum yang bersesuaian dengannya dapat
berkuasa dalam kelompok-kelompok setempat, dan bersamaan dengan itu
kesetiakawanan mekanis dan hukum yang bersesuaian dengannya dapat berkuasa
dalam kelompok-kelompok ekonomi.
Kedua, Durkheim
cenderung kepada monism sosial dan hukum: ia menyusun kelompok-kelompokm
bawahnya dalam suatu hierarki yang rapi, dan kelompok-kelompok professional senantiasa
dibawahkan kepada negara, yang juga
lebih tinggi daripada masyarakat internasional. Pandangan ini sangat
bertentangan dengan relativisme sosiologis, pada hubungannya dengan konsepsinya
tentang kesadaran kolektif yang khas, yang menggantikan penggandaan
kesadaran-kesadaran kolektif yang slaing bertentangan yang kita peroleh dari
dalam kehidupan masyarakat keseluruhan dan bahkan di dalam setiap kelompok yang
khusus. Dari sini kemudian timbul interpretasinya tentang agama dan hukum
kolektif-asas-asas tentang persatuan sosial- dalam masyarakat tradisional
sebagai sumber-sumber magi dan hukum individual, yang hanya merupakan
pengganti-pengganti dari agama dan hukum kolektif.
Sebab terakhir
dari kesukaran-kesukaran yang telah diperhatikan dalam sosiologi Durkheim
ialah: terlalu diutamakannya masalah genetis, terpusatnya perhatian kepada
paksaan-paksaan yang terorganisasi dan tendensi terselubung kearah monism
sosial dan hukum tentulah terletak dalam keragu-raguannya mengenai isi
kerohanian pengalaman hukum. Idealisme keadilan terkadang dianggapnya sebagai
proyeksi-proyeksi sederhana dan hasil-hasil dari subyektivitas kolektif,
terkadang sebagai isi kandungan sui
genetis. Dua konsepsi yang digabungnya dengan menaikkan kesadaran kolektif
ke tingkat roh metafisika. Durkheim dengan jelas melihat keharusan dalam
sosiologi hukum adanya sintesa antara idealisme dan realisme atau lebih tepat
adanya suatu dasar “idealitas realitas”. Sementara itu ia tidak pernah
melepaskan cita atau gagasan untuk menggantikan bahasan sistematis normatif
pola-pola hukum, ia tidak mencapai sintesa yang diinginkan. Dalam
bahasan-bahasannya yang konkret mengenai sosiologi hukum realismenya
mengenyahkan idealismenya yang hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi
hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subjektif: itulah
sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis. Dalam konsepsi-konsepsi
umumnya, sebaliknya “hyperspiritualismenya: yang terpendam membawanya kepada
juridiksi dan moralisasi segala kenyataan sosial
2.
Duguit,
Levy, dan Hauriou
Tiga peletak
sosiologi hukum bangsa Perancis, Leon Duguit (meninggal tahun 1938), Emmanuel
Levy dan Maurice Hauriou (meninggal tahun 1930), sampai pada sosiologi hukum
bukan dari sosiologi tetapi dari ilmu hukum. Sedang dua orang tersebut
terdahulu dapat dianggap sebagai murid-murid Durkheim, maka yang terakhir ini
menganggap sebagai lawannya. Tetapi Hauriou lah yang meneruskan mencari sintesa
antara realisme dan idealism sebagai suatu dasar bagi sosiologi hukum. Sebaliknya,
Duguit menganggap dirinya “realistis dan bukannya naturalistis” dalam
orientasinya, sedang Levy cenderung pada subyektifismenya yang sangat
idealistis.
a.
Leon
Duguit tidak begitu mengindahkan bahasaan sosiologi hukum itu sendiri,
melainkan lebih mementingkan penggunaannya dalam ilmu hukum yakni teknis
sebagai seni dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya hukum
konstitusionil (cf. karyanya Teraite de
Droit Constitutionel, edisi pertama, 1908, edisi kedua 1920-1927, dalam
lima jilid). Bersamaan dengannya, ia terus menerus berbicara tentang suatu
teori hukum sosiologis”. Teori ini hanya dapat mengkompromikan sosiologi hukum,
yang tujuannya sangat berlainan dari filsafat hukum, filsafat hukum sama sekali
tidak dapat menganggap dirinya sebagai penggantinya.
Sebagaimana
halnya Durkheim, maka Duguit pun menghubungkan semua hukum itu dengan
kesetiakawanan de facto, yakni ikatan sosial. Tetapi sebaliknya dari membedakan
berbagai tipe hukum melalui suatu klasifikasi bentuk-bentuk solidaritas, Duguit, setelah mendapatkan bahwa
dalam masyarakat yang beradab, dan hanya ini saja yang menarik perhatiannya, disana
ada kesetiakawanan organis, memusatkan segenap perhatiannya pada hubungan
antara hukum yang timbul dari kesetiakawanan ini (yang dinamakannya “hukum
obyektif”) dan negara. Dengan menyamakan kesetiakawanan dan satuan-satuan
kolektif kelompok-kelompok (makrososiologi dan mikrososiologi), dan dengan
menyebut bangsa dan masyarakat internasional, dalam kedudukannya yang
berlawanan dengan negara, sebagai penjelmaan-penjelmaan kesetiakawanan, Duguit,
mempergunakan ikatan antara hukum dan ikatan sosial untuk membebaskan hukum
positif dari ketergantungannya kepada negara. Untuk menganggap hukum sebagai
suatu fungsi kesetiakawanan berarti baginya mendudukkan masyarakat yang ekstra
statis dan tata tertib hukumnya (hukum obyektif) berlawanan dengan negara, yang
tidak menjelmakan suatu kesetiakawanan, melainkan perhubungan kekuasaan murni
antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan demikian, pada suatu pihak, masalah-masalah
yang berkenaan dengan tipologi hukum dari
kelompok-kelompok yang nyata, dan dianggap sebagai suatu khayalan yang menutupi
suatu hubungan antara tenaga-tenaga mekanis.
b.
Jikalau
Duguit berusaha memutar sintesa sosiologis Durkheim ke arah suatu realisme yang
naturalistis yang radikal hingga sampai pada sensualisme, maka sebaliknya
“Emmanuel Levy” mencoba memberinya orientasi yang semata-mata bersifat
subyektif dan idealistis.
Dematerialisasi
hukum total dari Levy, diartikan sebagai reduksi segala kehidupan hukum menjadi
kepercayaan-kepercayaan saja, adalah berupa suatu interpretasi tentang segala
lembaga-lembaga hukum di bawah aspek-aspek ”kepercayaan, kejujuran, pengharapan”.
Milik, tanggungjawab, kontrak, hukum milik dan transaksi, hukum konstitusionil,
hukum perdata, hukum pidana, semua hukum mempunyai dasar yang sama yakni
bersifat psikologis. Milik hanya dimiliki melalui kejujuran; tanggungjawab yang
timbul dari penyalahgunaan kepercayaan; kontrak, baik yang bersifat individual
maupun kolektif adalah berdasarkan kepercayaan pihak-pihak yang bersangkutan,
dengan bercerminkan kepercayaan kolektif dalam keabsahan atau berlakunya
kontrak tersebut; demikian pula kekuasaan umum pun adalah semata-mata dari
hasil dari kepercayaan kolekyif dalam keabsahan atau berlakunya kontrak
tersebut. Dan Levy bahkan melangkah lebih jauh lagi: kepercayaan, kejujuran dan
pengharapan timbul darinya direduksi menjadi “kepercayaan” belaka. Psikologi
“kepercayan-kepercayaan kolektif menurut ukuran pengarang”, seluruhnya lenyap
ke dalam “horizon kepercayaan” dasar dari kesatuan dari segala lembaga-lembaga
hukum yang dengan cara ini khusus direduksi menjadi hukum transaksi-transaksi.
Demikianlah,
semua hubungan hukum berubah menjadi hubungan-hubungan antara orang-orang yang
menyertai dalam kepercayaan-kepercayaan, pada hakikatnya hubungan-hubungan
bersifat membatasi dan negatif yang di dalamnya tersimpul subyek-subyek yang
terisolir dan bertentangan. Karena gagal mengutarakan masalah bentuk-bentuk
hubungan masyarakat, Levy akhirnya mereduksi semua ikatan masyarakat terhadap
“hubungan-hubungan dengan orang lain (alter, ego), menjadi hubungan-hubungan
yang saling keterkaitan dan saling bersatu: dengan mengabaikan interpenetrasi
dan peleburan sebagian-sebagian dan dengan demikian kembali kepada
konsepsi-konsepsi tradisional individualistis.
c.
Sosisologi
hukum Hauriou yang mengutamakan analisis terhadap lapisan-lapisan keseimbangan
yang merupakan “lembaga”, yakni: kenyataan sosial hukum, pada suatu pihak tertuju
,kepada masalah-masalah sistematis (sengketa-sengketa dan kompromi-kompromi
antara hukum spontan yang dinamis dan bukan terorganisasi yang kaku, tatatertib
hukum masyarakat, dan tata tertib hukum dari negara), pada pihak lain tertuju
masalah-masalah yang berkenaan dengan tipologi hukum dari kelompok-kelompok,
yang sayang sekali tidak dibedakan dari mikrososiologi hukum. Diantara berbagai
karya Hauriou, yang paling langsung berkenaan dengan sosiologi hukum ialah Science Sociale Traditionelle (1986), I’Institutions et le Droit Statutaire
(1906). Principles de Droit Public
(cetakan pertama, 1910, cetakan kedua yang mengalami perubahan, 1916), La Souverainete Nationale (1912), La Theorie de I’Institution et de la
Fondation (1925, dalam Cahiers de la
Nouvelle Journee). Karyanya Precis de
Droit Constitutionel (edisi pertama 1923, edisi kedua 1928) sebaliknya
lebih bersifat teknis. Selain itu, karya-karyanya yang diterbitkan setelah
tahun 1916 yang meninggalkan relativisme sosiologis dan langsung bertentangan
dengan sumbangan-sumbangan buah pikirannya yang paling bernilai, memperlihatkan
tanda-tanda hendak kembali kepada konsepsi-konsepsi Thomistis (hierarki yang
stabil antara kelompok-kelompok, berkuasanya negara secara a priori, gagasan tentang ‘peletak
dasar perseorangan” dari lembaga-lembaga). Karena kita hanya prihatin semata-mata
pada sosiologi hukum, maka kita boleh mengabaikan kemunduran-kemunduran
dogmatis dalam karya-karyanya yang kemudian.
3.
Max
Weber dan Eugene Ehrlich
Meskipun sosiologi hukum Max Weber
(meninggal duni tahun 1922), yang ditawarkannya dalam bab VII pada bagian
ke-dua dari Witrsschaft und
Gessellschaft, telah diterbitkan bertahun-tahun kemudian dari karya-karya
sarjana Austria, Eugene Ehrlich (yang meninggal pada tahun 1923), namun
konspsi-konsepsi Ehrlich bolehlh dianggap sebagaai suatu jawaban pendahuluan
terhadap kecenderungan Weber untuk membawakan sosiologi hukum kepada sistemasi
ilmu-ilmu hukum yang dogmatis dan konstruktif. Pada hakikatnya, sebagaimana
kita sebutkan dalam kata pengantar, semua sosiologi hukum, menurut Weber
direduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan atau “kesempatan” dari kekuatan social, menurut suatu system yang koheren
dari aturan-aturan yang diselanggarakan oleh ahli hukum bagi suatu tipe
masyarakat tertentu. Sumbangan Weber kepada tipologi hukum
masyarakat-masyarakat secara menyeluruh, yang diselinggarakan dibawah bimbingan
asas-asas ini, hendak kita pakai dalam pengutaraan kita secara sitematis dari
masalah-masalah sosiologi hukum diferensial. Pendekatan Weber terhadap
penggunaan metode pemahaman secara interpretative dalam arti-arti bathin
perbuatan-perbuatan untuk sosiologi, suatu metode yang bermanfaat bagi
perdamaian dan kerja saam antara sosiologi hukum dan filsafat hukum, telah
dianalisa dalam Kata Pengantar.
Dalam
tiga karyanya yang terutama, Beitage zur
Theorie der Rechtsqellen (1902), Grundlegung der Sozioligie des Rechts
(jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die
Juristische Logik (1919), Ehrlich menyelanggarakan dua tugas. Pertama, ia
hendak menujukkan bahwa apa yang dinamakan “Ilmu
hukum” yang diselenggrakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata adalah
suatu “teknik” yang bersifat relatiif
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis dan sementara waktul dan
berkat sistematisasi khyali, tidak mampu memahami apapun, kecuali kulit yang
paling luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam sega;a tingkat kedalamannya.
Tetapi lebih daripada Hauriou, pluralism vertical akhirnya menguhubungkan
masalah difernsiasi peraturan hukum semata-mata
dengan lapisan-lapisan kedalaman, seolah olah setiap jenis hukum tidal
mempunyai lapisan-lapisannya sendiri yang terletak diatasnya.
Kenyataan
bahwa “ilmu” hukum dogmatis-normatif bukanlah suatu
ilmu melainkan semata-mata suatu teknik untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilan
yang bersifat temporer, menjadi sangat jelas apabila diketuhi bahwa asa-asas
yang biasanya dianggap bersumber pada “logika
hukum” yang tidak berubah-ubah, sesungguhnya hanyalah penyesuaian kepada
keadaan-keadaan kesejarahan yang sangat konkret. Demikianlah tiga “postulat”
dari “apa yang dinamakan logika hukum”,
yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan logika yang sebenarnya.
Yakni : pertama, kebebasan bagi hakim. Yang terikat oleh dalil-dalil yang
ditetapkan terlebih dahulu; kedua, tergantung segala hukum kepada Negara;
ketiga, “keastuan hukum”, yag
disamakan dengan keruntuhan sistematis hukum dari dalil-dalil hukum.
“Tata tertib masyarakat yang
damai dan spontan” ditetapkan sebagai suatu
persilangan dar berbagai tata tertib hukum dari kelompok-kelompok khusus,
istimewa dari Negara. Di sisi Ehrlich mendakati masalah-masalah tipologi hukum
dari penglompokan-pengelompokan khusus. Tetapi ia tidak mencari analisanya,
karena semata-mata memusatkan perhatiannya kepada pembahasan lapisan-lapisan
kedalam dari masyarakat yang menyeluruh. Ia hanya memberi suatu sifat secara
umum. Tata tertib dalam kelompok-kelompok bukan saja merupakan bentuk dan
kesejahtraan utama dari segala hukum, tetapi juga tata tertib ini sekarang dan
selamanya merupakan dasar yang asasi. Sekarang dan selamanya, kekuatan hukum
tergantung tindakan diam-diam dari perserikatan-persrikatan yang mengikat
dan,menghimpun individu.
Menurut
Ehrlich, diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai
keputusan-keputusan jika terjadi silang
sengketa di atas tata tertib masyarakat yang damai dan spontan, dan
diletakkannya dalil-dalil hukum yang
abstrak du atas peraturan-peraturan ini, dan juga perubahan-perubahan dalam
hubungan-hubungan diantara ketiga lapisan dari kenyataan hukum, haruslah
dijelaskan secara sosiologis. Peraturan-peraturan untuk mengambil
keputusan-keputusan menyimpulkan adanya sengketa-sengketa antara kelompok dan
individu-individu, yang ada pembatasan kepentingan-kepentingan dan
kompetensinya. Di sini kita lebih banyak
memprihatinkan dengan soal perang daripada soal perdamaian, dengan subjek-subjek
kolektif atau individu yang saling berhadap-hadapan sebagai kesuatuan-kesatuan
yang putus hubungannya.
Diletakkanya
dalil-dalil hukum abstrak di atas peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan
(yang tidak langsung bersesuaian dengan terbentuknya Negara, yang begitu timbul
tak lama antaranya turut campur tangan
dalaam kehidupan hukum), berarti ada kebutuhan sebanyak-banyaknya akan kemantapan hukum dan berlakunya hukum di
mana-mana. Kebutuhan ini misalnya ternyata dalam perjuangan Negara territorial melawan
feodalisme dan perkembangan kapitalisme
modern berdasarkan rasionalisme yang diperkuat, yang menyatakan bahwa
segala-khekususan peraturan-peraturan yang kongkret itu berasal darisatu asas. Sudah
barang tentu, kemantapan, persatuan dan keumuman dan memungkinkan adanya
berbagai nuansa dan derajat, dan hanya mencapai hasil-hasil yang sangat tidak
memadai; demikianlah, maka peranan dalil-dalil hukum abstrak dan peranan Negara
yang merumuskannya tidak sama dalam berbagai masyarakat dan zaman. Menurut
Ehrlich, kita hidup dalam suatu zaman, yang didalamnya peranan ini cenderung
semakin berkurang.
Kekuragan
hakiki dalam sosiologi hukum Ehrlich, suatu kekurangan yang sangat menarik
perhatian dan banyak pengaruhnya di Amerika Serikat ialah ketiadaannya
perhatian terhadap bentuk-bentuk kemasyarakatan dan tipe-tipe hukum
pengelompokan. Pluralism sosiologis dan pluralism hukum Ehrlich sifatnya adalah semata-mata vertikal.
Hal ini menyebabkan ia mencampuradukkan dengan istilah (gesellschaftrsecht) serangkaian jenis hukum, dan pencampuadukkan
ini diulangi lagiu terhadap aturan-aturan untuk mengambil keputusan mdan
dalil-dalil abstrak. Tiadanya mikrososiologi dan tipologi hukum
pengelompokan-pengelompokan telah menyebabkan adanya konsepsi yang sangat
monistis pada Ehrlich. Selain itu, hukum masyarakat dengan sengaja dipermiskin
dengan hanya dibatasi semata-mata pada lingkungan yang spontan, seolah-olah
tidak memiliki dalil abstraknya sendiri dalam undang-undang otonom dari
kelompok-kelompok, dan tidak memiliki peraturan-peraturan untuk mengambil
keputusan yang diselenggarakan untuk kelancaran badan-badan arbitrasi dan
badan-badam sejenisnya.
Setelah
menolak adanya pertentangan antara hukum yang berkenaan dengan “kita” dan hukum yang berkenaan dengan
orang lain (saya, engkau, mereka).
Maka pertentangan ini muncul kembali dalam bentuk-bentuk peraturan-peraturan
untuk mengambil keputusan jika ada sengketa, yang berbeda dengan tata tertib
dalam masyarakat damai. Tetapi identifikasi jenis-jenis hukum dengan
lapisan-lapisan ke dalamnya ternyata dibuat-buat dan tidak begitu berhasil.
Memang, identifikasi ini mengabaiakan kenyataan bahwa setiap jenis hukum
memiliki lapisan-lapisan sendiri, dan bahwa
pengadilan-pengadilan hanya berkepentingan dengan tata tertib dalam yang
damai dari kelompok-kelompok antar perseorangan. Yang tersebut terakhir ini
mempunyai sendiri dasar kelembagaan dan bersifat spontan. Daripada menelaah
saling persilangan lapisan-lapisan kedalaman dari kenyataan hukum, dengan
jenis-jenis hukum yang dibagi-bagi menurut bentuk-bentuk kemasyarakatan, dan
dengan kerangka yang dibedakan menurut tipe-tipe kelompok, ehrlich mengadakan
paralelisme serta identifikasi tiruan. Dengan demikian ia terlalu
menggampangkan jaringan kehidupan hukum yang begitu kompleks. Tidak perlu
disangsikan lagi bahwa ketiadaan perhatian kepada unsur-unsur kerohanian
kehidupan sosial dan hukum, yakni pola-pola kelembagaan, nilai-nilai dan
gagasan-gagasan yang mengilhami kelakuan kolektif (khusunya berbagai segi dari
cita-cita keadilan), singkatnya, positivismenya yang berkelebihan menyebabkan
ia menyeragamkan subjek sosiologi hukum. Ini pulalah yang merupakan sebab
mengapa ia tidak sampai kepada sesuatu defenisi yang tepat tentang hukum,
dengan membedakannya dari peraturan-peraturan moral, keagamaan, estetika dan
pendidikan. Kegagalan diferensisasi yang
mestinya ada ini, tak dihubugkan dengan penemuan-penemuannya yang asasi
dilapangan sosiologi hukum, melainkan hanya dengan prasangka filsafat telah
mengkompromikan beberapa diantara kesimpulan-kesimpulannya yang penting.
Di Amerika
4.
O.
W. Holmes
Fase
persiapannya berkaitan erat dengan nama Hakim Holmes, salah satu seorang
sahabat karib dari filosof besar Amerika, William James. Dalam bukunya Common Law (1881), dan lagi dalam
serangkaian bahasan-bahasan yang penting (yang terutama sekali ialah The Path
of the Law, 1897, dicetak ulang dalam Collected Legal Paper, 1921), holmes
sudah member isyarat yang disebut dengan tepatnya oleh Professor Aroson “ravolusi sosiologi dalam ilmu hukum” di
Amerika. Sambil menolak dengan tegasnya
baik mazhab analitis maupun mashab historis, Holmes menekankan perlunya bagi
sarjana hukum untuk yang berkaitan dengan pekerjaannya memberikan perhatian
kepada penelaahan-penelaahan yang obyektif dan empiris dari kenyataan sosial
yang aktuil, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial, khususnya
sosiologi. “Jika obyeknya adalah hukum, maka jalan menuju antropologi telah
diratakan, juga jalan menuju politik ekonomi, teori tentang perundang-undangan,
etika”. “Adalah betul-betul serasi untuk menganggap dan membahas hukum
semata-mata sebagai suatu dokumen antropologis yang besar. Bahasan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan demikian menjadi ilmu dalam arti yang
sebenar-benarnya”. “Ilmu dalam arti yang sebenar-benarnya yang daripadanya
lahir ilmu hukum yang logis yang akan mendapatkan postulat-postulat dan
gambaran mengenai perundang-undangannya”, dan yang tidak dapat lain dari
sosiologi, walaupun tidak hanya terbatas pada pembahasan kelakuan lahiriah. “Adalah
layak sekali mempergunakannya untuk mengetahui cita-cita apa dari masyarakat
yang cupuk kuat untuk mencapai bentuk pernyataan terakhir (yakni hukum) dari
apa yang telah menjadi perubahan-perubahan dalam idaman-idaman yang berkuasa
dari abad ke abad”. Demikianlah, maka “bahasan ilmiah mrofologi dan
perubahan-perubahan gagasan-gagasan manusia pada akhirnya menjadi hukum”
memasuki lapangan studi sosiologi dari yang tersebut terakhir itu. Dan bagaimana mungkin tidak, jika syarat
pertama bagi suatu rangka hukum yang logis ialah bahwa rangka itu bersesuaian
dengan perasaan dan permintaan yang nyata dari masyarakat”, dan jikalau “pertimbangan-pertimbangan
yang sehat jarang disebut oleh hakim-hakim yakni peraturan rahasia, yang
darinya hukum mendapat segala zat kehidupannya. Yang saya maksud ialah pertimbangan-pertimbangan dari apa yang
berguna bagi kepentingan masyarakat”. “Kita hidup dengan lambang-lambang dan
apa yang harus dilambangkan oleh tiap-tiap gambaran yang tepat bergantung
kepada akal budi orang yang melihatnya”. “Hukum merupakan
kepercayaan-kepercayaan yang telah mencapai kemenangan dalam pertempuran antara
gagasan-gagasan dan kemudian mengalihkannya ke dalam perbuatan”. Setelah
memperhatikan kutipan-kutipan ini adalah menjadi kesangsian mengenai arti yang
pasti dari perkataan Holmes: “Kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika,
malainkan merupakan pengalaman”, yakni pengalaman yang isinya harus dilukiskan
oleh sosiologi hukum. Pengalaman ini tidak hanya melingkupi peristiwa-peristiwa
pengalaman data dan bukunya kelakuan saja, tetapi juga lambang-lambang serta
artu-arti kerohanian yang mengilhami kelakuan-kelakuan sosial.
Tetapi apakah
sebabnya maka gagasan-gagasan Holmes mengilhami bukan saja pakar-pakar “ilmu
sosiologi hukum”, [Sociological
Jurisprudensi] (Pound, Cardozo, Brandeis, Frankfurther, dan lain-laian),
tetapi juga pembela-pembela “realisme hukum”, yang berpegang teguh kepada
penggambaran semata-mata dari “kelakuan-kelakuan yang diakui, apa yang
dilakukan oleh hakim-hakim” dan diputuskan oleh mereka dalam setiap perkara
yang konkret, dan bahwa seorang filsuf yang merasa berkewajiban menuding Holmes
menyerah kepada godaan tersebut. Tiga unsure dalam pikiran Holmes mendorongnya
ke suatu jurusan yang bertentangan dengan inspirasinya utamanya. Pertama,
definisinya bukan saja tentang ilmu hukum yurisprudensi, tetapi tentang hukum
itu sendiri sebagai “ramalan tentang apa yang dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan”, membatasi proglamnya yang luas dari sosiologi hukum
dengan memusatkan perhatiannya kepada penggambaran satu lapisan ke dalaman dari
kenyataan hukum saja, yang berhubungan dengan kegiatan pengadilan-pengadilan.
Di lain pihak, ketegasannya tentang kebebasan hukum dari sesuatu credo
moralitet, karena konsepsinya yang semata-mata teknis dan interpretasinya
tentang moral yang bersifat individualistis, memungkinkan orang salah menilai
pendirian Holmes. Mengenai hal ini Holmes memajukan sanggahan, tetapi sia-sia
belaka. Akhirnya, penyamaan hukum dan yurisprudensi, di mana yang tersebut
terakhir ini dianggap semata-mata sebagai penggeneralisasian dari yang
dikemukakan sebelumnya, menyebabkan tidak adanya kejelasan hubungan-hubungan
antara ilmu hukum dan sosiologi hukum,
yang mana ia berkecenderungan menyamakan yang satu dengan yang lainnya. Karena
mengakibatkan ilmu hukum, sebagai suatu seni, menjadi suatu ilmu deskriptif
dalam arti yang sempit, Holmes agak terpaksa merubah ilmu sosiologi menjadi
suatu seni, sambil berusaha melenyapkan tujuan-tujuan ilmu hukum yang efektif
sebagai seni.
Kesukaran-kesukaran
yang tergandung didalamnya, yang sedikit banyak merupakan karakteristik utama
dari seluruh perkembangan sosiologi hukum di Amerika Serikat, namun telah
menjadi sangat ringan berkat kecermatan yang luar biasa serta keluwesan
berpikir Holmes dan khususnya oleh konsepsinya bahwa pengadilan-pengadilan itu
sendiri memperlakukan kespontanan hukum dari masyarakat, yang memojokkan
dirinya sendiri didalamnya.
5.
Roscoe
Pound
Sosiologi
hukum di AS telah menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan meluas,
berkat penemuan ilmiah Roscoe Pound, pakar tiada tandingannya dari mazhab “ilmu hukum sosiologis yurispundensi.
Pikiran Pound dibentuk dari hasil pertentangan secara terus-menerus dari
masalah-masalah sosiologis (masalah-masalah pengawasan sosial dan kepentingan
sosial), masalah-masalah filsafat (pragmatisme serta teori eksperimental
tentang nilai-nilai), masalah-masalah sejarah hukum (berbagai sifat kemantapan
dan keluwesan dalam tipe-tipe sitem hukum), dan akhirnya masalah-masalah sifat
pekerjaan pengadilan-pengadilan Amerika (unsur kebijaksanaan administrattif
dalam proses pengadilan. Banyaknya titik perhatian serta titik tolak membantu
Pound untuk memperluas dan memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari
sosiologi hukum dan lambat laun berbagai aspeknya.
Dalam
program yang terdahulu bagi ilmu ini (yakni ilmu hukum sosiologis), meskipun
pemandangan sangat luas, Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis: (1)
Menelaah “akibat-akibat sosial yang
actual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum”, dan
karenanya, “lebih memandang kepada
kerjanya hukum daripada isi abstraknya”; (2) mengajukan “studi sosiologis berkenaan dengannya studi
hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan”, dank arena itu menganggap “hukum sebagai suatu lembaga sosial yang
dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara
terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha sedemikian itu”; (3) untuk
menciptakan “efektifitas studi tentang
cara-cara peratuaran-peraturan” dan memberi tekanan kepada “tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai
oleh hukum dan bukannya kepada sanksi”; (4) studi “sejarah hukum sosiologis”, yakni tentang “akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan
bagaimana cara menhasilkannya”; (5) “membela
apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan “mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus
dianggap sebagai petunjuk-petunjuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi
masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat
berubah”; (6) “akhirnya, tujuan yang
hendak dicapai oleh apa yang tersebut di atas ialah agar lebih efektifnya usaha
untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. Tidak dapat
disangka lagi, bahwa hanya dua dari enam pasal dari program itu yang ada
hubungannya dengan penilaian-penilaian teoritis
mengenai kenyataan : sosial hukum : “bahasan tentang akibat sosial hukum”
dan “bahasan sosiologis tentang sejarah hukum”.
Orientasi
orisinal sosiologi hukum Pound kea rah tujuan-tujuan yang praktis ini, selain
itu, telah di atasi oleh serangkaian karya-karya itama pound yang terpenting.
Di dalam karya-karyanya ini secara tegas diperlihatkan kenisbian sosiologis
dari teknik-teknik hukum, kategori-kategori hukum dan konsep-konsep hukum. Ia
melukiskan kenisbian ini dengan menunjuk kepada tipe-tipe masyarakat yang
menyeluruh dan kepada kekhususan tradisi-tradisi kebudayaannya. Demikianlah ia
memberi suatu analisis sosiologis mengenai tipe-tipe hukum adat Inggris dan
Amerika yang sekarang menjadi klasik. Ia mengemukakan perubahan-perubahan dalam
konsep-konsep hukum sendiri, sebagai fungsi tipe-tipe masyarakat dan
sistem-sistem hukum yang berseuaian. Ia melukiskan berbagai teori mengenai
saling hubungan antara hukum dan moral sebagai fungsi tipe-tipe sosial. Bahkan
ia melangkah lebih lanjut lagi dalam mengemukakan masalah dasar-dasar
sosiologis dari pengetahuan tentang hukum. Bersamaan dengan itu, Pound
mengadakan suatu bahasan tentang perubahan-perubahan yang merupakan kenyataan
dari hukum, sejajar dengan Leon Duguit, meskipun tidak begitu dogmatis.
Demikianlah ia telah mengembangkan sosiologi hukum genetis sebagaimana yang
diperaktekkan pada tipe masyarakat dewasa ini.
Berbagai
defenisi hukum dan berbagai filasat hukum “pada tingkat pertama adalah suatu
usaha untuk menerangkan secara rasional hukum masa dan tempat atau beberaoa
unsur di dalamnya yang tepat dan khas. Teori-teori ini dengan sendirinya
mencerminkan lembaga-lembaga yang direncanakan untuk dirasionilkan meskipun
dinyatakan secara umum”. Sekarang ini, emprisme pengadilan dan akal hukuk akan
menciptakan sistem yang dapat dilaksanakan melalui garis-garis baru, tetapi
pada umumnya kita dapat melihat bahwa hukum dan defenisi-defenisi hukum serta
teori-teori adalah pengakuan dan pemenuhan secara terus menerus dan makin luas
dari kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan atau hasrat-hasrat manusia
melalui pengawasan sosial (hukum) dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Hubungan-hubungan yang konkret antara hukum dan moral, yang selalu terpaut satu
sama lainnya walaupun kemesraan hubungan itu selalu berlain-lainan, sebagaimana
halnya dengan kedudukan mereka terhadap satu sama lain dalam sistem pengawasan
sosial adalah bergantuk kepada tipe-tipe masyarakat dan kepercayaan-kepercayaan
moral yang bersesuaian dengan itu.
Berbagai
interpretasi dari sejarah (yang bersifat etika keagamaan, etologis, ekonomis,
pragmatis, dll) dengan sendirinya telah ditetapkan oleh situasi-situasi konkret
dari suatu tipe masyarakat (interpretion
of legal history, passim). Perubahan-perubahan sistem hukum kita yang
actual adalah sebagai berikut:
(1) Pembatasan
dari penggunaan kekayaan; (2) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan
perjanjian-perjanjian; (3) Pembatasan-pemabatasan terhadap kekuasaan memiliki
kekayaan; (4) Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan editor atau pihak yang
dirugukan untuk menjamin kepuasaannya; (5) Perubahan cita atau gagasan
pertanggungjawaban dalam arti adanya dasar yang lebih obyektif; (6)
Keputusan-keputusan pengadilan mengenai kepentingan-kepentingan masyarakat,
dengan membatasi peraturan-peraturan umum untuk lebih mengutamakan
pedoman-pedoman luwes dan kebijaksanaan; (7) Dana-dana umum hendaknya diadakan
untuk mengganti kerugian kepada individu-individu yang diugikan oleh alat-alat
kekuasaan Negara; (8) Perlindungan kepada anggota-anggota rumah tangga yang
hidupnya masih bergantung pada keluarganya.
Semua
perubahan ini adalah “jalan ke arah sosialisasi hukum yang aktual”. (The Spirit of the Common Law, Hal.
185-92).
Dengan
demikian kita dapat mendapat suatu pengertian yang mendalam tentang tipologi
hukum dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh serta sosiologi hukum genetis,
Dean Roscoe memberi sumbangan kepada masalah-masalah sosiologi hukum
sistematis. Dengan melalui jalan-jalan lain berbeda dari yang ditempuh oleh Hauriou dan Ehrlich, ia sampai pada
pengetahuna tentang adanya berbagai lapisan kedalaman (levels of depth) yang
terdapat pada kenyataan sosial hukum. Ia mengadakan pembedaan antara (a)
penyelenggaraan keadilan atau proses
pengadilan, (b) hukum, (c) tata tertib hukum dan (d) nilai-nilai hukum, “unsur yang dicita-citakan hukum”(the ideal
element of law). Ia telah mengemukakan bahwa “dalam hukum itu sendiri,
tingkat peraturan-peraturan (hukum kaku)
“ adalah lain dari tingkat asas-asas, konsepsi-konsepsi, dan pedoman-pedoman (hukum luwes) atau akhirnya, hukum
kebijaksanaan berdasarkan intuisi.
Dalam
serangkaian karya-karyanya, yang terbit kemudian, Pound telah menadaskan dengan
keberanian yang luar biasa pada kenyataan-kenyataan bahwa kenyataan sosial,
khususnya kenyataan sosial dari hukum, telah diresapi oleh “unsur-unsur yang diidam-idamkan”, “nilai-nilai
kerihanian”. Demikianlah, sosiologi hukum baginya tidak mungkin terkecuali
sebagai satu bagian dari apa yang kita usulkan agar dinamakan sosiologi jiwa
manusia atau akal budi intelaktual (Sociology
of the noetic mind). Karena, menurut Pound, dalam kenyataaan sosial dari
hukum ada tergabung “kegunaan sosial”
dan “unsur-unsur yang diidam-idamkan”,
“kebuthan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan penertiban sosial” serta
nilai-nilai kerohanian, maka ia bersama dengan Hauriou sampai pada suatu
konsepsi hukum yang bersifat ideal-realistis.
Suatu sintessa antara idealisme dan pragmatisme di sini telah menolong dan
membimbimgnya melihat nilai-nilai hukum dalam pengkhususannya yang konkret dan
hubungan-hubungan fungsionalnya dengan struktur-struktur dan situasi-situasi
sosial.
Meskipun
ada sara-saran sosiologis yang demikian banyaknya, dan keuletan orientasinya
yang bersifat fungsionalistis, relativistis dan ideal-realistis, kelihatannya
Pound – di dalam hal ia senansib dengan Hauriou – tidak sampai kepada suatu
defenisi yang seteliti-telitinya tentang tujuan-tujuan dan metode-metode
sosiologi hukum. Pertama dalam semua karyanya ia selalu setia kepada
mempersamakan (identification) sosiologi hukum dengan ilmu hukum atau
yuripundensi, yakni sebagai seni atau teknik hukum. Sekarang ilmu hukum yang
beriorentasikan sosiologi (“sociological
yurispundensi”) tetap merupakan kesenian, yang terikat kepada keadaan
khusus tertentu, suatu sistem hukum tertentu. Pound memang benar-benar
memperhatikan kenyataan ini dan juga sifat telelogis yang sudah semestinya dari
segi ilmu hukum, lebih-lebih lagi “sociological
yuripundensi”. Tetepi sebaliknya daripada memisahkan secara tegas sosiologi hukum, sebagai ilmu yang berdasarkan
penilaian terhadap kenyataan, harus bebas dari segala pendapat dan tujuan-tujuan
ilmu hukum, maka Pound memberi tujuan-tujuan yang praktis terhadap sosiologi
hukum itu sendiri dan dengan demikian membuatnya teologis juga. Berlawanan
denga Durkheim dan Weber (yang teristimewa menjernihkan masalah ini), Pound
tidak sadar bahwa orang dapat memiliki perhatian dengan nilai-nilai yang
menjelma dalam fakta-fakta yang special dan tetap tak menyatakan baik
buruknya. Akibat dari caranya berpikir
itu adalah suatu pertentangan antara keadilan dan “tata tertib sosial” (keamanan, kemantapan), dan yang tersebut
belakang ini mendapat corak suatu asas yang mutlak, tidak relatif, suatu “tata tertib” yang istimewa monistis.
Dari semua ini timbul suatu tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan
secara langsung mengancam pendrian metode dalam sosiologi hukum. Jika kita
tambahkan pada kecendrungan Pound untuk mencari media terbaik antara dua eksterem
(keadilan dan tata tertib, akal dan pengalaman, ketidakpastian dan keamanan),
dengan sekasama mengikuti jejak Aristoteles agar mendapatkan suatu persesuaian
yang selaras dan mantap antara antinomy-antinomi yang tidak dapat direduksikan
lagi, maka kita dapat membayangkan bahaya yang mengancam sosiologi hukum Pound,
karena metodenya ini. Sebagai akibat dari orientasi teleologisnya ini dapatlah
dicatat penolakan Pound untuk menaggalkan kepercayaan kepada harus adanya
Negara terlebih dahulu, dan keunggulan a
priori negara atas kelompok-kelompok lainnya. Hal ini telah menjadi
sedemikian rupa, sehingga ia menyamakan “tata
tertib hukum” dengan tata tertib Negara, meskipun Negara yang berhadap, dan
lebih umum lagi, sosiologi hukumnya tidak cukup memperhatikan pengelompokan,
kecuali dalam formula “kepentingan-kepentingan
sosial”, yang harus diselaraskan dan diseimbangkan oleh tata tertib yang
istimewa ini. Ia melupakan fakta, bahwa setiap kelompok mempunyai tata
tertibnya sendiri, kerangka hukum dan nilai-nilai hukumnya sendiri dan juga
fakta bahwa hubungan-hubungan antara tata tertib ini adalah terus menerus
berubah-ubah menurut tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh, yang terhadapnya
negara sendiri hanyalah merupakan suatu kelompok yang khusus dan suatu tata tertib yang khusus pula.
Konsepsi ini malah membuat dia tidak dapat menciptakan masalah-masalah
mikrososiologi hukum dan tipologi hukum diferensial dari
pengelompokan-pengelompokan khusus. Bahkan apabila Pound berusaha mengatasi
pandangan ini, namun ia kembali langsung kepadanya lagi dengan menyatakan
keunggulan negara secara a priori. Di sinilah kita sampai pada batas-batas
relativisme dan titik tujuan fungsionil, yang merusak sosiologi hukum Roscoe
Pound yang sesungguhnya tajam dan kaya.
6.
Benjamin
Cardozo
Seperti
halnya dengan sosiologi hukum Holmes dan Pound, maka sosiologi hukum hakim
Cardozo ini bertolak dari perenungan tentang perlunya mempengaruhi teknik hukum
yang actual dengan menutup jurang antara teknik hukum itu dan kenyataan hukum
yang hidup dewasa ini. Seperti mereka, bahkan labih-lebih lagi, perhatiannya
pertama-tama dipusatkan kepada aktivitas-aktivitas pengadilan-pengadilan. Karya
pertamanya, yang diberi judul The Nature
of judicial Process (1921, edisi ke-8, 1932), bertujuan untuk menunjukkan bahwa
“ketidaktetapan yang semakin bertambah
oleh keputusan pengadilan” adalah suatu manifestasi yang tidak dapat
dicegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan “bukanlah penemuan, melainkan penciptaan”, penciptaan yang
diperhebat oleh situasi sesungguhnya dari kehidupan hukum. Situasi ini terdiri
dari atas kenyataan “bahwa untuk setiap
tendensi kelihatannya orang harus mencari tendensi lawan, dan bagi setiap
peraturan harus dicarikan lawannya pula”. Lawan-lawan (antoinomes) ini
dihadapkan kepada pengadilan-pengadilan, bukan saja karena jurang-jurang serta
kekosongan-kekosongan dalam peraturan-peraturan hukum, bukan saja karena
kenyataan “bahwa hanya sedikit peraturan, yang ada terutama postulat-postulat
pemikiran secara yuridis, dan dibaliknya lagi ialah kebiasaan kehidupan,
lembaga-lembaga masyarakat itu sendiri. Karena, “dibalik preseden-preseden
adalah konsepsi-konsepsi hukum dasar, yang merupakan sumber konsepsi-konsepsi
dan yang dengan suatu proses saling mempengaruhi, mereka telah kembali
mengubahnya. Demikianlah maka sosiologi hukum saja, dengan mencari “hukum yang
hidup” sebagai sumbernya dalam kehidupan masyarakat sendiri, akan dapat
menerangkan kesukara-kesukaran yang sungguh-sungguh harus dihadapi oleh para
hakim. Hal ini lebih nyata, kerana kebebasan hakim untuk menjatuhkan
keputusan-keputusan secara kreatif sangat dibatasi oleh peraturan-peraturan dan
undang-undang, “pedoman resmi tentang
pola tingkah laku yang baik” yang “dijelmakan dalam adat istiadat” (mores)
masyarakat dan kelompok-kelompok yang khusus, “hidup dapat berlangsung,
kelakuan harus selayaknya, kelayakan dan kelangsungan untuk manusia-manusia
yang tidak terkatakan jumlahnya, tanpa membawa mereka ke lapangan yang mana di
dalamnya hukum dapat disalahtafsirkan”. Demikianlah, akhirnya, bukan para
hakim, melainkan, “kehidupan itu sendiri yang mengisi ruangan-ruangan kosong di
dalam hukum”. Jikalau hakim-hakim secara menyedihkan sekali menyalahtafsirkan
adat kebiasaan zamannya, atau jikalau adat kebiasaan zamannya tidak lagi
merupakan adat kebiasaan masyarakat”, maka mereka hanya dapat tunduk kepada
peraturan-peraturan secara spontan yang timbul dari dalam masyarakat itu
sendiri. Demikianlah Cardozo sampai kepada kesimpulan : “Hukum dan ketataan
kepada hukum adalah fakta-fakta yang setiap harinya berlaku bagi kita dari
dalam pengalaman hidup kita…………..kita harus mencari suatu konsepsi hukum yang
dapat dibenarkan oleh kenyataan”.
Melalui
konsepsi sempit dari “metode sosiologi” yang diperlengkapi dengn metode logika
secarra analog, dan juga metode tradisi dalam proses pengadilan, bahwa Cardozo
mengawali bukunya dan dalam beberapa hal kembali lagi ke situ. Kecenderungan teleological-sosiologikal inilah yang
mendorong Cardozo, melalui putusan-putusan pengadilan, mencari yang bertindak
sebagai penengah dari antara pergerakan dan stabilitas yang luar biasa,
ketidaktentuan dan keamanan. Dilain pihak, tendensi ke arah penguraian hukum yang
bersifat spontan dari masyarakat itu sendiri, mendorongnya untuk mengakui bahwa
dalam kenyataan sosial dari “tidak ada yang mantap, stabil, tak ada yang
mutlak. Semua mengalir berubah-ubah tanpa ada henti-hentinya, kita kembali ke
Heraclitus”. Keragu-raguan Cardozo antara kedua tendensi ini bukan saja
disebabkan oleh kenyataan bahwa ia tidak memisahkan sosiologi hukum dari “ilmu hukum sosiologi”, melainkan juga,
dan lebih asasi lagi oleh kenyataan bahwa ia tidak mengakui “pedoman-pedoman
resmi mengenai kelakuan baik dalam masyarakat, yang menadainya dengan istilah
mendua “adat kebiasaan”, yang
dipertentangkannya dengan apa yang dimasud hukum yang sesungguhnya. Meskipun,
dalam polemiknya dengan Austin dan Holland, ia menegaskan bahwa perbedaan
antara “hukum sesungguhnya” dan
peraturan-peraturan yang lebih luas dan lebih luwes tidak lain dari suatu “perselisihan secara lisan” dan is
menulis: “ Kita tidak menghendaki pertengkaran tentang perbedaan istilah antara
hukum dan keadilan dan melupakan ke dalaman keselarasannya, tetapi ia masih
ragu-ragu memasukkan di dalamnya adat kebiasaan masyarakat”, yang diakuinya
sendiri sebagai lapisan terdalam dari hukum dalam alam hukum.
Dilihat
dari sudut bukunya yang kedua ini, The Growth of the Law, 1927, adalah sangat
tipical. Pada suatu pihak, cenderung semakin lama semakin mengarah ke sosiologi
hukum dalam arti yang sebenarnya. Cardozo menulis: “Penyelidikan tentang adat
kebiasaan merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang menuntut adanya
penyelidikan fakta-fakta sosial”, daripada suatu cabang filsafat dan ilmu hukum
itu sendiri; “namun kedua subjek itu akan bertemu dan satu pun jarang dapat
berhasil tanpa diperlengkapi dengan yang lainnya. Di dalam metode sosiologi
semakin sering ditemui approach dari sudut-sudut lainnya. Berbagai teknik hukum
itu sendiri ditentukan oleh kondisi serta situasi-situasi dalam masyarakat pada
masa itu. Sementara itu, keadilan sendiri “dapat berlain-lainan artinya bagi
berbagai pikiran dan dalam berbagai zaman”. “Kita dapat belajar apakah suatu
peraturan berjalan lancar atau tidak lancar dengan membandingkannya dengan
suatu pedoman keadilan, yang kita ketahui atau dapat dirasakan berdasarkan
pengalaman sehari-harinya”. Bahkan lebih, “sering berdasarkan perkara di depan
pengadilan-pengadilan yang berkenaan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan dunia usaha atau transaksi-transaksi”. Kenyataan-kenyataan tentang
kehidupan ekonomi atau keniagaan adalah pertimbangan-pertimbangan yang dapat
dipakai.” Demikianlah, maka azas-azas serta peraturan-peraturan hukum berakar
pada bentuk-bentuk kebiasaan dan metode-metode keniagaan dan persahabatan, keyakinan-keyakinan
utama dari keadilan, kompleks kepercayaan dan prkatek yang kita anggap sebagai
adat kebiasaan di zamannya.
Cardozo
bersandar pada definisi Holmes tentang hukum sebagai suatu “ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh
pengadilan”. Tetapi supaya tidak terlampau membatasi lapangan bahasan atau
studi sosiologi hukum, ia member suatu interpretasi yang luas terhadap konsepsi
ini. Menurut Cardozo, cukup memadai untuk menetapkan kemungkinan berhasil;
bahwa adat istiadat pada suatu hari akan dapat “berwujud sebagai suatu
pertimbangan” untuk menganggapnya sebagai hukum. “Boleh jadi adat kebiasaan itu
tidak mempunyai tanda resmi, tetapi hal ini bukanlah suatu penghalang bagi kita
untuk bersandar kepada tanggapan bahwa apa yang belum ada kelak aka nada juga,
apabila keadaan menghendakinya”, “yang memungkinkan kita berkata bahwa
asas-asas dalam hukum apanila ada kekuatan atau pemberian keyakinan dari suatu
kecenderungan bahwa asas itu akan atau seharusnya dilaksanakan”.
Buku
terakshir Cardozo, Paradoxes of Legal
Scinces (1928) yang paling berkesan dari antara karya-karyanya, maju
selangkah lagi ke arah sosiologi yang ebas dari teknik yuridis (yurisprudensi)
dan yang bertugas sebagai satu dasarnya. Sosiologi hukum haruslah dibimbing
oleh kesadaran, demikian tulis Cardozo dalam bukunya ini, bahwa “hukum
menentukan suatu hubungan tidak selalu antara titik-titik yang berlainan
kedudukannya”. Di dalamnya harus berkuasa asas kerelatifan”. Relativisme ini
kemudian ditambah dengan kenyataan bahwa “perdamaian dari apa-apa yyang tak
dapat didamaikan, penggabungan antitese …. adalah masalah besar bagi hukum”. “Tatacara
dan kebiasaan (jika kita tak menyamakan dengan hukum) setidak-tidaknya adalah
sumber hukum”. “tekanan adat kebiasaan dapat menetapkan arah hukum”. Penggambaran
hubungan-hubungan antara hukum sebenarnya dan adat kebiasaan, dan bahkan
hubungan-hubungan antara norma-norma hukum dan norma-norma susila, haruslah
dibebaskan “dari kesewenang-wenangan konsep. Sebab konsep itu lebih merupakan
tirani daripada abdi, apabila dihadapi sebagai wujud-wujud yang nyata dan
berkembang tak semena-mena tanpa menghiraukan akibat-akibatnya kepada batas
logikanya. Di sini, seperti juga di mana-mana, tirani melahirkan pemberontakan,
dan pemberontakan melahirkan emansipasi”. Demikianlah, maka dinamisme yang
serba nisbi dan anti konseptualisme mulaimenguasai pikiran-pikiran terkahir
Cardozo. Yang disokong oleh suatu renungan tentang partikularisme, kekhususan,
nilai-nilai konkret dan oleh pluralism, kemajemukan sosiologis. Kelompok
bukanlah suatu kualitas yang constant melainkan dapat berubah-ubah tanpa
beraturan. Di samping yang lain-lainnya, kita mempunyai klan, gereja, klub,
gilda, dan lain-lainnya, yang masing-masing menuntut kesetiaan, yang berbagai
macam kadarnya kehebatannya pada berbagai masa dan tempat”.
Apakah
dari segala pertimbangan metodelogis ini tidak timbul keperluan untuk
membersihkan sosiologi hukum dari seni teleologis ilmu hukum, yang terutama
sekali dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan dari pengadilan-pengadilan dalam
suatu masa tertentu, dan untuk membebaskan paham tentang hukum ini dari segala
pembatasan oleh tipe-tipe khusus sistem hukum? Adalah tidak mungkin bagi kita untuk
mengetahui arah terkahir sosiologi Cardozo, seandainya kematiannya tidak
mengakhiri pekerjaan-pekerjaannya. Apa yang dapat kita katakana hanyalah, bahwa
setelah ia bertolak dari dasar yang jauh lebih sempit daripa Pound dan setelah
mengabaikan masalah-masalah tipologi dari masyarakat-masyarakat yang
menyeluruh, Cardozo ternyata sangat menyadari kompleksitas kenyataan sosial
hukum, yang lapisan-lapisan ke dalamanya saling sengketanya serta terlihat
jelas. Dengan demikian banyak sumbangannya kepada sosiologi hukum sistematis,
apalagi berkat keluwesan pikiran filsafatnya yang memungkinkan dia menegaskan
corak cabang ilmu ini sebagai cabang dari sosiologi jiwa manusia. Tetapi,
orientasi teleologis praktis, selalu jelas tersimpul dalam sosiologi Cardozo,
dan menghalang-halangi relativisme konseptualistisnya menghasilkan manfaat yang
sebanyak-banyaknya.
JENIS-JENIS SOSIOLOGI HUKUM
1.
SOSIOLOGI
HUKUM SISTEMATIS
Sosiologi hukum
sistematis bertugas menelaah hubungan fungsional antara kenyataan sosial,
jenis-jenis hukum (kinds of law),
kerangka hukum (f rameworkof law),
dan sistem-sistem hukum (systems of law).
Dalam kelompok-kelompok terjelmakan kerangka-kerangka hukum. Kerangka-kerangka
hukum ini adalah sintese dan keseimbangan (equalibria) antara berbagai jenis
hukum. Struktur kelompok yang dibangun oleh sintese dan keseimbangan diantara
berbagai bentuk kemasyarakatan (sociality). Dalam masyarakat majemuk,
sintese-sintese dan keserbanekaan kelompok-kelompok melahirkan sistem-sistem hukum.
Jenis-jenis
hukum yang bersaing di dalam kerangka hukum menurut dua aspek: horizontal dan
vertikal. Sudut pandangan horizontal menganggap jenis-jenis hukum sebagai
fungsi-fungsi dari kedalaman yang sama; sudut tinjauan vertikal menganggap
jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi dari lapisan-lapisan kedalaman yang
tindih-menindih dalam kenyataan hukum. Setiap bentuk kemasyarakatan yang aktif,
yang mewujudkan suatu segi dari cita kebenaran, dan setiap lapisan ke dalam
dari kenyataan hukum mempunyai dua tugas; (1) menelaah jenis-jenis hukum
sebagai fungsi-fungsi dari berbagai macam bentuk kemasyarakatan; (2) menelaah
jenis-jenis hukum sebagai fungsi-fungsi lapisan-lapisan kedalaman yang dapat
ditemukan di dalam setiap bentuk kemasyarakatan, apabila bentuk kemasyarakatan
itu menjadi fakta normatif.
a.
Bentuk-Bentuk
Kemasyarakatan dan Jenis-Jenis Hukum
1)
Klasifikasi
Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Klasifikasi
horizontal dari bentuk-bentuk kemasyarakatan berkembang pada dua tingkatan
kedalaman yang berlainan: kemasyarakatan yang langsung dan spontan dan
kemasyarakatan yang terorganisasi dan direfleksikan. Kemasyarakatan yang
spontan dijelmakan dalam keadaan-keadaan langsung (spontaneous states) dari akal budi kolektif, baik berupa
praktek-praktek yang dibimbing oleh pola yang luwes, maupun perbuatan-perbuatan
kolektif yang melahirkan hal-hal baru serta bersifat kreatif. Kemasyarakatan
yang terorganisasi terikat pada pola tingkah laku kolektif dalam arti dibimbing
oleh pola-pola yang baku (chrystalized)
dalam skema-skema yang dibuat dengan sengaja, yang telah ditentukan terlebih
dahulu dan terpusat (centralized).
Demikianlah, maka kemasyarakatan yang terorganisasi mentang dinamika
spontanitas dari akal budi kolektif dan terpisah daripadanya. Berbagai jenis
kemasyarakatan spontan mengadakan tekanan-tekanan ke dalam, bertindak secara
spontan dalam kesadaran kita menganggapnya sebagai suatu tekanan dari suatu
keadaan kesadaran ini kepada kesadaran yang lainnya dan dalam kehidupan
kolektif sebagai tekanan dari suatu bentuk kemasyarakatan yang spontan kepada
yang lainnya. Sebaliknya, dalam kemasyarakatn terorganisasi lebih kepada adanya
sangsi-sangsi dan pemaksaan dari luar, yang kadangkala terpencil dan sempit
dari struktur bawah (infrsturktur) yang spontan dan terkadang pula struktur
bawah ini dalam keadaan tertentu menjadi transcendent. Sementara watak atau
struktur atas (superstruktur) tergantung kepada sifat sampai dimana dikelilingi
oleh struktur bawah yang spontan dan dalam bentuk-bentuk yang khusus. Dengan
demikian kemasyarakatan yang spontan selalu mendasari kemasyarakatan yang
terorganisasi.
Dalam
kemasyarakatan yang spontanitas, boleh jadi orang pada mulanya memandang
kemasyarakatan karena interpenetrasi atau peleburan sebagian (partialfusion) kedalam “kita” (We), sebagai kebalikan dari
kemasyarakatan karena interpendensi (saling bergantung) antara intuisi kolektif
dan perhubungan kelambangan (symbolic
communication). Jikalau timbul suatu “Kita” (“Kita bangsa Amerika”, Kita
bangsa Prancis”, “Kita bangsa Inggris”, “Kita kaum plotter”, “kita kaum
intelektual” dan lain-lainnya), maka “Kita”, ini merupakan suatu keseluruhan
yang tidak terbagi lagi, suatu kesatuan baru yang tidak dapat diurai menjadi
jumlah anggota-anggotanya dan bagian-bagian itu tersimpul di dalam keseluruhan.
Lain
sekali halnya dengan Kemasyarakatan karena konvergensi dan interdependensi, di
mana kesadaran dan kelakuan-kelakuan membentuk suatu kenyataan baru karena
koordinasi dan erat hubungan timbal baliknya. Walaupun kesadaran dan
kelakuan-kelakuan saling terikat antara keduanya, namun pada hakikatnya
keduanya tetap berbeda. Kesadaran dan kelakuan tetap saling transcendent dan
bertentangan dengan keseluruhannya meskipun salin berorientasi satu sama lain.
Kesadaran dan kelakuan saling berhubungan dengan perantara tanda-tanda seperti
perkataan, isyarat, pernyataan, tanda-tanda lahiriah, kelakuan-kelakuan yang
berarti. Demikianlah, tanda-tanda sebagai perantara, sedangkan pola-pola,
lambang-lambang sebagai dasar yang pertama dari terbentuknya kemasyarakatan.
Misalnya, dalam pertukaran, persetujuan (kontrak), perhubungan mengenai milik
(kekayaan), maka hanyalah isyarat-isyarat lahirih (gestures), pernyataan-pernyataan
tertulis digunakan sebagai dasar (basis) bagi ikatan-ikatan yang diperbuat.
Kriterium
kedua untuk membeda-bedakan bentuk-bentuk kemasyarakatan ialah intensitas
kemasyarakatan yang spontan oleh peleburan hanya untuk sebagian. Apabila
kesadaran terbuka hanya pada permukaan tetapi tertutup pada bagian yang lebih
dalam dan bersifat lebih pribadi disebut massa (masses). Apabila kesadaran terbuka dan saling menyusup sampai pada
tingkatan-tingkatan yang aspirasi kepribadian diintegrasikan dalam “Kita”
tetapi tidak mencapai puncak integrasi disebut perkauman (community) dan apabila kesadaran terbuka selebar-lebarnya dan
kedalaman tidak termasuk dalam pribadi diintegrasikan dalam peleburan kita
sebut communion.
Tebal tipisnya
peleburan dan tenaga tekanan adalah sama sekali tidak saling bersesuaian, bertentangan
dengan apa yang kita duga. Masa peleburan kesadaran itu paling dangkal adanya
dan lapisan-lapisan terdalam tertutup bagi satu sama lain, tetapi tekanan
kelompok terhadap individu paling kuat. Sebaliknya, ketika peleburan sebagian
dari kesadaran itu merangkum dan mengintegrasikan lapisan-lapisan “aku” lebih
dalam maka tekanan terasa kurang dari spontanan sosial. Dalam perkauman (community) tekanan tidak sekuat dalam
massa (mases), dalam communion tidak sekuat dalam masyarakat,
yang pada hakikatnya hampir tak sekuat seperti tak kelihatan. Selain itu, kehebatan dan luas kemasyarakatan
berdasarkan interpenetrasi, maka intens (hebat) ikatan kemasyarakatan, bukannya
makin luas. Tetapi sebaliknya: makin intens makin kurang luas; makin luas,
makin kurang hebat. Demikianlah, pada lazimnya, Communion terwujud dalam
lingkungan yang sangat terbatas, misalnya communion lebih mudah dalam serikat
buruh daripada federasi serikat-serikat buruh. Perkauman itu adalah bentuk
kemasyarakatan di dalam suatu kelompok sedangkan massa dan communion merupakan
bentuk kemsayarakatan yang terjelma dalam keadaan tertentu saja.
Penjelmaan-pejelmaan
kemasyarakatan kerana semata-mata adanya konvergasi (karena ada titik
konvergensi atau hanya karena persamaan, pembatasan-pembatasan tertentu, dank
arena “hubungan dengan orang-orang lain, baik yang bersifat antar perseorangan
atau antar kelompok yang dinyatakan dengan suatu ukuran. Dan adalah isi ini,
yang menjadi tujuan (obyek) gerak
penyelarasan kembali (rapprochement) atau perpisahan. Bahkan
individu-individu atau kelompok-kelompok yang bersengketa atau bertempur, harus
lebih dahulu bertemu dalam suatu obyek-obyek keinginan, kebutuhan, kepentingan,
yang dalamnya mereka tidak mencapai saling pengertian. Dalam pengertian ini,
maka tidaklah ada perumusan, perjuangan, atau sengketa yang tanpa titik
convergensi dalam suatu tanda yang sama, titik convergensi yang ada lebih
dahulu daripada ketegangan, tabrakan, pembatasan atau penyamaan.
Kemasyarakatan
karena peleburan sebagian dapat dibagi berdasarkan fungsinya. Fungsi adalah
semata-mata suatu aspek dari suatu tugas (task) bersama yang harus
diselenggarakan dan sangat berbeda dengan tujuan (yang telah ditentukan terlebih
dahulu dalam suatu peraturan (statute)
dan hanya berhubungan dengan superstruktur yang terorganisasi) yakni motif dari
tindakan (perbuatan) kolektif (collective
action), istilah untuk aspirasi dalam kemasyarakatan berdasarkan peleburan
(tujuan serta nilai, ke mana ia cenderung). Pertama, kemasyarakatan bersifat
unifungsional apabila aktivitasnya terwujud dalam suatu tujuan saja artinya
mendapat inspirasi oleh satu tugas saja, mendapatkan inspirasi oleh satu nilai
saja yang dijelmakan dalam satu tujuan saja misalnya peleburan sebagain buruh
dalam satu pabrik dan sebagainya. Kedua, kemasyarakatan bersifat
multifungsional dimana di dalamnya terdapat berbagai tugas. Ketiga sifatnya
suprafungsional yang didalamnya tersangkut keseluruhan tugas-tugas yang tidak
dapat disebutkan satu per satu aspek dari keseluruhan tugas tersebut, misalnya
peleburan sebagian anggota-anggota suatu bangsa.
Kemasyarakatan
unifungsional mengabdi pada kepentingan khusus, kemasyarakatan superfungsional
mengabdi pada kepentingan umum (bersama), sedangkan kemasyarakatan
multifungsional mengabdi pada kepentingan khusus dan kepentingan umum.
Kepentingan umum (bersama) bukan berarti kepentingan dalam kemasyarakatan itu
sama. Kepentingan bersama merupakan keseimbangan (equilibrium) diantara kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dan jumlah aspek-aspek yang senilai dari kepentingan bersama
adalah sama dengan jumlah kemungkinan-kemungkinan dari berbagai macam yang
bertentangan yang hakikatnya dapat berubah-ubah.
2)
Jenis-jenis
Hukum yang Bersesuaian dengan Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Mikrososiologi
hukum membedakan jenis hukum yang sama jumlahnya dengan bentuk kemasyarakatan
yang aktif. Jenis-jenis hukum berdasarkan klasifikasi sosiologis secara
horizontal, mengemukakan perbedaan jelas antara hukum sosial dan hukum
perseorangan (hukum antar perseorangan, inter individual law). Hukum sosial
adalah suatu hukum yang berdasarkan integrasi obyektif ke dalam “Kita” ke dalam
keseluruhan yang imanen. Orang diperbolehkan dikenakan hukum dan ikut langsung
ke dalam keseluruhan untuk mengambil bagian dalam hubungan-hubungan hukum.
Hukum sosial berdasarkan pada kepercayaan sehingga hukum sosial tidak dapat
dipaksakan dari luar dan hanya mengatur dari dalam dengan cara imanen. Sehingga
hukum sosial itu bersifat otonom.
Hukum
perseorangan (individual law) merupakan hukum antar perseorangan dan kelompok
yang berdasarkan pada ketidakpercayaan (curiga). Hukum perseorangan mendekatkan
orang-orang dengan lainnya namun juga memisahkan dan membatasi kepentingan
mereka. Terdapat hukum perdamian yang saling bantu-membantu, mempunyai tugas
yang diemban bersama-sama namun di sisi lain terdapat hukum sengketa, hukum
peperangan dan hukum perpisahan, yang dapat memecah belah mereka. Berdasarkan
tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban dalam hukum sosial dan hukum
perseorangan sangatlah berbeda. Hukum sosial dengan tuntutan dan kewajiban yang
saling susup-menyusupi satu sama lain yang merupakan keseluruhan yang tidak
terpecahkan dan yang berlaku adalah keadilan distributif. Dalam hukum
perseorangan tuntutan dan kewajiban hanya membatasi dan saling bertabrakan
serta menggunakan keadilan komutatif.
Dalam
kemasyarakatan interpenetrasi terbagi dalam massa, perkauman (community) dan
communion maka hukum sosial dapat dibagi menurut tingkat intersitanya yakni
hukum sosial untuk massa, hukum sosial untuk perkauman, dan hukum sosial untuk
communion.
Hukum sosial
massa,
bahwa ikatan persatuan dalam massa itu sangat lemah namun daya tekannya sangat
kuat, maka hukum sosial sebagai pengintegrasi berlaku tidak kuat dan lebih
banyak melakukan kekerasan. Integrasi yang tercapai hanya terlihat pada
permukaan saja. Hukum berlaku bergantung kepada jaminan yang menjadi dasarnya.
Tuntutan dari kelompok menguasai kewajiban-kewajibannya sehingga unsur
atributif hampir lenyap menghilang kebelakang unsur yang bersifat imperatif.
Sedangkan hak-hak dari anggota yang berintegrasi tidak dapat diketengahkan. Hukum
sosial massa berciri hukum obyektif (perintah-perintah) yang hampir mengabaikan
hak-hak subyektif. Maka hukum yang mengintegrasikan massa di antara semua
bentuk hukum sosial adalah yang paling dekat kepada hukum penguasaan yang
subordinatif.
Hukum sosial
perkauman,
pada hakikatnya perkauman merupakan peleburan untuk sebagain (partial fusion) dan tekanan maka asas
hukum sosial yang timbul dalam perkauman ditandai dengan sifat-sifat yang
mengikat dan keras. Sifatnya yang mengikat dari hukum sosial perkauman
dipengaruhi oleh dua faktor asasi, sebagaimana yang dikemukakan. Pertama,
perkauman adalah bentuk paling seimbang dari kemasyarakatan (sociality) yang berdasarkan
interpenetrasi dan biasanya merupakan suatu ikatan sosial yang sangat mantap (stable), yang paling mudah terwujudkan
di dalam suatu kelompok. Ini biasanya memberi suatu keteguhan dan kekuatan yang
jauh melebihi apa yang diduga kepada fakta normatif dari masyarakat, kepada
jaminan yang menjadi tempat berpijaknya hukum tersebut. Kedua, perkauman pada
umumnya merupakan suatu bentuk kemasyarakatan yang sangat menguntungkan bagi
lahirnya hukum, karena disanalah kepercayaan-kepercayaan hukum cenderung untuk
dibedakan dari kepercayaan-kepercayaan moral dan ekstase mistik (bersifat
religi dan magi), seperti yang sering berlaku dalam communion. Dalam hukum
sosial perkauman suasana atau iklim dari suatu perkauman (community) adalah suatu milieu
yang sangat baik bagi keseimbangan antara hukum sosial yang obyektif dan
hak-hak yang subyektif.
Hukum sosial communion, mendefinisikan
communion sebagai peleburan sebagian (partial fusion) yang paling kuat dan tekanan yang paling lemah maka hukum
sosial communion ditandai dengan asas yang berwibawa dan tekanan yang kurang.
Misalnya wibawa adat yang diperlemah karena umur communion yang sangat singkat
karena ketiadaan kematapan (stability) dari interpenetrasi yang dalam.
Communion sering bercorak karismatis dan mistis. Lingkungan yang lebih pada
kepercayaan-kepercayaan agama dan moral daripada kepercayaan-kepercayaan hukum.
Dalam kelompok dengan hukum sosial communion, hukum sosial obyektif menguasai
hak-hak subyektif.
Bentuk
kemasyarakatan berdasarkan interdependensi dan pembatasan yang dibagi dalam
hubungan yang berdasarkan perpisahan, penyelarasan kembali (rapprochement) dan yang sifatnya
sempurna maka hukum perseorangan dapat dibagi atas hukum perseorangan
berdasarkan pemisahan, hukum perseorangan berdasarkan rapprochement, dan hukum
perseorangan berdasarkan struktur campuran.
Hukum
perseorangan berdasarkan pemisahan, hukum ini timbul dari sengketa,
pertentangan, benturan, dan persaingan di dalam keseluruhan (kelompok) mereka.
R. Ihering , merasa yakin bahwa semua
hukum perseorangan mempunyai asal yang sama, dan tidak lain dan tidak bukan
adalah prosedur hukum mengenai sengketa-sengketa bersifat formal dan menjamin
kesetiaan segenap pihak kepadanya. Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan
merupakan tipe yang sangat umum dalam hukum perseorangan karena tidak dibatasi
oleh hukum rapprochement maupun hukum perseorangan campuran. Hukum jenis ini
mudah mengubah dirinya menjadi hukum siapa yang terkuat (law of the strongest)
yang selanjutnya melebur kesegala peraturan hukum kemudian menjadi kekerasan.
Singkatnya, hukum perseorangan berdasarkan
pemisahan unsur atributnya mendorong pemisahan dan menguasai unsur
imperatif yang hampir tidak kelihatan.
Hukum
perseorangan berdasarkan rapprochement, hukum rapprochement atau dinamakan
juga hukum penyelarasan kembali memiliki bentuk yang agak aneh. Hukum ini
ditandai dengan adanya hubungan yang pasif. Mungkin untuk menemukan
peristiwa-peristiwa yang didalamnya rapprochement adalah suatu unsur utama,
tetapi tidak istimewa dari hubungan-hubungan dengan yang lainnya, adalah suatu
unsur yang dihalangi oleh sedikit pemisahan yang masih ada. Itulah sebabnya
rapprochement menjadi bentuk kemasyarakatan yang aktif dan memisahkan hukum.
Hubungan-hubungan aktif berdasarkan rapprochement terdapat misalnya apabila
diberikan hadiah-hadiah berharga untuk memulai suatu hubungan, atau apabila
diadakan konsensi-konsensi tanpa dikembalikan dan tanpa pengertian adanya
kewajiban untuk mengembalikan dan lainnya. Dalam hukum perseorangan
rapprochement unsur imperatif lebih utama dan menguasai unsur atribut, serta merupakan
tipe yang paling bersifat damai dari hukum individual. Ketika suatu pemberian
(hadiah) diiringi dengan asas memberi dan mengambil ataukah konsensi terjadi
bersifat timbal balik (reciprocal) maka hukum perseorangan rapprochement
berubah menjadi hukum perseorangan yang campuran.
Hukum perseorangan yang berstruktur campuran, hukum ini
menyeimbangkan hukum pemisahan dan hukum rapprochement. Bentuk hukum perseorangan
adalah paling umum dan lazim. Ini adalah bentuk yang terpikir oleh orang pada
umumnya, apabila hukum antar perseorangan dan antar kelompok bertentangan
dengan hukum sosial. penjelmaan klasiknya adalah hukum kontrak dan harus pula
ditambahkan kategori yang lebih luas daripada hukum transaksi, kredit-kredit,
dan segala macam kewajiban. Ikatan hukum yang diselenggarakan dengan kontrak
itu terdiri atas: a) suatu konvergensi kemauan-kemauan dari pihak-pihak yang
saling mengadakan perjanjian dengan maksud menyelenggarakan kewajiban timbal
balik yang berlaku dikemudian hari (rapprochement) dan b) oposisi
(pertentangan) dari dua atau lebih kemauan-kemauan yang berusaha betul-betul
mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan (untuk memberi sesuatu atau menerima
sesuatu dan lain-lainnya: pemisahan). Pihak yang saling mengadakan perjanjian
selaras dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan jika mengenai klausul-klausul
kebendaan dan cara melaksanakannya (pemisahan). Maka tidak mungkin menyifatkan
dengan secara tegas, sebagaimana yang sering diusahakan secara salah, hubungan
kontrak, baik sebagai konsensus kemauan-kemauan dan kewajiban-kewajiban
(Durkheim) maupun sebagai sengketa serta ketentuannya (Tonnies). Rahasia
ikatan-ikatan kontrak, maupun ikatan-ikatan pertukaran pada umumnya, berbagai
macam kewajiban dan lain sebagainya, terletak dalam saling hubungan antara
rapprochement dan pemisahan.
Hukum sosial
massa, hukum perkauman (community)
dan hukum kecama’ahan (communion)
adalah kesimpangsiuran dengan hukum sosial dari peleburan-peleburan
unifungsional dan superfungsional, yakni hukum yang mengabdi kepada kepnetingan
umum atau khusus. Yang harus diperhatikan hanyalah, bahwa hukum sosial
peleburan-peleburan superfungsional selalu merupakan hukum umum, hukum sosial
dari persatuan-persatuan unifungsional, selalu berupa hukum khusus. Meski pun
demikian, ada kecokragaman bentuk-bentuk dari hukum sosial yang spontan
(dinyatakan secara skematis, tidak kurang dari dua puluh empat), bermula dengan
hukum sosial khusus dari massa yang unifungsional dan berakhir dengan hukum
sosial umum dari communion yang bersifat unifungsional atau multifungsional,
hukum sosial untuk umum dari perkauman yang multifungsional atau
superfungsional.
b.
Sosiologi
Hukum Sebagai Pelukisan Lapisan-Lapisan Kedalaman
Setiap jenis
hukum yang dibahas sampai sekarang ini, merupakan suatu skala lapisan-lapisan
yang bertingkat, baik hukum sosial, hukum massa, hukum perkauman, hukum
communion, hukum unifungsional, multifungsional maupun superfungsional dengan
segala kehidupan sosial mengembangkan dirinya melalui tingkatan yang skematis
dan simbolisme menuju kedinamisan dan kesegeraan (immediacy) yang mengarah ke
bawah dan sebaliknya dari spontanitas dan keluwesan kekristalisasi dan
konseptualisasi yang kuat mengarah ke atas. Memungkinkan ditemukannya dalam
semua hukum suatu kemajemukan vertical (vertical
pluralim) dan mempunyai segi rangkap. Ada hukum yang tidak terorganisasi
yang selalu hadir di bawah hukum yang terorganisasi. Dilain pihak ada hukum
yang ditentukan terlebih dahulu, hukum luwes (fleksibel) yang dirumuskan ad hoc dan hukum intuitif.
Dua klasifikasi
vertikal ini, yang sering mengacukan satu sama lain, pada hakikatnya tidak
saling bersesuaian sama sekali, kerana hukum yang tak terorganisasi keduanya
dapat dikenal dengan tiga macam cara yang berlain-lainan mendahului, ad hoc dan segera. Keduanya tetap hukum positif, karena berdasarkan “fakta-fakat normatif” yang menjaminnya
dank arena dikenal oleh tiga prosedur tersebut. Dengan demikian, kita akan menunjukkan
bahwa dua segi klasifikasi itu bersilang, dan menuju kepada pengenalan enam
macam tingkatan kedalam di dalam sesuatu jenis hukum, yakni: a) hukum
terorganisasi yang telah ditentukan lebih dahulu; b) hukum terorganisasi luwes;
c) hukum intuitif yang terorganisasi; d) hukum yang tak terorganisasi yang
ditentukan lebih dahulu; e) hukum tidak terorganisasi yang luwes; f) hukum
tidak terorganisasi intuitif.
Hukum yang tidak terorganisasi dan yang
terorganisasi.
Hubungan-hubungannya yang berlain-lainan. Hukum yang terorganisasi selalu
diletakkan di atas hukum yang tidak terorganisasi yang selalu cenderung
menutupi dirinya dengan hukum terorganisasi yang lebih mantap dan keras. Antara
hukum yang terorganisasi dan hukum yang tidak terorganisasi tetap selalu timbul
ketegangan dan tingkat kehebatannya berubah-ubah. Hal ini timbul karena hukum
yang terorganisasi tidak pernah untuk keseluruhannya dapat menyatakan hukum
yang tidak terorganisasi. Sebaliknya, hukum yang tidak terorganisasi dapat
hidup tanpa kulit hukum yang terorganisasi.
Di lapangan
hukum sosial, hukum tidak terorganisasi memainkan peranan yang jauh lebih besar
dibandingkan di lapangan hukum antar perseorangan. Di lapangan hukum antar
perseorangan kelancaran hubungan-hubungan dengan orang lain haruslah direduksi
menjadi pola-pola yang tipis yang berhubungan dengan superstruktur
terorganisasi yang ada arti hukumnya. Sebaliknya hukum sosial berlaku juga
tanpa perantara apapun di dalam tiap-tiap interpenetrasi yang konkrit yang
kekhususannya dijelmakannya hic et nunc.
Dalam hukum sosial, sengketa, dan kompromi antara tingkatann-tingkatan
terorganisasi dan tingkatan-tingkatan yang spontan dari kehidupan hukum
memainkan peranan yang utama. Demikianlah, agar mendapatkan kejelasan yang
lebih nyata, kita hendak membatasi analisis kita pada lapangan ini saja.
Adanya
hukum sosial terorganisasi yang diletakkan di atas hukum yang spontan, baik
hukum massa, perkauman, atau communion, maka jenis-jenis hukum yang
terorganisasi dibagi atas hukum massa yang terorganisasi, hukum perkauman yang
terorganisasi, dan hukum communion yang terorganisasi.
Hukum massa yang
terorganisasi,
bahwa peleburan-peleburan yang kurang intensif (massa) dan peleburan-peleburan
yang paling intensif (communion) merupakan milieu
yang paling kurang baik untuk menegakkan superstruktur-superstruktur yang
terorganisasi. Dalam hal ini superstruktur tidaklah bersesuaian dengan tingkat
penyatuan dari infrastruktur. Superstruktur yang terorganisasi sukar
mempertahankan dirinya. Jika terdapat perlawanan lebih besar dari
kemasyarakatan spontan maka organisasi memisahkan diri. Semakin mampu massa
mempertahankan diri maka sering organisasi itu mampu memperkuat “jarak” yang
memisahkannya dengan infrastruktur, menimbulkan keseganan bagi yang ada
diluarnya, mengintensifkan transendensi dan kekerasan, serta mempunyai
kecenderungan menjadi organisasi dominasi yang bersifat menguasai dan memiliki
hukum yang subordinatif.
Hukum perkauman
yang terorganisasi, karena
adanya penyatuan secara pukul rata menjadi corak khusus perkauman yang dapat
bersesuaian dengan penyatuan superstrukturnya yang terorganisasi dan kehidupan
langsung dari bentuk kemasyarakatan dan kelangsungan akar-akarnya di dalam
bentuk kemasyarakatan yang spontan. Ini terjadi karena setiap organisasi yang
dilihat dari segi hukum merupakan suatu jaringan hak-hak sosial “subyektif”
yang memberi dan membagi kompetensi-kompetensi, maka hukum perkauman yang
spontan yakni antara keseimbangan antara hukum “obyektif” dan hak-hak
“subyektif” yang merupakan cirinya, menyatakan dirinya lebih mudah dalam
lingkungan yang terorganisasi daripada sesuatu hukum spontan yang mana pun
juga. Hukum sosial yang spontan dalam perkauman mengikat, mantap, dan
pelanggaran-pelanggaran menimbulkan ketidaksetujuan spontan yang ringan,
akibatnya hukum perkauman cenderung memiliki sifat-sifat otoritas dan paksaaan
dengan kekerasan.
Hukum communion yang terorganisasi, penyatuan
(unifikasi) communion lebih kuat daripada superstruktur yang terorganisasi maka
yang tersebut terakhir disini mempunyai dan banyak kesukaran untuk
mempertahankan dirinya dan untuk melestarikan dirinya selalu berakar dalam
infrastruktur yang ada di bawahnya. Communion cenderung menyempit dan pecah
belah sedangkan organisasi cenderung meluas atau mempertahankan status quo. Maka bentuk masyarakatan yang
terorganisasi yang letaknya di atas communion hampir tidak dapat menegakkan
dirinya sendiri, misalnya dalam bentuk kemsyarakatan kuno, dimana communion
menempati tempat teratas dan organisasi ditingkat minimumnya.
Hukum yang ditentukan lebih dahulu, Hukum Luwes yang
ditemui and hoc, Hukum Intuitif. Segala hukum yang spontan, sebagaimana
halnya dengan semua hukum yang terorganisasi yang dikenali dengan tiga cara
oleh karena itu dapat dibedakan enam lapisan kedalaman dari kenyatan hukum.
(a)
Hukum
terorganisasi yang ditetapkan lebih dahulu. Lapisan yang teratas dan yang
paling kaku dari kenyataan hukum ini adalah hukum yang berhubungan dengan
organisasi yang tertib teliti dan sementara itu diakui oleh undang-undang,
“hukum-hukum”, praktek pengadilan, perkara-perkara, dan lain-lainnya. Corak
statis dari hukum demikian itu disebabkan oleh dua hal: hampir tidaknya gerak
yang dari yang terorganisasi dibandingkan dengan yang spontan, dan penetapan
oleh suatu prosedur pengenalan teknis yang bertujuan mencegah kesangsian,
penciptaan suatu pola membeku yang menguntungkan keamanan hukum, yang kalau
tidak, tingkat kekakuannya dapat berubah-ubah.
(b)
Hukum luwes yang
ditemui ad hoc.
Sifat kurang dinamis dari semua hukum yang terorganisasi di sini menjadi
berkurang karena cara menemukannya, yang memperhatikan peristiwa-peristiwa dan
perkara-perkara yang konkret, sebagaimana halnya dengan hukum yang mengatur
berfungsinya ke dalam dari semua organisasi-organisasi, misalnya hukum dari
semua administrasi dan dinas pemerintahan, khususnya hukum-hukum
sewenang-wenang dan menegakkan disiplin, hukum polisi kehakiman (police juridique), dan lain-lainnya.
(c)
Hukum intuitif
yang terorganisasi.
Sifatnya boleh dikatakan kaku dari hukum yang terorganisasi dapat dibatasi
lebih lanjut oleh cara pengenal secara intuitif. Yakni apabila fakta normatif
yang terorganisasi diakui atau dikenali secara langsung oleh pihak-pihak
bersangkutan yang tertentu. Hukum intuitif memainkan peranan pada tingkat
kehidupan soaial yang terorganisasi dalam menerapkan secara efektif hukum-hukum
yang luwes maupun yang ditentukan terlebih dahulu dengan mengisi
kekosongan-kekosongan di dalamnya dan mengubah arti-artinya.
(d)
Hukum spontan
yang ditetapkan.
Hukum spontan ternyata sering dinyatakan lebih dahulu oleh teknik-teknik yang
sedikit banyaknya menghentikan geraknya. Hukum ini lebih dinamis daripada hukum
terorganisasi yang ditetapkan lebih dahulu, tetapi dengan membandingkan
unsur-unsur dari kedua jenis hukum terorganisasi lainnya (hukum luwes atau
intuitif) adalah lebih sukar, karena disini semuanya bergantung kepada corak
serba tertib dan cermat dari sumber formal, kepada situasi-situasi yang konkret
dan kepada keseimbangan-keseimbangan yang tidak mantap (goyah).
(e)
Hukum spontan
yang ditemui ad hoc.
Disini dinamisme hukum yang tidak terorganisasi hanya mendapat
rintangan-rintangan yang tidak seberapa banyaknya. Contoh ialah hukum spontan
yang dikenali oleh pemeriksaan bebas oleh seorang hakim, hukum “standars and diretives” dalam ilmu hukum
Anglo Saxon, hukum spontan yang dikenal oleh pengakuan adanya tingkat
keadaan-keadaan baru yang datang dari pihak yang dirugikan sendiri (misalnya
konsensi-konsensi oleh majikan dalam hukum perburuhan, atau oleh suatu kelompok
negara-negara dalam hukum internasional,
dan lain-lainnya).
(f)
Hukum spontan
intuitif.
Inilah tingkat terdalam dan paling dinamis dari kenyataan hukum. Sifat gerak
dari hukum tidak terorganisasi tidak lagi dicampuri oleh cara pengenal, yang
sendirinya selalu bergerak dan berubah dengan cepat. Hukum spontan intuitif,
berdasarkan pemahaman secara langsung tanpa prosedur-prosedur yang formal dari
fakta-fakta tidak terorganisasi yang normatif, oleh pihak-pihak yang
bersangkutan sendiri, memainkan peranan yang penting sekali dengan memberi
kemungkinan bergerak kepada kehidupan hukum.
Sebagaimana yang
telah diuraikan, enam lapisan hukum yang diperbedakan oleh mikrososiologi
vertikal itu saling bersilangan dengan berbagai hukum sebagai hasil pembagian
mikrososiologi horizontal. Secara skematis, pembagian ini menghasilkan tidak
kurang dari 162 (27x6) jenis hukum yang saling bertabrakan dan saling
berseimbangan di dalam setiap kerangka hukum, yang intensitas dan aktualitasnya
sesuai dengan setiap kelompok, setiap satuan kolektif yang nyata. Jelaslah,
bahwa kita mengutarakan angka ini semata-mata untuk menyingkapi suatu gambaran
yang sebenarnya dari “mikrokosmos hukum”
yang pada asasnya atau setidak-tidaknya pada kenyataannya, terdapat pada setiap
kelompok yang aktif, betapa pun kecilnya kelompok itu. Mikroskomos inilah yang melarang kita menarik
kesimpulan-kesimpulan umum yang terlalu cepat dan gegabah mengenai corak atau
watak hukum dari berbagai pengelompokan (misalnya negara, serikat-serikat
buruh, gereja-gereja dan lain-lain), dan tentang keteraturan (regularistios) yang menguasai
perubahan-perubahan sistem-sistem yang bersesuaian dengan tipe-tipe masyarakat
menyeluruh.
2.
SOSIOLOGI
HUKUM DIFERENSIAL
Tipologi Hukum Dari
Pengelompokan-pengelompokan Khusus
a.
Klasifikasi
Pengelompokan Sosial
Sebagaimana
sosiologi hukum sistematis mengawali dengan klasifikasian bentuk-bentuk
kemasyarakatan, dan sosiologi hukm diferensial mengawalinya dengan
mengklasifikasikan tipe-tipe kelompok atau satuan-satuan kolektif yang nyata,
sebagaimana kenyataan hukum itu dipelajari nantinya berdasarkan fungsinya.
Setiap kelompok, fungsi-fungsi setiap satuan keolektif yang nyata, merupakan
suatu sintesa, suatu keseimbangan dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, kesatuan
yang sementara itu diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang lebih luas dari
masyarakat yang menyeluruh. Apakah yang member corak khusus kepada
kelompok-kelompok khsusus ialah unsure sintesa yang bersifat menyatukan, tetapi
tidak bersifat total. Tenaga-tenaga yang sentripetal (mengarah ke pusat) lebih berkuasa dari tenaga-tenaga sentrifugal (lari dari pusat); kesatuan akal budi
kelompok lebih berkuasa daripada masyarakat majemuk (plurality) dari bentuk-bentuk masyarakat yang diintegrasikan,
tetapi dengan syarat bahwa kelompok khusus itu sama sekali tidak terlepas dari
masyarakat menyeluruh (all inclusive society), dan tetap ada di dalam suatu
keseluruhan yang lebih luas.
Kelompok-kelompok
khusus merupakan unsure-unsur pokok dari setiap kelompok yang menyeluruh, dan
yang tersebut terakhir ini member corak kesejarahannya. Kelompok-kelompok sama
sejenisnya yang berintegrasi; misalnya dalam masyarakat-masyarakat kuno, fasis,
atau masyarakat lainnya;berbeda-beda bukan saja berupa fungsi-fungsi daripada
keseimbangan-keseimbangan yang tidak stabil yang tersusun oleh bentuk-bentuk
kemasyarakatan yang secara tetap ada didalamnya, sejarah dari
lingkungan-lingkungan kebudayaan (Timur, Barat, dan lain-lainnya), dan
tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh termasuk didalamnya. Keluarga atau
kelompok jabatan misalnya mungkin akan berlainan sekali strukturnya dalam satu
situasi yang konkret dibandingkan dengan kelompok-kelompok itu dalam situasi
yang lainnya. Dalam masyarakat kuno, keluarga adalah identik dengan klan, klan
ini identik dengan gereja, serta kelompok politik, kelompok jabatan adalah
identik dengan persaudaraan magis, sebagaimana dalam tipe-tipe yang menyeluruh,
kelompok jabatan ini identik dengan kasta, atau dengan perkumpulan bebas, atau
dengan jawatan umum, dan lain-lainnya. Di dalam keluarga, bahkan berbeda dengan
kelompok-kelompok lain, terkadang yang berkuasa adalah keluarga sekerabat,
terkadang keluarga berdasarkan perkawinan, terkadang hanya rumah tangga.
Tipe-tipe kelompok adalah lebih konkret, lebih terpengaruh oleh
perubahan-prubahan kesejrahan dan geografis daripada bentuk-bentuk
kemasyarakatan, itulah sebabnya maka klasifikasi ini adalah lebih sukardan
lebih mustahil daripada pengklasifikasian unsur-unsurnya. Selain itu, jikalau pelukisan
kelompok-kelompok dapat berhasil sepenuhnya hanya apabila diperhatikan
tipe-tipe dari segala masyarakat yang menyeluruh, yang didalamnya mereka itu
diintegrasikan, poin-poin yang menyokong pentingnya studi itu, yakni orang
harus bersandar kepada suatu klasifikasi umum dari kelompok-kelompok.
Klasifikasi
ini haruslah berdasarkan serangkaian kriteria-kriteria yang cermat, yang pada
umumnya adalah saling bersilangan. Kriteria-kriteria itu hendaknya adalah
sebagai berikut: 1) luasnya, 2) lamanya, 3) fungsinya, 4) sikapnya, 5) Asas
organisasinya, 6) bentuk paksaannya, 7) jenis persatuannya.
Kelompok-kelompok
khusus dan kelompok-kelompok yang menyeluruh. Satuan kolektif yang nyata
terbagi menurut luasnya di dalam kelompok-kelompok khusus dan kelompok-kelompok
yang meliputi. Kelompok yang meliputi ini di dalamnya bentuk kemasyarakatan
superfungsional diwujudkan. Kelompok yang meliputi didapatkan dalam bangsa,
masyarakat internasional dan umat manusia. Sedangkan kelompok khusus, misalnya
negara, kota, gereja, keluraga, dan serikat buruh, jabatan-jabatan, kelas-kelas,
dan lainnya hanya merupakan kelompok-kelompok sebagian yang terbatas karena
tidak mewakili lebih dari satu sektor dari kelompok menyeluruh. Di dalam
pengelompokan ini hanya dapat diwujudkan bentuk kemasyarakatan fungsional.
Kelompok-kelompok
yang temporer dan yang bertahan lama. kelompok-kelompok menyeluruh saja yang
pada hakikatnya berlangsung lama, sebaliknya kelompok-kelompok lainnya hanya
bersifat sementara. Kelompok yang bersifat sementara misalnya; (1) orang banyak
(crowds), (2) pertemuan-pertemuan (meeting), (3) demonstrasi-demonstrasi, (4)
komplotan-komplotan, (5) gerombolan-gerombolan (bands), (6) regu olahraga untuk satu kali pertandingan, dan
sebagainya. Kebanyakan kelompok khusus berlangsung lama, tetapi tidak sama
lamanya dan pembubarannya banyak sedikitnya dihalangi rintanagn-rintangan.
Kelompok-kelompok
menurut fungsi-fungsi.
Semua kelompk untuk sebagainnya yang berlangsung lama dapat dibagi dalam tiga
tipe, bergantung kepada sifat umum fungsi-fungsinya dan tidak tergantung kepada
hal apakah bentuk unifungsional atau multifungsional yang berkuasa dalam
menyeimbangkan mereka. Tipe-tipe itu ialah: (1) Kelompok kekeluargaan
berdasarkan nenek moyang mistis atau nenek moyang yang sebenarnya, misalnya
klan, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga sekerabat, kelompok anak-anak,
dan lainnya. (2) Kelompok berdasarkan daerah dihubungkan dengan tempat tinggal
dekat satu sama lain, misalnya dusun, kotapraja, kabupaten, daerah, negara,
atau masyarakat politik atau kelompok ketatanegaraan. (3) Kelompok kegiatan
ekonomi, semua kelompok yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan
konsumsi, misalnya jabatan-jabatan, serikat buruh, koperasi, kasta-kasta,
pabrik, dan sebagainya. (4) Kelompok yang tidak mendapatkan keuntungan berupa
uang, misalnya partai politik, perhimpunan-perhimpunan kesarjanaan, perkumpulan
olahraga, klub-klub. (5) Kelompok mistis-ekstatis, misalnya gereja-gereja,
kongregasi-kongregasi, orde-orde keagamaan, persaudaraan magis, sekte-sekte,
dan lain-lain. (6) Kelompok-kelompok persahabatan atau kelompok teman semeja,
pemuja-pemuja dan penganut-penganut seorang pemimpin dan lainnya.
Kelompok-kelompok
yang terpecah dan kelompok-kelompok yang bersatu. Persaudaraan
oleh pertalian darah (kinship), kegiatan-kegiatan ekonomi-ekonomi mistis
ekstatis diantara mereka sendiri dibagi menurut sikap mereka dalam kelompok-kelompok
terpecah dan bersatu. Kelompok-kelompok bersatu selalu memiliki sikap berdamai,
misalnya suku/marga, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga kerabat,
pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, industri-industri, kelompok filantropis,
kesarjanaan, gereja-gereja, dan kelompok yang bersatu lainnya. Kelompok
anak-anak yang merupakan lawan kelompok-kelompok orang tua merupakan kelompok
yang terpecah. Misalnya juga serikat buruh, organisasi pengusaha, perkumpulan
produsen dan konsumen, partai politik, kelompok magis-ekstatis, sekte-sekte
keagamaan termasuk dalam kelompok terpecah.
Kelompok-kelompok
yang Tidak Terorganisasi dan yang Terorganisasi. Kebanyakan
kelompok, juga yang bersifat sementara, pada kenyataannya memiliki kemampuan untuk berorganisasi. Pada
hakikatnya, kemampuannya itu adalah berkaitan dengan lebih berpengaruhnya
bentuk kemasyarakatan aktif dibandingkan bentuk kemasyarakatan pasif, karena
yang tersebut terakhir ini tidak dapat menjelma dalam superstruktur yang
terorganisasi. Lazimnya, bentuk kemasyarakatan, sebab setiap kelompon bersifat
melaksanakandan memelihara kesatuannya karena perbuatan diperlukan untuk
membentuk kelomopok. Kita hanya dapat mengemukakan suatu kekecualian: dalam
kelompok-kelompok persahabatan dan pemujaan (adoration), bentuk kemasyarakatan yang
pasif biasanyan merupakan sifatnya yang terutama dan lazimnya pun mencegah pengorganisasian.
Pada kenyataannya bahwa kebanyakan kelompok dapat berorganisasi sama sekali
tidak berarti bahwa organisasi disusun dengan sebaik-baiknya. Banyak kelompok
yang tetap tidak terorganisasi, meskipun mampu berbuat demikian (misalnya
kelas-kelas masyarakat, jabatan-jabatan, industry-industri, kelompok-kelompok
aktivitas ekonomi, masyarakat ekonomi dalam keadaan-keadaan yang tertentu).
Kemungkinan untuk berorganisasi bergantung kepada situasi dalam masyarakat
menyeluruh yang di dalamnya kelompok-kelompok itu diintegrasikan.
Kelompok dengan
Paksaan yang Bersyarat dan Tidak Bersyarat. Jikalau jaminan yang
mengelilingi semua hukum adalah suatu fakta kemasyarakatan yang bersifat
spontan, jikalau derajat kekerasan dan kelunakan paksaan (termasuk hubungan
antara paksaan represif dan restitutif, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Durkheim) ditentukan oleh rintangan-rintangan atau dorongan-dorongan untuk
mewujudkannya yang diorganisasi oleh bentuk kemasyarakatan yang spontan, maka
kontras antara paksaan yang bersyarat dan paksaan yang tidak bersyarat timbul
dari kesatuan kelompok itu sendiri. Itulah sebabnya, maka perbedaan antara
paksaan yang bersyarat dan yang tidak bersyarat duhubungkan dengan perbedaan
antara berbagai tipe-tipe kelompok dan dapat memberikan suatu kriteria bagi
klasifikasinya.
Pada
hakikatnya, paksaan-paksaan yang bersyarat mempunyai bentuk serba keras dan
represif (misalnya hukum siksa dan penjara oleh gilda-gilda dan
universitas-universitas pada abad pertengahan; boikot dan pemecatan oleh
serikat-serikat buruh modern; perang penghukuman, sebagaimana yang tertera
dalam Peraturan Dasar Liga Bangsa-Bangsa). Sebaliknya, paksaan-paksaan yang
tidak bersyarat bersifat lunak dan bersifat restitutif (mengganti kerugian)
misalnya denda-denda ringan, kewajiban membayar karena menyebabkan kerusakan-kerusakan
dalam hukum sipil, namun yang demikian itu tidak dapat mengabaikan kenyataan,
bahwa secara hukumnya atau secara sahnya tidak mungkin melolokan diri
daripadanya, karena paksaan-paksaan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang
tidak dapat ditinggalkan oleh anggota-anggotanya sesuka hatinya.
Kelompok-kelompok
unitaristis, federalistis, dan konfederalistis. Tiap-tiap
kelompok, karena merupakan suatu sintesa dan keseimbangan, dan sedkit
banyaknya telah mencapai persatuan, maka
diperlukanlah suatu klasifikasi kelompok-kelompok menurut luasnya persatuan
mereka itu. Tetapi ini hanya mungkin berkenaan dengan kelompok-kelompok yang
terorganisasi, karena hanya disitulah derajat persatuan itu menunjukkan dirinya
dengan cara yang mungkin dapat dipahami dalam pola-pola yang dicerminkan dan
ditentukan terlebih dahulu, berdasarkan kompetensi-kompetensi dari organisasi digabung
dan ditetapkan hierarkinya. Kelompok yang terorganisasi adalah unitaristis,
apabila organisasinya merupakan suatu sintesa langsung dari bentuk-bentuk
kemasyarakatan, atau apabila sub-sub organisasi yang terdapat di dalamnya
memainkan peranan kecil karena organisasi pusat menguasai mereka (misalnya
segala macam desentralisasi). Kelompok federalistis, apabila organisasinya
merupakan satu sintesa dari sub-sub organisasi, yakni satu sintesa yang
sedemikian rupa sehingga kelompok pusat dan sub-sub kelompok senilai dalam
membentuk persatuan. Sedangkan kelompok yang konfederalistis, apabila
organisasinya adalah satu sintesa sub-sub organisasi yang demikian tersusun
sehingga sub-sub organisasi berkuasa atas kelompok pusat.
Sebagian
terbesar dari kriteria yang menjadi dasar klasifikasi kelompok-kelompok ini
saling bersilangan, sehingga timbul sedemikian banyak tipe. selain itu, kita
harus memperhatikan kenyataan bahwa tipe-tipe yang kita ciptakan itu sangat
luas dan sering memerlukan pembagian lagi berupa subtipe-subtipe
(kelompok-kelompok memecah seperti sekte, jabatan, golongan sosial, partai
politik secara sosiologis sangat berbeda satu sama lain, yang masing-masing
memerlukan studi tersendiri) dan bahwa tipe-tipeitu berbeda satu sama lain
sebagai fungsi-fungsi dari situasi-situasi dalam masyarakat yang menyeluruh.
Dengan demikian haruslah ditarik kesimpulan bahwa hanya
penyelidikan-penyelidikan “Sosiografis”
yang luas dan secara empiris melukiskan jumlah dan corak ragam
kelompok-kelompok khusus yang tidak terhingga banyaknya, dalam suatu masyarkat
yang menyeluruh pada suatu masa kesejarahan (catatan penerjemah: masa yang berkaitan dengan sejarah) yang
tertentu, dapat member gambaran yang lengkap dan jelas. Setiap klasifikasi umum
dari tipe-tipe kelompok tidak dapat menjadi lain daripada tetap skematis dan
abstrak, karena sesungguhnya ia hanya merupakan suatu program penyelidikan
sosiografis yang konkret, sedang klasifikasi hanya merupakan satu titik
penyangga bagi penyelidikan-penyelidikan itu. Tetapi, justru ini membenarkan
dan menegaskan manfaatnya menelaah tipe-tipe
kelompok yang khususnya terbukti jika diterapkan kepada masalah-masalah
sosiologi hukum diferensial yang menelaah kerangka-kerangka hukum atau tata
tertib hukum yang sesuai untuk tipe itu
masing-masing.
b.
Diferensiasi
Kerangka-Kerangka Hukum Sebagai Tipe Kelompok
Setiap
kelompok yang didalamnya bentuk kemasyarakatan aktif memegang peranan
terpenting dan yang mewujudkan suatu
nilai yang positif (seperti setiap bentuk kemasyarakatan yang memenuhi
syarat-syarat ini, sedang kelompok yang bersangkutan merupakan sintesa yang
mempersatukan) menyatakan dirinya sebagai “fakta normatif” yang melahirkan
peraturan hukumnya sendiri. Fakta normatif kelompok adalah sumber bukan dari
jenis-jenis hukum, melainkan dari keseimbangan tertentu di dalam kerangka
hukum, suatu tata tertib hukum dari jenis-jenis hukum, dalam kebanyakan hal dapat dianggap yang
terutama sekali sebagai suatu sintesa berbagai jenis hukum sosial. Ini
disebabkan oleh dua hal: pertama, karena hukum antar individu biasanya
dilahirkan dari hubungan lahiriah antara kelompok-kelompok (hukum antar
kelompok, sebagaimana hukum antar individu, dapat berupa hukum rapprochement,
hukum pemisahan, atau campuran dari keduanya), atau antara individu-individu
yang termasuk dalam berbagai kelompok. Kedua, karena pengaturan oleh hukum
antar individu dalam kehidupan hukum yang telah jauh perkembangannya akhirnya
dipusatkan di sekitar dua kerangka yang tertentu, yakni peraturan yang
bersesuaian dengan kelompok negara politik kedaerahan (the politico-territorial
state) (khususnya bagi hukum individual yang terorganisasi) dan peraturan yang
bersesuaian dengan masyarakat ekonomi (khususnya bagi hukum individual yang
spontan).
Kemampuan
masing-masing dari berbagai kelompok untuk melahirkan Kerangka-Kerangka Hukum Tidaklah semua
kelompok yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan mendapat keuntungan yang
sama oleh struktur mereka bagi penyusunan kerangka-kerangka hukum. Pertama,
kelompok-kelompok sementara waktu (transitory
groups) tidak mempunyai stabilitas yang diperlukan untuk ini.orang banyak
(crowds), rapat-rapat, komplotan-komplotan dan lain-lain. Lebih merupakan suatu
kekacauan jenis-jenis hukum daripada suatu tata tertib hukum ketimbang
menyeimbangkannya. Kedua, kelompok-kelompok yang selamanya tidak terorganisasi
hanya dengan susah payah membangun kerangka-kerangka hukum, terkecuali
kelompok-kelompok yang berlangsungnya untuk kurun waktu yang lama, seperti
bangsa, masyarakat internasional, masyarakat ekonomis yang spontan (catatan
penerjemah, spontan dalam buku ini adalah yang tercipta sendirinya),
industry-industri dan lain sebagainya.
Rangka Hukum
Politik, Ekonomi, dan Mistis-ekstatis. Sungguh penting untuk membedakan
kelompok-kelompok menurut fungsi,menurut kadar persatuannya, dan akhirnya
menurut tujuannya. Yang khusus menarik hati dilihat dari segi pertama ialah
diferensiasi kerangka-kerangka hukum dalam kerangka-kerangka berdasarkan
kelompok-kelompok, kelompok aktivitas ekonomi dan kelompok mistik-ekstatis.
Kerangka-kerangka hukum yang dilahirkan kelompok-kelompok local selalu ditandai
oleh sifat ketidak-daerahan (extra-teritoriality).
Maka akibatnya ialah bahwa yang tersebut pertama lebih cenderung kepada
kelakuan, sedang yang tersebut terakhir cenderung kepada kekenyalan (elasticity), keluwesan (flexibility) dan mobilitasnya. Hal ini
terlihat jelas dalam kenyataan bahwa lingkungan subjek permasalahan yang
diperundangkan dalam peraturan hukum territorial dapat lebih dahulu dilihat dan
ditetapkan sebelumnya, sedang kerang-kerangka hukum yang bersesuaian dengan
kelompok-kelompok ekonomisnya khususnya sering secara tidak terduga-duga muncul
di atas subyek-subyek yang tidak ditentukan (misalnya perjanjian kolektif,
pengaturan industri).
Kerangka Hukum
Persatuan, Federal, dan Konfederasi. Sintesa jenis hukum tidak sama caranya
dalam kerangka-kerangka hukum persatuan, federal, dan konfederasi, dan
masing-masing memiliki corak-corak atau pola-pola khas sesuai dengan tipe-tipe
kelompoknya. Demikianlah hukum komunion dan hukum massa memainkan peranan hanya
dalam kerangka hukum persatuan, sedang dalam kerangka hukum federal dan
konfederasi, hukum perkauman dengan sendirinya memegang peranan terpenting.
Tetapi akibat yang menguntungkan terhadap efisiensi hukum dilenyapkan kembali
oleh kenyataan bahwa kerangka-kerangka hukum federal dan konfederasi khususnya
kembali bersifat “formalistis”, yang
hanya dapat dikenal melalui prosedur-prosedur yang ditentukan sebelumnya dan
tidak memungkinkan bagi hukum yang luwes dan hukum intuitif. Selain itu,
tipe-tipe tata tertib hukum ini berdiri di atas lapisan yang lebih tinggi
daripada kerangka-kerangka persatuan (unitary frameworks), yang memungkinkan
serentak semua metode pengenal, yang demikian mendapat intensitas sebagai
pengganti dari ketelitian yang tidak mereka peroleh.
Kerangka Hukum
yang Terpecah-belah dan Menyatukan. Kerangka-kerangka hukum yang
bersesuaian dengan kelompok-kelompok yang terpecah-belah dan yang bersatu
berbeda dalam kadar kefektifannya, yang ada hubungannya dengan keragaman aspek
yang tidak sama dai sintesa jenis-jenis hukum yang dihasilkannya. Pada
hakikatnya, tata tertib hukum suatu sekte, golongan sosial, jabatan,
kelompok-kelompok produsen dan lain-lain, merupakan suatu keseimbangan yang
sekaligus lebih disederhanakan dan lebih hebat daya kemampuannya daripada
kerangka-kerangka hukum suatu gereja, kelompok niaga, industry, masyarakat
ekonomis yang menyeluruh dan lain-lain. Dibandingkan dengan ketentuan hukum
dari suatu kelompok yang menyatakan, maka “hukum
golongan, hukum proletar, hukum borjuis, hukum golongan tengah dan
lain-lain, dipandang dari segi ini, adalah sangat karakteristik. Dalam
perjuangan, pertentangan “hukum proletar
dan hukum borjuis”, kita tidak saja menjumpai suatu sengketa antara dua
golongan itu masing-masing, tetapi juga suatu sengketa di antara
pandangan-pandangan yang berbeda mengenai nilai-nilai hukum antara aspek-aspek
keadilan. Itulah sebabnya maka keyakinan kolektif demikian kuatnya, sintesa
yang mempersatukan yang semakin menyederhanakan dan semakin mengefektifkan
kerangka-kerangka
hukum ini.
Kerangka Hukum
Nasional dan Internasional. Sampai sekarang kita telah menganalisis hanya
tipologi hukum dari sebagian kelompok-kelompok. Jelas bahwa kelompok-kelompok
yang menyeluruh juga melahirkan tata tertub hukumnya yang khusus. Di sini kita
harus memandang kerangka hukum dari bangsa serta masyarakat internasional,
karena umat manusia yang (ditengah-tengahnya bentuk-bentuk pasif dari
kemasyarakatan memegang peranan terpenting) ternyata steriil dilihat dari sudut
hukum. Tata tertib hukum nasional dan internasional mempunyai beberapa
persamaan, dalam arti tata tertib itu mempunyai corak yang khas karena sifatnya
yang supra fungsional. Ini terutama sekali berarti, bahwa tidak ada yang dapat
menyatakan diri terkecuali dalam banyak ragam kerangka hukum fungsional
(segi-segi nasional dan internasional); misalnya, hukum, politik, hukum
ekonomi, hukum kegerejaan, dan lain-lain. Ini selanjutnya berarti, bahwa
kerangka-kerangka hukum bangsa dan masyarakat internasional, demi strukturnya,
tetap berbentuk spontan, menjalankan sintesanya yang bersifat mempersatukan di
lapangan hukum tidak terorganisasi, hanya dengan menggunakan kerangka-kerangka
hukum terorganisasi yang merdeka (misalnya, kerangka-kerangka hukum
terorganisasi dari Liga Bangsa-Bangsa, Kantor Perburuhan Internasional, dan
lain-lain). Akhirnya, tata tertib nasioanl dan internasioanl mempunyai
kekuasaan hukum lebih tinggi daripada kerangka-kerangka dari sebagiannya yang
diintegrasikan didalamnya (misalnya, tata tertib hukum bangsa lebih berkuasa
daripada tata tertib hukum negara dan masyarakat ekonomi). Tata tertib ini
mengatur hubungan-hubungan dan sengketa-sengketa di antara yang tersebut
terakhir, yakni menetapkan mengenai hierarki atau persamaan. hukum perkauman
memainkan peranan utama dalam kerangka hukum nasional, sedang dalam kerangka
hukum internasional dikuasai oleh hukum massa. Tata tertib hukum nasional dan
internasional mempunyai beberapa persamaan dalam arti mempunyai corak yang khas
karena sifatnya yang suprafungsional.
c.
“Kedaulatan”
dan Hubungan-Hubungan Antara Berbagai Tata Tertib Hukum dan Tata Tertib Hukum
Negara
Jika
dipandang dari aspek sosiologisnya saja, orang harus menafsirkan asas
kedaulatan sebagai preponderansi persatuan atas keragaman, kecenderungan
sentripental atas kecenderungan sentrifugal, dalam setiap satuan atau kelompok
kolektif yang nyata, maka kita harus mengakui pula, bahwa setiap kelompok
memiliki kedaulatan atas bentuk-bentuk kemasyarakatan yang merupakan
unsur-unsurnya. Pada hakikatnya, kelompok sebagai kenyataan tidak dapat hidup
tanpa menyatakan dirinya sebagai keseluruhan, yang tidak dapat direduksikan
lagi menjadi unsur-unsur yang merupakan bagian-bagiannya, yang akan
dipersatukannya dan keterpaduannya harus lebih berkuasa. Demikian pula, kita harus
mengakui dalam arti ini bahwa semua kelompok-kelompok yang bersifat sebagian,
yang diintegrasikan didalamnya. Ini akan menyebabkan keluar pernyataan, bahwa
setiap kerangka hukum adalah berdaulatterhadap segala jenis hukum yang
disintesakan didalamnya, bahwa tata tertib hukum multifungsional berdaulat
terhadap tata tertib hukum unifungsional (dari bangsa serta masyarakat
internasional) adalah berdaulat terhadap yang lain-lainnya (misalnya terhadap
tata tertib hukum negara, masyarakat ekonomi, dan lain-lain).
Kedaulatan
sebagai suatu kualitas tertentu dari kekuasaan, hanya muncul apabila kita dari
skala mikrososiologi beralih kepada skala makrososiologi. Kedaulatan
kelompok-kelompok berbeda-beda kadarnya,
karena seluruh kedaulatan, kecuali kedaulatan masyarakat-masyarakat menyeluruh,
tidak dapat melebihi kedaulatan yang relative belaka. Karena itu,
kelompok-kelompok suprafungsional, seperti misalnya bangsa dan masyarakat
internasional sajalah yang dapat memiliki kedaulatan mutlak.
Kekuasaan
sosial dari kelompok yang berdaulat secara relative atau mutlak hanyalah
sebagai suatu fungsi dari kerangka hukum kelompok, lebih tepat lagi: dari tata
tertib hukum sosialnya; sehingga kekuasaan tersebut berdasarkan hukum dan tidak
berdasarkan kepercayaan-kepercayaan mistik-keagamaan. Orang dapat pula
mengatakan bahwa kedaulatan sesuatu kekuasaan sosial biasanya adalah suatu
kedaulatan hukum yakni kedaulatan dari suatu kerangka terhadap jenis-jenis
hukum sosial yang diseimbangkannya atau kedaulatan dari satu tata tertib hukum
atas tata tertib- tata tertib hukum lainnya. Maka analisis sosiologis
berkesimpulan bahwa masalah asasi dari kedaulatan ialah masalah kedaulatan hukum, dan kedaulatan hukum
ini, jika dilihat dari arti superlatifnya, selalu dimiliki hanya oleh kelompok-kelompok
yang menyeluruh dan suprafungsional. Maka asas kedaulatan itu hanyalah
membenarkan kesimpulan kita tentang ketidakmungkinan menyelenggarakan hierarki
yang ditetapkan lebih dahulu antara kerangka hukum politik dan hukum ekonomi. Hubungan-hubungannya
yang pada hakikatnya dapat berubah-uabah, diatur dengan tepatnya oleh tata
tertib hukum yang berdaulat dari bangsa dan masyarakat internasional, dan tata
tertib hukum ini sajalah memiliki kedaulatan hukum yang mutlak; yang tersebut
terakhir ini sajalah pada saat-saat tertentu dapat menentukan kelebihutamaan
atau persamaan di antara kerang-kerangka hukumnya fungsional dan bersifat
sebagian (partial) yang terliput didalamnya.
Terdapat
empat macam tipe hukum sosial menurut lingkup tipologi hukum kelompok-kelompok
yang tersebut di atas yakni:
Kerangka-kerangka hukum sosial murni dan independen, jika ada
sengketa, lebih tinggi atau sederajat dengan tata tertib hukum negara misalnya
hukum nasional suprafungsional, hukum internasional, hukum gereja Roma Katolik
(hukum gereja dan hukum kanun) dan dari gereja-gereja lainnya jika negara dan
gereja dipisahkan, dan akhirnya hukum ekonomi dalam keadaan ekonomi disusun
secara otonom yang mengubahnya dari hukum khusus (particularistic law) menjadi
hukum adat.
Kerangka-kerangka hukum sosial murni yang dibawahkan
per-walian Negara,
yakni mempunyai hak yang memaksa tanpa syarat dan bersifat otonom; tetapi jika
ada sengketa, tunduk dan menyerah kepada tata tertib hukum negara. Lahirnya hal
ini dinyatakan oleh pemindahan kerangka-kerangka demikian ke dalam lapangan
“hukum privat”, karena perbedaan antara hukum publik dan hukum privat,
sebagaimana kita ketahui, bergantung kepada berbagai keputusan negara.
Demikianlah halnya sekarang dengan kerangka-kerangka hukum kelompok berdasarkan
pertalian darah, kelompok-kelompok kegiatan yang tidak bertujuan memperoleh
manfaat, dan bahkan sebagian terbesar kelompok-kelompok kegiatan ekonomi, yang
dibawah rezim yang ada menyatakan dirinya sebagai kelompok-kelompok khusus,
tidak terhitung jumlahnya.
Kerangka-kerangka hukum sosial otonom uang
dianeksasi oleh negara, yakni yang dibawahkan olehnya, baik dengan jalan
inkorporasi didalamnya sebagai “jawatan-jawatan umum yang didesentralisasikan”
maupun hanya dengan mengangkatnya ke dalam lapangan istimewa dari hukum publik.
Apabila aneksasi demikian itu mengenai kelompok-kelompok kesempatan yang
luasnya terbatas (kotapraja, majelis kota kerajaan, kabupaten dan lain-lain),
yakni kerangka-kerangka hukum pemerintah daerah atau hukum organisasi-organisasi
tuan tanah-tanah (misalnya pemilik-pemilik untuk menggunakan tepi sungai,
pemilik-pemilik tambang, dan lain-lain), maka aneksasi-aneksasi itu adalah yang
paling kentara, meskipun ada kenyataan bahwa negara adalah suatu blok
kelompok-kelompok lokal.
Kerangka-kerangka
hukum sosial yang ditempa dalam kerangka hukum negara demokratis, yang
karakteristiknya telah kita ketahui.
Adalah
jelas bahwa setiap kerangka hukum ini, sebagaimana halnya dengan semua kerangka
yang jelas berupa fungsi-fungsi dari tipe-tipe kelompok, merupakan suatu
keseimbangan yang tidak menetap dari
berbagai jenis hukum, khususnya dari hukum massa, perkauman, dan
communion. Adalah tidak kurang jelasnya, bahwa bergantung kepada keadaan-keadaan
historis yang konkret dan perubahan dalam kerangka-kerangka hukum yang
berdaulat dari bangsa dan masyarakat internasional, kerangka-kerangka hukum
yang ada dibawah perwalian atau aneksasi oleh negara terkadang bergerak ke arah
suatu tata tertib hukum sosial yang murni dan independen, dan terkadang
terbalik ke arah tata tertib hukum negara.gerakan kerangka-kerangka hukum yang
bersifat sebagai perantara inilah yang terkadang menjelmakan kelebihutamaan
negar, terkadang kelebihutamaan masyarakat ekonomis, atau akhirnya persamaan
hukum dari berbagai kelompok ini.
Tipologi Hukum Masyarakat-Masyarakat
yang Menyeluruh
Keanekargaman
yang tidak terhitung jumlahnya, segi dan isi setiap masyarakat yang menyeluruh
– setiap penjelmaan “fenomena sosial total (total social phenomena) tidak
memungkinkan penentuan dalam tipe-tipe sosiologis, kecuali jikalau beberapa
aktivitas sosial diambil sebagai tempat bersandar. Demikianlah, klasifikasi
tipe-tipe masyarakat menyeluruh akan membawa hasil yang sangat berlainan sesuai
dengan cara memandangnya, apakah dari segi ekonomi, agama, moral, hukum, atau
fenomena lainnya. Banyak usaha dilakukan untuk mengadakan klasifikasi dan suatu
diskusi yang panjang lebar dan mendalam tentang hal ini, yang dilakukan oleh
S.R. Steinmetz dapat ditemukan dalam L’Annee
Socielogique (1900), jilid III. Haruslah pula ditambahkan analisis-analisis
doktrin-doktrin tentang “zaman-zaman
peradaban” (eras of civilization)
yang dikembangkan oleh Grabner, Schmidt dan Kopper, dan tentang “morpologi
kebudayaan” dari Grobenius dan Spengler, yang dikecam oleh Mauss secara singkat
tetapi mendalam dalam catatannya. “perihal peradaban-peradaban” (On Civilization), dalam Prem. Sem. Internationale de
Synthese (1930). Jika segala usaha ini tidak dapat mendatangkan hasil-hasil
yang memuaskan, terutama sekali ini adalah disebabkan (disamping pengaruh
prasangka evolusionisme) oleh usaha secara monisme untuk menyelenggarakan suatu
tipologi yang khas yang berwenang untuk menelaah sekaligus segala aspek
kenyataan sosial.
Kita akan
menetapkan tujuh macam tipe masyarakat yang menyeluruh dari segi pandangan
reaksi-reaksi terhadap sistem-sistem hukum. Weber dari segi tinjauan ini
membedakan antara kekuasaan-kekuasaan karismatis, tradisionla (istimewa
patrimonial), dan rasional; ia bukan saja mengadakan pembedaan antara sistem-sistem
hukum yang sama sekali yang diserap oleh sistem supernatural (magis atau
religious), sistem yang setidak-tidaknya rasional (baik mengenai prosedurnya,
yakni “rasionalisasi formal”, mau pun mengenai isinya, yakni “rasionalisasi
materil” (Zweckrationalisation), yang acapkali berkaitan erat dengan absolutism
patrimonial atau sisa-sisa dari dari konsepsi teologis), tetapi juga akhirnya
oleh bantuan logika formal yang imanen pada hukum. Weber juga menunjukkan bahwa
hukum memiliki berbagai watak, bergantung kepada hal apakah ia dirumuskan atau
dipraktekkan oleh nabi-nabi dan ulama, oleh hakim-hakim (yang mungkin dibentuk
oleh praktek di pengadilan atau dalam mazhab-mazhab teologis), oleh pemilik
kekuasaan patrimonial, atau akhirnya oleh suatu birokrasi ahli-ahli hukum yang
terlatih dalam mazhab-mazhab khusus.
Setelah
mempertimbangkan segala hal, maka kita mendapatkan tipe-tipe masyarakat
menyeluruh sebagai berikut: (1) Sistem masyarakat banyak bidang yang mempunyai
dasar magis-keagamaan, (2) Sistem hukum dari masyarakat yang mendapat
kesejenisan (homogeneity) oleh asas karismatisme teokratis, (3) Sistem hukum
dari masyarakat yang mendapat kesejenisannya oleh pengutamaan kelompok
dosmetik-politik sistem yang sedikit-banyaknya dirasionalkan, (4) Sistem-sistem
hukum dari masyarakat feodal berdasarkan pengutamaan yuridis gereja sistem yang
setengah mistik dan setengah dirasionalkan, (5) Sistem hukum dari masyarakat
yang dipersatukan oleh pengutamaan kota dan kekaisaran sistem yang lebih
dirasionalkan, (6) Sistem hukum dari masyarakat yang dipersatukan oleh
pengutamaan negara teritorial dan otonomi kehendak individual, (7)
Sistem-sistem hukum dari masyarakat-masyarakat dewasa ini yang didalamnya
kelompok-kelompok aktivitas ekonomi dan negara teritorial berjuang untuk
mendapatkan suatu keseimbangan hukum baru-sistem yang bersifat sementara.
Sistem hukum
masyarakat banyak bidang yang mempunyai dasar Magis-Keagamaan, masyarakat
arkais yang menyeluruh adalah suku bangsa (phratry, curia) yang terbentuk oleh
repetisi golongan-golongan yang serum pun yang dinamakan klan (genos, gentes).
Klan serta suku bangsa (tribes) mempunyai dasar keagamaan; lambang-lambangnya
(emblems) adalah totem dari dewa-dewa mereka, yang didalamnya mereka terikat
menjadi saru secara mistik. Kelompok-kelompok yang berdasarkan pertalian darah
di sini tidak berebda dengan kelompok mistik-ekstatis, karena pertalian darah
dan esogami yang timbul dari padanya dalam hal ini pada prinsipnya berkaitan
dengan totem yang sama. Kelompok lokal tidak diberi batas yang jelas, klan
tidak selalu merupakan suatu “masyarakat desa”. Kelompok keagamaan di sini
menyerapi kelompok-kelompok lokal (locality groups), sebagaimana yang
dilakukannya terhadap kelompok-kelompok kegiatan ekonomi, setidak-tidaknya
sedemikian rupa hingga tersebut terakhir ini mempunyai sifat domestik. Dalam
keadaan yang sedemikian itu, akan sukarlah melawan kecenderungan untuk
mereduksikan segala ketentuan hukum menjadi suatu kerangka tunggal hukum sosial
dari klan dan suku yang mempunyai asas keagamaan berdasarkan tabu-tabu yang
berasal dari yang keramat dan menyisihkan setiap tipe hukum antar individu,
segala keluwesan, segala sifat mampu berbeda, kesangkupan bergerak, bahkan
semua hukum yang bersifat khusus.
Sistem Hukum
dari Masyarakat yang disejeniskan oleh Asas Teokratis-Karismatis.
Masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dapat mempersatukan dirinya dengan
melenyapkan pembidangan (segmentation) menjadi klan-klan dengan berbagai cara
dan jalan. (1) cara pertama ialah dengan memaksakan suatu persatuan baru kepada
bidang-bidang yang identik dan kombinasi kesukuannya, dan persatuan baru itu
ialah negara-gereja yang menjelma di dalam seorang Tuhan yang hidup berupa
Raja-Pendeta, yang didalamnya tersimpul suatu kombinasi khusus dari agama dan
magi dan yang mengakibatkan terjelmanya kekuasaan teokratis-karismatis; kepala
negara, yang mewakili Tuhan yang bertindak atas nama-Nya, yang memiliki cukup
sifat-sifat yang diperlukan untuk fungsinya berdasarkan sifat-sifatnya sendiri,
pada umumnya bersifat magis (charisma). (2) cara bersatu yang kedua ialah
melalui absorpsi dari bidang-bidang yang telah dileburkan ke dalam kelompok
keluarga besar, yang merupakan suatu identitas dari kelompok berdasarkan
pertalian darah (sekarang ini berdasarkan darah, khususnya keturunan pihak
laki-laki) dengan kelompok kegiatan ekonomi, seringkali sama dihubungkan dengan
kelompok lokal dan ketetanggaan. Masyarakat yang menyeluruh dibimbing ke arah
kesejenisan oleh berkuasanya kelompok politik dan keluarga besar terhadap kelompok
lainnya, yang dapat menyebabkan timbulnya suatu negara patriakal. (3) akhirnya
cara ketiga ialah pelenyapan bidang-bidang oleh apa yang dinamakan “synoecisme”: suatu hubungan serta
interpenetrasi bidang-bidang yang untuk sebagiannya menjadi kelompok-kelompok
keluarga besar, dalam suatu “kota” atau “polis” dengan dasar kedaerahan, yang
mendapatkan kedudukan utama. Menurut sejarahnya, ketiga tipe ini dapat dijalin
satu sama lain juga digabungkan ke dalam berbagai bentuk.
Sistem hukum
dari masyarakat yang memperoleh kesejenisan oleh kedudukan utama dari kelompok
keluarga besar dan politik – sistem yang sedikit banyaknya dirasionalisasikan. Kelompok
berdasarkan pertalian darah dan berdasarkan keturuna laki-laki, yang meliputi
pula kegiatan ekonomi dan sedikit banyaknya terpaut kepada tanah, dapat
memperoleh kedudukan utama dalam masyarakat menyeluruh terhadap klan-klan,
suku-suku, serikat-serikat dan lain-lain. Kelompok keluarga besar dengan
demikian menjadi benih negara dan dapat dilukiskan sebagai kelompok keluarga
besar dan politik (domestic politic),
terkadang berperan sebagai contoh bagi suatu negara patriakal yang sebenarnya.
Struktur sosial yang dilukiskan dalam Wasiat Lama, dalam Liad dan Ordyssey dan
juga Zadruga dari Salvia adalah berbagai contoh tentang kedudukan utama dari
kelompok domestik politik (keluarga besar dan politik) dalam bentuk patriarkal.
Beberapa ciri dari tipe ini dapat pula dipelajari dalam “keluarga Romawi”, yang terintegrasi dalam jenis-jenis yang sangat
berbeda-beda dari masyarakat yang menyeluruh, dan akhirnya juga dalam latifundia yang didiami oleh coloni dari Imperium Romawi (zaman yang
kemudian). Hausgenossenschaften
Jerman, yang muncul melalui Marks (klan-klan yang menjadi
“masyarakat-masyarakat desa” yang setiap tahunnya membagi-bagikan persil-persil
tanah kolektif di antara keluarga-keluarga), Gau (county atau kabupaten) dan Sippenschaft
(suku), menyarankan adanya kelompok-kelompok domestik-politik tanpa corak
patriarkal yang sebenarnya. Sesuai dengan kedudukan utama kelompok politik itu
yang bertalian dengan milik tanah perseorangan maka kepala itu dapat manjadi
raja dari suatu negara patriakal dan latifunda Romawi merupakan salah satu
gambarannya. Selalu contoh-contoh dalam sejarh orang dapat menyebut kerajaan
(monarchy) Frankish (abad ke-6 hingga abad ke-19), juga kerejaan Rusia dalam
zaman Moskwa, dan akhirnya pelaksanaan secara patriarkal dari teokrasi-teokrasi
Mesir, Tiongkok, dan Islam.
Sisten
hukum yang bersesuaian dengan kedudukan utama dari kelompok domestik politik dalam
suatu masyarakat yang menyeluruh mempunyai ciri-ciri sebagai beriktu: (A)
disuborsinasikan hukum sosial di lapangan politik oleh hak individual dari
kepala sebagai pemilik tanah, (B) ada pencampuradukan antara legislasi dan
administrasi pada suatu pihak, dan pengurusan ekonomi pada lain pihak, (C)
bagian terpenting dari kehidupan hukum tetap bebas dari campur tangan negara
patriakal, karena dipusatkan ke dalam kebiasaan rakyat, dikodifikasi atau
tidak, dan hukum terutama sekali dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan rakyat
(mallus dalam zaman Frankish), yang anggotanya terdiri dari orang-orang tua saja,
(D) kelompok domestik politik yang merupakan kelompok yang terbatas dan tetap
mantap (stable), pada umumnya
mewujudkan dirinya di dalam pergaulan hidup sebagai masyarakat dan bukannya
sebagai massa atau communion, (E) munculnya pula unsur masyarakat – sungguh pun
terbatas – mengenai kehidupan hukum terjadi bersama-sama dengan susutnya
pengaruh kepercayaan-kepercayaan keagamaan dan kegaiban (religious and magical) dalam hukum.
Sistem Hukum
dari masyarakat Feodal dengan dasar yang bersifat Semi-Rasional, Semi-Mistik. Tipe feudal masyarakat
adalah suatu keseimbangan yang sangat kompleks antara berbagai tipe
kelompok-kelompok dan kerangka-kerangka hukumnya yang bersesuaian, suatu
keseimbangan yang asas-asasnya tidak dapat direduksikan menjadi suatu asas yang
tunggal. Pada satu pihak, adalah kedudukan utama kelompok dari blok atau
federasi kelompok-kelompok patriarkal yang tersusun dengan hierarki, yang
dibangun atas kombinasi dari hak istimewa (privilege)
dan pengabdian kepada seorang raja feudal (vaasalage),
yang melahirkan serangkaian “kekayaan
feudal” (fiefs). Dilain pihak,
adalah kedudukan utama dari suatu kelompok mistik ekstatis yang dibawah
pengaruh Kristen, telah mendapat bentuk suatu gereja yang sangat berlainan dari
kelompok-kelompok lainnya dan yang pada abad-abad pertengahan menjelmakan
persatuan suprafungsional di bawah segi yang berupa sorpus mysticum. Kedua blok ini membagi kedudukan istimewanya.
Sistem Hukum
Masyarakat yang dipersatukan oleh kelebihutamaan kota dan imperium-sistem yang sifatnya lebih rasional.
Unifikasi tata tertib hukum dari masyarakat yang menyeluruh dapat terjadi
melalui supremasi suatu kelompok territorial yang khas, kota, kota kecil, yang
melambangkan asas kedaerahan dan ketetanggan-ketetanggan yang mula-mula
membatasi dan lambat laun membubarkan kelompok-kelompok berdasarkan pertalian
darah dan kepercayaan-kepercayaan agama (geno,
gente, jaria fratri dan lain-lain;) demikianlah maka terjadi hubungan
langsung antara kekuasaan pusat dan patres
familias (singuli singulas familias incipient
habere dan kemudian dengan setiap warga negara perseorangan. Unifikasi
semacam ini sangat jelas pada polis
Yunani (abad-abad ke-7 sampai ke-5 sebelum Masehi) dan civitas Romawi (abad
ke-5 sampai abad pertama sebelum Masehi). Penegasan kedudukan utama kota di
atas semua kelompok lainnya ditandai oleh ciri-ciri khas sebagai berikut:
pendemokrasian dan penduniawian hukum, diferensiasi hukum dari agama dan tata
susila, perbedaan antara hukum publik dan hukum privat dan akhirnya
individualism hukum. Pendemokrasian tampil bersama dengan penguatan dari asas
territorial. Pemasukan kelas murba (plebeian) ke dalam kehidupan kota,
persamaan dihadapan hukum, pada mulanya, dan kemudian dengan hak-hak yang sama
(perubahan oleh Solon, Cleisthenes dan Pericles di Yunani; hukum dari “Luh Duabelas” (The twelve Tables), perubahan-perubahan yang menurut dugaan
dilakukan oleh Servius tullius, serangkaian hukum yang memuncak pada lex Hortensia di Roma) telah diiringi oleh penggantian
keompok-kelompok berdasarkan kelahiran dan baptisan mistik (dengan melalui
lapisan-lapisan kelas yang berhak memilih berdasarkan kekayaan) dengan
kelompok-kelompok baru berdasarkan kediaman. Peranan comitia tributta yang berangsur-angsur menggantikan commetia curiatta adalah khas bagi
perkembangan ini.
Sistem Hukum
yang diduniawikan dan dilogikan untuk keseluruhan oleh kedudukan utama negara
Teritorial dan otonomi Hasrat Individual (pengutamaan hukum negara dan kontrak). Tipe
masyarakat menyeluruh yang sistem hukumnya yang sama sekali dirasionalisasikan
bersandar atas kekuasaan tertinggi dari hukum negara territorial dan atas
kebebasan perjanjian-perjanjian individual bersesuaian dengan rezim
kapitalistik klasik yang menjadi corak khas dari kehidupan Barat sejak abad ke -16 sampai akhir
abadke-19. Sistem ini sedang dirombak dengan pesat di bawah ancient regime ketika negara
territorial, dengan bentuk kerajaan absolute dengan dukungan golongan borjuis
(golongan ketiga), telah mulai memperkuat kedaulatannya” yang tidak terpisah
dan tidak dapat diganggu gugat” terhadap feodalisme dan sistem gilda, dan
keluar melawan Imoefrium Romawi Suci dan
Sri Paus. “Satu raja, satu hukum”
adalah semboyan utama dari rezim ini yang cenderung ke arah
pembubaran-pembubaran ”badan-badan
perantaraan” yang ada diantara individu, dan juga kepada peneguhan
persamaan seluruh warga negara dihadapkan hukum. Hanya satu hukum yang cukup
umum sifatnya dan telah ditetapkan terlebih dahulu, yang penggunaannya dapat
dikalkulasikan sebelumnya, dan member kemerdekaan bergerak kepada hasrat
individual (laisser faire, laisser
passeri), yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan borjuis yang sedang
lahir serta perusahan-perusahaan industry dan perdagangannya yang besar. Pada
zaman itulah hukum Romawi diterima seluruhnya di Jerman, tampilnya berbagai
gereja yang saling saing-menyaingi, berkat reformasi, mengakibatkan gawatnya
masalah pembatasan kekuasaan negara yang menguntungkan kebebasan individu.
Sistem Hukum
Peralihan dari Masyarakat Kontemporay. Dalam
sistem ini berbagai jenis hukum sosial, baik murni maupun yang
digabungkan ke dalam negara, mengadakan balas dendam. Karena kegiatan ekonomis,
walau pun orang menyampingkan perkembangan serikat dagang, dipusatkan sebagai
perusahaan-perusahaan – organisasi-organisasi besar dan berkuasa, yang
didalamnya berlaku hukum ekonomi yang bersifat subordinasi yang menghindarkan
diri dari kedaulatan rakyat dan tidak memiliki hubungan dengan kontrak dank arena tidak mungkin ada persamaan
hasrat-hasrat hukum antara yang perekonomiannya kuat dan yang perekonomiannya
lemah, maka sistem “Pernyataan Hak-hak”
dan Code Napoleon dengan cepat diperlemah oleh kekuatan-kekuatan yang membawa
pengembangan. Sifat hukum dari sistem kedaulatan hukum negara dan kontrak, karena
hanya mengakui hukum terorganisasi yang ditetapkan terlebih dahulu, mempercepat
keruntuhannya dengan mengobarkan sengketa yang hebat dengan hukum-hukum
spontanitas dan luwes yang dilahirkan oleh masyarakat ekonomi.
3.
SOSIOLOGI
HUKUM GENETIS
Sosiologi hukum genetis
harus menolak prasangka evolusionistis yang menyakini bahwa “benih” dari suatu
perkembangan searah yang tidak dicampuri dari lembaga hukum dapat diketemukan
dalam masyarakat primitif dan yang mengacaukan atau mencampuradukkan masalah
tipologi hukum masyarakat dengan masalah mengenai asalnya. Dua masalah yang
benar-benar menyangkut mengenai sosiologi hukum genetis adalah: (a) Penelaahan
tentang regularitas sebagai tendensi-tendensi perubahan di dalam setiap tipe
sistem hukum, dan (b) Penelaahan faktor-faktor regularitas dari perubahan
sedemikian itu di dalam kehidupan hukum pada umumnya.
a.
Sebagai
Tendensi-Tendensi Perubahan
Regularitas
di dalam perubahan yang dapat dilaksanakan bagi kehidupan sosial hanya
dapat dikenakan ke lapangan
makrososiologi disebabkan oleh adanya hubungan dengan struktur dan saling
kait-mengkait antara kelompok-kelompok; keseluruhannya tidak dapat dikenakan
pada lapangan mikrososiologis. Dilain pihak, keteraturan-keteraturan ini
bukanlah “hukum” evolusi yang bersifat statis maupun dinamis, karena sifatnya
yang sangat tidak menetu yang
menggambarkan kenyataan sosial dan kenyataan hukum (berhubungan dengan
lambang-lambang dan nilai-nilai kolektif). Ketentuan-ketentuan di lapangan ini
hanyalah merupakan “sesuatu yang bersifat
kebetulan” (Weber) “probabilitas”
berupa hal-hal yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu. Itulah sebabnya
maka kita menamakannya “keteraturan yang merupakan kecenderungan”. Akhirnya,
sebagaimana kita katakana di atas, keteratuan-keteraturan berupa tendensi-tendensi
itu dapat ditetapkan hanya untuk satu tipe msyarakat yang menyeluruh.
Keteraturan
bersifat umum dari perubahan lembaga-lembaga yang menurut beberapa ahli
sosiologi telah mengakuinya, dapat dikembalikan kepada: gerak dari keunggulan
undang-undang terhadap kontrak (Spencer dan H. Maine); perluasan dan
generalisasi lingkungan orang-orang yang terikat pada tata tertib hukum yang
sama (Tarde); menggantikan yang progresif dari hukum restuitif untuk hukum
represif dan perkembangan sejajar dari peranan negara dan kontrak (Durkheim);
pengadaan (multiplication) dan perjalinan yang semakin intensif dari
pengelompokan-pengelompokan khusus dan undang-undangnya, yang menyebabkan upaya
memperteguh hak-hak individu (yang tersebut terakhir ini memperoleh kebebasan karena
perjuangan antara kelompok-kelompok dan mereka tidak saling batas-membatasi,
ef. Bougle, Les idees egalitaries, 1899); rasionalisasi dan pelogisan
(logication) hukum yang semakin meningkat (Weber). Sebenarnya segala
keteraturan atau regularitas ini hanya berlaku bagi perubahan-perubahan hukum
dalam tipe-tipe masyarakat tertentu, dan teristimewa masyarakat primitif.
Masalah ini menjadi lebih rumit lagi karena pada kenyataannya, bahwa setiap
masyarakat yang menyeluruh dan setiap sistem hukum yang bersesuaian dengan
masyarakat yang demikian itu adalah suatu mikrokosmos kerangka-kerangka hukum
dan jenis-jenis hukum, sehingga gerak-gerik yang berlawanan dapat terjadi di
dalam satuu tipe yang sama, sebagaimana usaha yang kita lakukan untuk
menetapkannya ketika mengkritik tesis Durkheim.
Keteraturan-keteraturan
atau regularitas dari perubahan yang mungkin dapat dilihat pada sistem patriarkal
adalah suatu tendensi ke arah pembentukan keluarga-keluarga atas dasar harta
kekayaan (harta pusaka) karena dibagi-bagi antara ahli-ahli warisnya. Hal ini
membawa pertentangan antara hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok keluarga
yang sebenarnya dan hukum dari kelompok domestik politik yang dalamnya unsur
politik sebenarnya lebih kuat, sementara itu, unsur aktif tumbuh di dalam
kelompok domestik politik, yang hukumnya, yang karena menjadi lebih berlaku
secara efektif dan lebih diakui secara formal, mulai membatasi hukum
kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah, yang dalamnya hukum intuitif dan
hukum adat memegang peranan penting.
Sistem
hukum yang berdasarkan yang mengutamakan negara territorial dan otonomi yang
merupakan kehendak inidvidu mempunyai corak khas sebagai berikut: pertama,
langkah-langkah maju secara progresif ke arah persamaan hak-hak, bermula dari
persamaan dihadapan kekuasaan politik menuju kepada persamaan dihadapan hukum, kemudian
persamaan hak-hak sipil dan akhirnya kepada hak-hak politik, termasuk di
dalamnya akan kemerdekaan. Kedua, ada kecenderungan ke arah “hukum rasional
yang mendahului perombakan-perombakan hukum positif (peranan yang bertambah
besar dari “utopia” dalam hukum). Tendensi-tendensi
lainnya adalah berupa gerak ke arah mobilitas dan kenyataan dapat
dipindah-pindahkan semua hak perseorangan, yang khususnya diperlihatkan dalam
semakin diutamakannya “hukum kepercayaan”
atas hukumyang myata (E. Levy); kesukaran yang makin meningkat bagi hukum
kepercayaan dan bagi hukum negara untuk menembus ke dalam kehidupan batin
kelompok-kelompok ekonomi yang dikuasai oleh hukum otoritas di daerah kekuasaan
hukum yang resmi. Itulah sebabnya, maka ada suatu pendalaman yang
berturut-turut dari ketidakseimbangan antara tata tertib hukum negara dan
kerangka hukum masyarakat ekonomi.
Dalam
sistem hukum sekarang, yang mengalami perliahan sebagaimana telah kita
perlihatkan, ada tendensi-tendensi yang bertentangan ke arah demokrasi
pluralistis dank e arah totaliterisma. Jelaslah, bahwa tidak ada keteraturan
dalam gerak dapat ditentukan sebelumnya. Keteraturan-keteraturan lainnya tidak
dapat disangkal lagi berjalan sejajar dengan dekandensi hukum undng-undang dari
negara dan kontrak, suatu langkah kembali menuju ke arah pengkhususan
peraturan-peraturan yang semakin sering dilakukan, yang berlaku bagi
lingkungan-lingkungan terbatas dari pihak-pihak yang berkepentingan; memperkuat
secara progresif dari kerangka hukum sosial atas kerugian yang dialami hukum
individual; pertumbuhan peranan hukum ad hoc dan hukum intuitif atas kerugian
hukum yang diakui sebelumnya, dari pengaruh kebiasaan, pertumbuhan di dalam
hukum yang diakui sebelum adanya pernyataan-pernyataan sosial, praktek
pengadilan dan praktek lainnya, persetujuan-persetujuan kolektif, dekrit, dan
lain-lain, semuanya atas kerugian yang dialami perundang-undangan negara;
perjuangan yang semakin sengit antara kerangka-kerangka hukum dari berbagai
golongan dan profesi.
b.
Faktor-Faktor
yang Intrinsik dan Yang Ekstrinsik
Faktor-faktor
haruslah dibedakan dengan jelas dari sebab-sebab dalam arti yang sesungguhnya.
Pembedaan ini berlaku baik bagi ilmu alam amupun ilmu sosial. Misalnya,untuk
menerangkan meletusnya batu karang, daya perlawanan batu karang, dinamit dan
api adalah faktor-faktor, sedangkan sebabnya yaitu tenaga dan meluapnya gas. Mengenai
fenomena sosial, maka penelaahan sebab musabab pada suatu pihak dan faktor-faktor
dilain-lain, adalah sulit sekali karena hal-hal yang tersebut ini: (a) sebab dari
fakta-fakta sosial selalu terletak di dalam “fenomena sosial total” (menurut
Cooley di Amerika dan Mauss di Perancis); jikalau berbagai aspek masyarakat
harus diterangkan, maka aspek-aspek itu haruslah diintegrasikan ke dalam
keseluruhan yang saling berkaitan dan dari aspek-aspek itu harus dipisahkan
secara tidak sewajarnya; (b) fenomena total, yang benar-benar merupakan
“sebab-sebab” sosial yang nyata, merupakan tipe-tipe kualitatif dari
masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dan karena itu keterangan sebab musabab
berlaku dalam sosiologi hanya dalam tipe khusus yang berkaitan dengannya; (c) berbagai
faktor sosial yang hanya merupakan aspek-aspek abstrak dari suatu keseluruhan
yang tunggal yang menjelma dalam suatu tipe yang menyeluruh yang kualitatif,
adalah saling berjalinan dan saling pengaruh-mempengaruhi. Jikamisalnya, dasar
ekologis, ekonomi, agama, magi, moral dan sifat pengetahuan yang berkuasa
adalah faktor-faktor transformasi, dari kenyataan sosial, maka kenyataan hukum
ini pada gilirannya merupakan faktor transformasi dari setiap fenomena ini, dan
pada umumnya masing-masing ada dalam keadaan yang sama dilihat dari sudut
pandang ini.
Dasar Ekologi
Masyarakat dan Hukum.
Lapisan bawah materiil dari masyarakat, yang pada dasarnya bersifat demografis
dan geografis yakni volume serta kepadatan penduduk, cara penyebarannya di bumi
dan bahkan sifat penyebarannya tidak dapat disangkal lagi adalah faktor-faktor
dari gerak umum kehidupan sosial (tujuan penelaahan morfologi sosial dalam arti
yang sebenarnya) dan gerak aspek-aspeknya yang khusus: ekonomi, moralitas, dan
lain-lain, yang oleh Halbwachs dinamakan morfologi sosial “dalam arti
seluas-luasnya dari istilah itu.
Durkheim,
Mauss, dan Halbwach yang membuat telaah-telaahan penting mengenai akibat-akibat
serta pengaruh-pengaruh volume serta kepadatan penduduk dalam masyarakat,
selalu menegaskan bahwa kepadatan materiil itu sendiri dapat dipengaruhi oleh
“kepadatan moral”. Durkheim percaya, ia dapat membuktikan bahwa dalam masyarakat-masyarakat
yang bersifat ekstensif dan juga sangat padat penduduknya, di situ hukum
restitutif bersesuaian dengan kesetiakawanan organis memegang peranan lebih
penting daripada hukum menggunakan contoh khusus tentang perubahan-perubahan
menurut musim dalam masyarakat-masyarakat Eskimo, berusaha menunjukkan beberapa
sistem hukum suku-suku primitif berlainan dalam musim dingin dan dalam musim panas. “hukum musim dingin”,
katanya sangat erat hubungannya dengan hal bertempat tinggal bersama, kenang-kenangan
akan klan, dan diresapi oleh agama dan tendensi-tendensi kolektivitas. “hukum
musim panas” yang mengatur kehidupan kelompok-kelompok kecil yang bertebaran,
mempunyai sifat yang lebih menguntungkan individulisme. Halbwach memperlihatkan
berbagai akibat dari luas tanah serta kepadatan penduduk dan juga cara
berkumpul (di pedusunan, desa-desa yang bertebaran, kota-kota yangsedang
besarnya, pusat-pusat perkotaan) terhadap organisasi kehakiman, struktur dan
berfungsinya pengadilan, hubungan antara hakim-hakim dan mereka yang tunduk
kepada pengadilan-pengadilannya dan akhirnya rezim-rezim politik.
Ekonomi dan Hukum. Tidak dapat disangkal bahwa ada
hubungan erat antara hukum dan ekonomi, keduanya saling mempengaruhi secara
timbal balik. Ahli-ahli sosiologi Inggris, Hobhouse, Ginsberg dan Wheeler dalam
buku mereka, The Material Culture and
Social Institutions of the Simple People (1930), telah berusaha
memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional antara hukum dan ekonomi dengan
mempergunakan statistik, dengan menunjukkan adanya kadar hubungan yang tinggi
bagi masyarakat primitif, yang memang sungguh dapat dilakukan bagi tipe-tipe
masyarakat lainnya, khususnya masyarakat borjuis dalam taraf peralihan dewasa
ini.
Konsepsi
Marx mengenai keutamaan faktor ekonomi adalah berdasarkan premis-premis rangkap
yang dapat diragukan kebenarannya. Pertama, bahwa hukum hanya untuk suatu
proyeksi ideologis, suatu epifenomena dari tenaga-tenaga produktif, yang
berarti bahwa hukum tidak mempunyai kenyataan sosial sendiri. Kedua, konsepsi
Marx tersebut seluruhnya (Marx menulis bahwa “keseluruhan hubungan-hubungan
produksi itulah yang dinamakan masyarakat”, dan Die marxistische Geschichts-, Gesellschafts-und Staatstheorie,
1923, dua jilid, secara panjang lebar mendalami dan membenarkan penyamaan ini).
Akhir tesis Marx sampai kepada suatu tautologi: jika ekonomi dan kenyataan
sosial identik, maka jelaslah adanya sifat ketergantungan secara sepihak dari
hukum kepada tenaga-tenaga produksi, karena perubahan-perubahan dari fenomena sosial
hanya ada dalam masyarakat secara keseluruhanya, tidak diluarnya, dan justru
demikianlah interpretasi Marxistis tentang ekonomi, yakni ekonomi tidak
dianggap sebagai faktor melainkan sebagai sebab.
Konsepsi
Stammler, yang merupakan reaksi terhadap marxisme, melebih-lebihkan
kebalikannya, Stammler, menjadi tidak dapat dipengaruhi oleh ekonomi, karena
ekonomi ini hanya merupakan benda inderawi masyarakat yang dibentuk oleh hukum.
Tetapi setelah menyangkal kemudian untuk menganggap hukum atau ekonomi sebagai
faktor-faktor, Stammler mebuat hukum tidak dapat berubah strukturnya dan member
tempat yang lebih utama daripada ekonomi, baik aksiologis maupun genetis.
Selain sangat bertentangan dengan pandangan metodologis, tesis Stammler juga
bertabrakan dengan fakta-fakta yang keras: misalnya sengketa-sengketa yang
tidak terbilang banyaknya antara struktur-struktur hukum dan ekonomi. Seperti
adanya bidang-bidang kenyataan sosial, yang didalamnya peraturan hukum tidak
dapat diterapkan dan yang dipandang dari segi hukum adalah sterile (misalnya,
bentuk-bentuk kemasyarakatan pasif dan pada kelompok-kelompok di mana sifat
pasif merajalela); begitu pula halnya peranan sistem hukum dalam berbagai tipe
masyarakat yang, menyeluruh, yang naik turun kadar intensitasnya.
Teori
satu-satunya yang dapat diterima ialah konsepsi yang menyatakan bahwa dalam berbagai tipe masyarakat yang
menyeluruh, terkadang ekonomi, yang dengan mendahului kenyataan hukum,
merupakan faktornya dan terkadang kenyataan hukum yang mengatur kenyataan ekonomi
bergerak lebih cepat daripada hukum;
karena terkadang sangat lamban geraknya, maka perubahan-perubahan didalamnya
sangat besar dipengaruhi oleh ekonomi. Tetapi tidak dapat disangkal pula, bahwa
dalam masyarakat feudal kita melihat gerak yang lebih cepat dari hukum
dibandingkan dengan ekonomi, terkadang menetapkan dalam keadaan-keadaan yang
kaku (hukum raja feudal, monopoli-monopoli gilda), terkadang mendorongnya
kepada persaingan bebas dan penumpukan barang-barang (hukum Romawi dan hukum
kotapraja-kotapraja merdeka).
Sebaliknya,
dalam masyarakat yang patriarkal hukum dan ekonomi satu sama lain saling
mempengaruhi, sedang dalam masyarakat primitif dan apalagi dalam imperium
teokratis-teokratis karismatis, hukum, ekonomi, agama dan magi, tidak dapat dibedakan
satu sama lain, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang supranatural menguasai
hukum maupun ekonomi.
Agama, Moralitas, Pengetahuan dan Hukum. Agama,
moralitas dan pengetahuan sebagai mentalitas kepercayaan dan kelakuan kolektif,
ada persamaannya dengan hukum karena kenyataan bahwa semuanya secara khusus ada
hubungannya dengan lapisan-lapisan kenyataan sosial simbolis dan rohani. Tetapi
peranannya sebagai faktor-faktor perubahan dalam kenyataan hukum, berubah-ubah
bersama-sama dengan tipe masyarakat, dan selain itu, setiap faktor ini tidak
sama pengaruhnya terhadap hukum.
Agama dan lebih
luas lagi, kepercayaan kepada supernatural memainkan peranan penting dalam
kehidupan hukum masyarakat primitif dan masyarakat teokratis-karismatis. Dalam
tipe-tipe masyarakat lainnya peranan agama berubah-ubah sesuai dengan
intensitas kepercayaan dan struktur gereja dan juga menurut hubungan-hubungan
dengan kelompok-kelompok lain. Tunduknya gereja kepada pemerintahan kota Purba,
misalnya, banyak sekali mengurangi peranan agama sebagai faktor hukum.
Kemerdekaan dan kedudukan-istemawa hukumnya dalam abad-abad pertengahan sangat
menambah pengaruh agama Kristen atas hukum (meskipun terpisah dari kehidupan
duniawi).
Pada
masyarakat maju, yang didalamnya agama, moralitas dan hukum dibedakan satu sama
lain, maka hubungan kenyataan hukum dan moralitas yang efektif sangat intensif.
Hukum merupakan penglogisan dari nilai-nilai moral, yang geraknya dikekang oleh
generalisasi dan penentuan kebutuhannya, ada penyesuaian antara tuntutan dan
kewajiban. Dengan demikian hukum itu berubah secara langsung sebagai fungsi dari perubahan moralitas.
Tetapi yang demikian sama sekali tidak berarti, bahwa perubahan moralitas dan
perubahan secara mutlak ada sejalan dengan masyarakat. Sebaliknya, ada
sengketa-sengketa yang terus-menerus. Dan pada asasnya hukumlah yang pada
umumnya terlambat dibelakang moralitas. Ada pun moralitas, dalam langkahnya
yang lebih cepat daripada hukum, biasanya merupakan suatu faktor yang paling
penting dalam perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam hukum. Moralitas,
karena strukturnya, adalah jauh lebih dinamis, lebih revolusioner, lebih
bergerak, lebih mengarah kepada masa depan (dari sana dia mendahului
pengarahannya) daripada realisasi-realisasi ekonomis, dan keseimbangan
kekuatan-kekuatan daripada moralitas.
Pengetahuan sebagai suatu
fenomena sosial dapat bertindak sebagai suatu faktor perubahan dalam kenyataan
sosial di bawah dua segi. Pertama, pengaturan secara intelektual, yang sebagai
suatu unsur dari semua hukum perubahan pula kepercayaan hukum dan
kelakuan-kelakuan. Misalnya, cukuplah terjadi perubahan dalam gagasan tentang
sebab musabab, materi, masyarakat, keperibadian, dan lain-lain, untuk membawa
perubahan-perubahan yang hebat pada lembaga-lembaga hukum seperti tanggung
jawab, milik, waris, kewajiban-kewajiban dan lain-lain. Kedua, pengetahuan
bertindak sebagai suatu faktor dari perubahan-perubahan hukum dengan cara yang
lebih berpusat dan terbatas. Pengetahuan itu turut terlibat dalam cara-cara
mengenal atau mengakui hukum, mempengaruhi sumber-sumber formal dari hukum.
Bahkan orientasi dan pendidikan intelektual para hakim, ahli-ahli hukum di
abad-abad pengetahuan, para hakim, jaksa dan guru-guru besar dalam hukum dewasa
ini. Makin dirasionalisasi dan diduniawaikan, sistem hukum itu, semakin kuat
pengaruh pengetahuan itu atas kenyataan hukum.
Psikologi
Kolektif dan Hukum.
Sebagai lapisan yang terdalam dari kenyataan hukum, yang menembusi segala
penjelmaan dan aspeknya, mentalitas kolektif itu sesungguhnya ada di bawah
segala faktor yang telah disebut satu per satu. Psikologi kolektif mempengaruhi
hukum dengan tidak langsung melalui agama, moralitas, pengetahuan, dan bahkan
melalui ekonomi serta dasar marfologis dari masyarakat. Tidak bisa dipungkiri
bahwa kita pun harus memperhatikan akal budi kolektif sebagai faktor-faktor
langsung dari kehidupan hukum.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
Dimana sosiologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan hukum merupakan
ilmu yang mempelajari tentang kenegaraan; peraturan-peraturan yang dibuat oleh
lembaga-lembaga yang berwenang untuk mengatur segala tingkah laku individu dan
kelompok-kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Sedang sosiologi hukum
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukum dengan segala aspek
gejala sosial dalam lingkungan bermasyarakat. Adapun peletak-peletak dasar dari
sosiologi hukum antara lain: Durkheim, Duguit, Levy, Hauriou, Max Weber, Eugene
Ehrlich, O.W. Holmes, Roscoe Pound, dan Benyamin Cardozo.
Dalam pembahasan
ini ada tiga jenis sosiologi hukum yang diuraikan yakni sosiologi hukum
sistematis (mikrososiologi hukum), sosiologi hukum diferensial yang terdiri
dari tipologi hukum dari pengelompokan- pengelompokan khusus dan tipologi hukum
masyarakat- masyarakat yang menyeluruh, dan terakhir sosiologi hukum genetis.
SARAN
Diharapkan
kepada mahasiswa Sosiologi FIS UNM khususnya angkatan 2008 agar lebih memahami ilmu
sosiologi hukum mulai dari definisi sosiologi, hukum, dan sosiologi hukum, para
tokoh pencetus dan peletak dasar sosiologi hukum dengan buah pemikiran
masing-masing tokoh sampai kepada pengaplikasian ilmu ini dalam masyarakat
luas.
Keberhasilan
dalam mempelajari sosiologi hukum itu perlu didukung oleh semangat rasa ingin
tahu yang cukup besar yang kemudian diaplikasikan kepada sikap gemar membaca,
bertanya, dan berdiskusi.
SUMBER PUSTAKA
S. Johnson, Alvin. 2006. Sosiologi Hukum. Cetakan ketiga.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.