Rabu, 27 Juni 2012

SOSIOLOGI HUKUM GENETIS


A.      SOSIOLOGI HUKUM GENETIS
S. Johnson (2006:275), menyatakan bahwa sosiologi hukum genetis harus menolak prasangka evolusionistis yang menyakini bahwa “benih” dari suatu perkembangan searah yang tidak dicampuri dari lembaga hukum dapat diketemukan dalam masyarakat primitif dan yang mengacaukan atau mencampuradukkan masalah tipologi hukum masyarakat dengan masalah mengenai asalnya. Dua masalah yang benar-benar menyangkut mengenai sosiologi hukum genetis adalah:
1.  Penelaahan tentang regularitas sebagai tendensi-tendensi perubahan di dalam setiap tipe sistem hukum,
2.  Penelaahan faktor-faktor regularitas dari perubahan sedemikian itu di dalam kehidupan hukum pada umumnya.

Tendensi-tendensi Perubahan
Dalam kehidupan sosial regularitas dapat dikenakan ke lapangan makrososiologi disebabkan oleh adanya hubungan dengan struktur dan saling kait-mengkait antara kelompok-kelompok. Keteraturan-keteraturan menggambarkan kenyataan sosial dan kenyataan hukum. Dalam S. Johnson (2006:276) menyatakan bahwa keteraturan bersifat umum dari perubahan lembaga-lembaga yang menurut beberapa ahli sosiologi telah mengakuinya, dapat dikembalikan kepada: gerak dari keunggulan undang-undang terhadap kontrak (Spencer dan H. Maine); perluasan dan generalisasi lingkungan orang-orang yang terikat pada tata tertib hukum yang sama (Tarde); menggantikan yang progresif dari hukum restuitif untuk hukum represif dan perkembangan sejajar dari peranan negara dan kontrak (Durkheim); pengadaan (multiplication) dan perjalinan yang semakin intensif dari pengelompokan-pengelompokan khusus dan undang-undangnya, yang menyebabkan upaya memperteguh hak-hak individu (yang tersebut terakhir ini memperoleh kebebasan karena perjuangan antara kelompok-kelompok dan mereka tidak saling batas-membatasi, ef. Bougle, Les idees egalitaries, 1899); rasionalisasi dan pelogisan (logication) hukum yang semakin meningkat (Weber).
Keteraturan-keteraturan atau regularitas dari perubahan yang mungkin dapat dilihat pada sistem patriarchal adalah suatu tendensi ke arah pembentukan keluarga-keluarga atas dasar harta kekayaan (harta pusaka) karena dibagi-bagi antara ahli-ahli warisnya. Hal ini membawa pertentangan antara hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok keluarga yang sebenarnya dan hukum dari kelompok domestik politik yang dalamnya unsur politik sebenarnya lebih kuat, sementara itu, unsur aktif tumbuh di dalam kelompok domestik politik, yang hukumnya, yang karena menjadi lebih berlaku secara efektif dan lebih diakui secara formal, mulai membatasi hukum kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah, yang dalamnya hukum intuitif dan hukum adat memegang peranan penting (S. Johnson, 2006:277).

Faktor-faktor Intrinsik dan Ekstrinsik
Mengenai fenomena sosial, maka penelaahan sebab musabab pada suatu pihak dan faktor-faktor dilain-lain, adalah sulit sekali karena hal-hal yang tersebut ini:
1.    Sebab dari fakta-fakta sosial selalu terletak di dalam “fenomena sosial total” menurut Cooley di Amerika dan Mauss di Perancis,
2.    Fenomena total, yang benar-benar merupakan “sebab-sebab” sosial yang nyata, merupakan tipe-tipe kualitatif dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dan karena itu keterangan sebab musabab berlaku dalam sosiologi hanya dalam tipe khusus yang berkaitan dengannya,
3.    Berbagai faktor sosial yang hanya merupakan aspek-aspek abstrak dari suatu keseluruhan yang tunggal yang menjelma dalam suatu tipe yang menyeluruh yang kualitatif, adalah saling berjalinan dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Faktor intrinsik telah dibahas pada bagian sebelumnya dalam uraian tentang mikrososiologi hukum dan tipologi hukum, sekarang kita membatasi analisis kita pada penelaahan faktor ekstrinsik. Kita akan membicarakan mengenai dasar ekologi masyarakat dan hukum, dalam masyarakat lapisan bawah materiil bersifat demografis dan geografis yakni volume serta kepadatan penduduk, cara penyebarannya di bumi dan sifat penyebarannya. Durkheim, Mauss, dan Halbwach dalam S. Johnson (2006:281) membuat telaah penting mengenai akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh volume serta kepadatan penduduk dalam masyarakat, selalu menegaskan bahwa kepadatan materiil itu sendiri dapat dipengaruhi oleh “kepadatan moral”. Durkheim percaya, ia dapat membuktikan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang bersifat ekstensif dan juga sangat padat penduduknya, di situ hukum restitutif bersesuaian dengan kesetiakawanan organis memegang peranan lebih penting daripada hukum menggunakan contoh khusus tentang perubahan-perubahan menurut musim dalam masyarakat-masyarakat Eskimo.
Ekonomi dan Hukum. Tidak dapat disangkal bahwa ada hubungan erat antara hukum dan ekonomi, keduanya saling mempengaruhi secara timbal balik. Ahli-ahli sosiologi Inggris, Hobhouse, Ginsberg dan Wheeler dalam buku mereka, The Material Culture and Social Institutions of the Simple People (1930) dalam S. Johnson (2006:282), telah berusaha memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional antara hukum dan ekonomi dengan mempergunakan statistik, dengan menunjukkan adanya kadar hubungan yang tinggi bagi masyarakat primitif, yang memang sungguh dapat dilakukan bagi tipe-tipe masyarakat lainnya, khususnya masyarakat borjuis dalam taraf peralihan dewasa ini.
Konsepsi Marx mengenai keutamaan faktor ekonomi adalah berdasarkan premis-premis rangkap yang dapat diragukan kebenarannya. Pertama, bahwa hukum hanya untuk suatu proyeksi ideologis, suatu epifenomena dari tenaga-tenaga produktif, yang berarti bahwa hukum tidak mempunyai kenyataan sosial sendiri. Kedua, konsepsi Marx tersebut seluruhnya (Marx menulis bahwa “keseluruhan hubungan-hubungan produksi itulah yang dinamakan masyarakat”, dan Die marxistische Geschichts-, Gesellschafts-und Staatstheorie, 1923, dua jilid, secara panjang lebar mendalami dan membenarkan penyamaan ini). Akhir tesis Marx sampai kepada suatu tautologi: jika ekonomi dan kenyataan sosial identik, maka jelaslah adanya sifat ketergantungan secara sepihak dari hukum kepada tenaga-tenaga produksi, karena perubahan-perubahan dari fenomena sosial hanya ada dalam masyarakat secara keseluruhanya, tidak diluarnya, dan justru demikianlah interpretasi Marxistis tentang ekonomi, yakni ekonomi tidak dianggap sebagai faktor melainkan sebagai sebab (S. Johnson, 2006:283).
Agama, Moralitas, Pengetahuan dan Hukum. Agama, moralitas dan pengetahuan sebagai mentalitas kepercayaan dan kelakuan kolektif, ada persamaannya dengan hukum karena kenyataan bahwa semuanya secara khusus ada hubungannya dengan lapisan-lapisan kenyataan sosial simbolis dan rohani. Tetapi peranannya sebagai faktor-faktor perubahan dalam kenyataan hukum, berubah-ubah bersama-sama dengan tipe masyarakat, dan selain itu, setiap faktor ini tidak sama pengaruhnya terhadap hukum. Agama dan kepercayaan kepada supernatural memainkan peranan penting dalam kehidupan hukum masyarakat primitif dan masyarakat teokratis-karismatis (S. Johnson, 2006: 285).
Pada masyarakat maju agama, moralitas dan hukum dibedakan satu sama lain, maka hubungan kenyataan hukum dan moralitas yang efektif sangat intensif. Hukum merupakan penglogisan dari nilai-nilai moral, yang geraknya dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, ada penyesuaian antara tuntutan dan kewajiban. Dengan demikian hukum itu berubah secara langsung  sebagai fungsi dari perubahan moralitas.
S. Johnson (2006:287) mengemukakan pengetahuan sebagai suatu fenomena sosial dapat bertindak sebagai suatu faktor perubahan dalam kenyataan sosial di bawah dua segi. Pertama, pengaturan secara intelektual, yang sebagai suatu unsur dari semua hukum perubahan pula kepercayaan hukum dan kelakuan-kelakuan. Kedua, pengetahuan bertindak sebagai suatu faktor dari perubahan-perubahan hukum dengan cara yang lebih berpusat dan terbatas.
Psikologi Kolektif dan Hukum. Sebagai lapisan yang terdalam dari kenyataan hukum, yang menembusi segala penjelmaan dan aspeknya, mentalitas kolektif itu sesungguhnya ada di bawah segala faktor yang telah disebut satu per satu. Psikologi kolektif mempengaruhi hukum dengan tidak langsung melalui agama, moralitas, pengetahuan, dan bahkan melalui ekonomi serta dasar marfologis dari masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita pun harus memperhatikan akal budi kolektif sebagai faktor-faktor langsung dari kehidupan hukum.

1 komentar: