A.
SOSIOLOGI
HUKUM GENETIS
S. Johnson
(2006:275), menyatakan bahwa sosiologi hukum genetis harus menolak prasangka
evolusionistis yang menyakini bahwa “benih” dari suatu perkembangan searah yang
tidak dicampuri dari lembaga hukum dapat diketemukan dalam masyarakat primitif
dan yang mengacaukan atau mencampuradukkan masalah tipologi hukum masyarakat
dengan masalah mengenai asalnya. Dua masalah yang benar-benar menyangkut
mengenai sosiologi hukum genetis adalah:
1. Penelaahan tentang regularitas sebagai
tendensi-tendensi perubahan di dalam setiap tipe sistem hukum,
2. Penelaahan faktor-faktor regularitas dari
perubahan sedemikian itu di dalam kehidupan hukum pada umumnya.
Tendensi-tendensi
Perubahan
Dalam kehidupan sosial regularitas dapat
dikenakan ke lapangan makrososiologi disebabkan oleh adanya hubungan dengan
struktur dan saling kait-mengkait antara kelompok-kelompok.
Keteraturan-keteraturan menggambarkan kenyataan sosial dan kenyataan hukum. Dalam
S. Johnson (2006:276) menyatakan bahwa keteraturan bersifat umum dari perubahan
lembaga-lembaga yang menurut beberapa ahli sosiologi telah mengakuinya, dapat
dikembalikan kepada: gerak dari keunggulan undang-undang terhadap kontrak
(Spencer dan H. Maine); perluasan dan generalisasi lingkungan orang-orang yang
terikat pada tata tertib hukum yang sama (Tarde); menggantikan yang progresif
dari hukum restuitif untuk hukum represif dan perkembangan sejajar dari peranan
negara dan kontrak (Durkheim); pengadaan (multiplication) dan perjalinan yang
semakin intensif dari pengelompokan-pengelompokan khusus dan undang-undangnya,
yang menyebabkan upaya memperteguh hak-hak individu (yang tersebut terakhir ini
memperoleh kebebasan karena perjuangan antara kelompok-kelompok dan mereka
tidak saling batas-membatasi, ef. Bougle, Les idees egalitaries, 1899);
rasionalisasi dan pelogisan (logication) hukum yang semakin meningkat (Weber).
Keteraturan-keteraturan
atau regularitas dari perubahan yang mungkin dapat dilihat pada sistem
patriarchal adalah suatu tendensi ke arah pembentukan keluarga-keluarga atas
dasar harta kekayaan (harta pusaka) karena dibagi-bagi antara ahli-ahli
warisnya. Hal ini membawa pertentangan antara hukum yang dimiliki oleh
kelompok-kelompok keluarga yang sebenarnya dan hukum dari kelompok domestik
politik yang dalamnya unsur politik sebenarnya lebih kuat, sementara itu, unsur
aktif tumbuh di dalam kelompok domestik politik, yang hukumnya, yang karena
menjadi lebih berlaku secara efektif dan lebih diakui secara formal, mulai
membatasi hukum kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah, yang dalamnya
hukum intuitif dan hukum adat memegang peranan penting (S. Johnson, 2006:277).
Faktor-faktor
Intrinsik dan Ekstrinsik
Mengenai fenomena sosial, maka penelaahan
sebab musabab pada suatu pihak dan faktor-faktor dilain-lain, adalah sulit
sekali karena hal-hal yang tersebut ini:
1. Sebab
dari fakta-fakta sosial selalu terletak di dalam “fenomena sosial total”
menurut Cooley di Amerika dan Mauss di Perancis,
2. Fenomena
total, yang benar-benar merupakan “sebab-sebab” sosial yang nyata, merupakan
tipe-tipe kualitatif dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dan karena itu
keterangan sebab musabab berlaku dalam sosiologi hanya dalam tipe khusus yang
berkaitan dengannya,
3. Berbagai
faktor sosial yang hanya merupakan aspek-aspek abstrak dari suatu keseluruhan
yang tunggal yang menjelma dalam suatu tipe yang menyeluruh yang kualitatif,
adalah saling berjalinan dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Faktor intrinsik
telah dibahas pada bagian sebelumnya dalam uraian tentang mikrososiologi hukum
dan tipologi hukum, sekarang kita membatasi analisis kita pada penelaahan
faktor ekstrinsik. Kita akan membicarakan mengenai dasar ekologi masyarakat dan
hukum, dalam masyarakat lapisan bawah materiil bersifat demografis dan
geografis yakni volume serta kepadatan penduduk, cara penyebarannya di bumi dan
sifat penyebarannya. Durkheim, Mauss, dan Halbwach dalam S. Johnson (2006:281)
membuat telaah penting mengenai akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh volume
serta kepadatan penduduk dalam masyarakat, selalu menegaskan bahwa kepadatan
materiil itu sendiri dapat dipengaruhi oleh “kepadatan moral”. Durkheim
percaya, ia dapat membuktikan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang bersifat
ekstensif dan juga sangat padat penduduknya, di situ hukum restitutif
bersesuaian dengan kesetiakawanan organis memegang peranan lebih penting
daripada hukum menggunakan contoh khusus tentang perubahan-perubahan menurut
musim dalam masyarakat-masyarakat Eskimo.
Ekonomi dan
Hukum.
Tidak dapat disangkal bahwa ada hubungan erat antara hukum dan ekonomi,
keduanya saling mempengaruhi secara timbal balik. Ahli-ahli sosiologi Inggris,
Hobhouse, Ginsberg dan Wheeler dalam buku mereka, The Material Culture and Social Institutions of the Simple People
(1930) dalam S. Johnson (2006:282), telah berusaha memperlihatkan adanya suatu
hubungan fungsional antara hukum dan ekonomi dengan mempergunakan statistik,
dengan menunjukkan adanya kadar hubungan yang tinggi bagi masyarakat primitif,
yang memang sungguh dapat dilakukan bagi tipe-tipe masyarakat lainnya,
khususnya masyarakat borjuis dalam taraf peralihan dewasa ini.
Konsepsi Marx mengenai keutamaan faktor
ekonomi adalah berdasarkan premis-premis rangkap yang dapat diragukan kebenarannya.
Pertama, bahwa hukum hanya untuk suatu proyeksi ideologis, suatu epifenomena
dari tenaga-tenaga produktif, yang berarti bahwa hukum tidak mempunyai
kenyataan sosial sendiri. Kedua, konsepsi Marx tersebut seluruhnya (Marx
menulis bahwa “keseluruhan hubungan-hubungan produksi itulah yang dinamakan
masyarakat”, dan Die marxistische
Geschichts-, Gesellschafts-und Staatstheorie, 1923, dua jilid, secara
panjang lebar mendalami dan membenarkan penyamaan ini). Akhir tesis Marx sampai
kepada suatu tautologi: jika ekonomi dan kenyataan sosial identik, maka
jelaslah adanya sifat ketergantungan secara sepihak dari hukum kepada
tenaga-tenaga produksi, karena perubahan-perubahan dari fenomena sosial hanya
ada dalam masyarakat secara keseluruhanya, tidak diluarnya, dan justru
demikianlah interpretasi Marxistis tentang ekonomi, yakni ekonomi tidak
dianggap sebagai faktor melainkan sebagai sebab (S. Johnson, 2006:283).
Agama,
Moralitas, Pengetahuan dan Hukum. Agama, moralitas dan pengetahuan
sebagai mentalitas kepercayaan dan kelakuan kolektif, ada persamaannya dengan
hukum karena kenyataan bahwa semuanya secara khusus ada hubungannya dengan
lapisan-lapisan kenyataan sosial simbolis dan rohani. Tetapi peranannya sebagai
faktor-faktor perubahan dalam kenyataan hukum, berubah-ubah bersama-sama dengan
tipe masyarakat, dan selain itu, setiap faktor ini tidak sama pengaruhnya
terhadap hukum. Agama dan kepercayaan kepada supernatural memainkan peranan
penting dalam kehidupan hukum masyarakat primitif dan masyarakat teokratis-karismatis
(S. Johnson, 2006: 285).
Pada masyarakat maju agama, moralitas
dan hukum dibedakan satu sama lain, maka hubungan kenyataan hukum dan moralitas
yang efektif sangat intensif. Hukum merupakan penglogisan dari nilai-nilai
moral, yang geraknya dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, ada
penyesuaian antara tuntutan dan kewajiban. Dengan demikian hukum itu berubah
secara langsung sebagai fungsi dari
perubahan moralitas.
S. Johnson (2006:287) mengemukakan
pengetahuan sebagai suatu fenomena sosial dapat bertindak sebagai suatu faktor
perubahan dalam kenyataan sosial di bawah dua segi. Pertama, pengaturan secara
intelektual, yang sebagai suatu unsur dari semua hukum perubahan pula
kepercayaan hukum dan kelakuan-kelakuan. Kedua, pengetahuan bertindak sebagai
suatu faktor dari perubahan-perubahan hukum dengan cara yang lebih berpusat dan
terbatas.
Psikologi Kolektif dan Hukum. Sebagai lapisan
yang terdalam dari kenyataan hukum, yang menembusi segala penjelmaan dan
aspeknya, mentalitas kolektif itu sesungguhnya ada di bawah segala faktor yang
telah disebut satu per satu. Psikologi kolektif mempengaruhi hukum dengan tidak
langsung melalui agama, moralitas, pengetahuan, dan bahkan melalui ekonomi
serta dasar marfologis dari masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita pun
harus memperhatikan akal budi kolektif sebagai faktor-faktor langsung dari
kehidupan hukum.
masih ada tulisan yang lain ???
BalasHapus